Mohon tunggu...
Galih Prasetyo
Galih Prasetyo Mohon Tunggu... Lainnya - pembaca

literasi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Harus Diungkap

24 September 2012   02:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:50 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan September tahun ini merupakan tahun ke 47  tragedi 65, peristiwa yang masih tertutup kabut tebal akan kebenarannya. Sudah banyak tulisan mengenai kebenaran tragedi 65 yang ditulis oleh berbagai kalangan, baik akademisi maupun dari para korban pembantaian massal tahun 65-67. Namun tetap saja, prespektif kuat di masyarakat mengenai peristiwa ini masih berkiblat kepada kebohongan sejarah yang di tuliskan Orde baru.

Benang kusut mengenai peristiwa ini sulit untuk diluruskan. Masih butuh waktu panjang untuk bisa menyadarkan masyarakat mengenai kebenaran peristiwa ini. Proses perjuangan masih belum selesai, di era reformasi bahkan tak jauh berbeda dengan periode rezim Orde baru yang masih melihat kasus ini sebatas pada peristiwa pembunuhan para Jendral, sedangkan kasus pembantaian massal dianggap tidak ada, dan kalau pun beberapa pihak bertanggung jawab mengakui bahwa kebenaran peristiwa tersebut, mereka hanya sebatas menganggap perisitwa ini hanya sebagai reaksi spontan dari masyarakat yang marah terhadap pembunuhan para Jendral.

Tragedi 65 dengan segala kesemarawutan dan kejanggalannya, sampai detik ini masih menjadi misteri yang tabu untuk bisa diungkap. Saat ini, Negara tidak sepenuhnya meneror tiap usaha yang dilakukan untuk meluruskan sejarah 65, tapi kini terror tersebut dilakukan oleh ormas-ormas bentukan yang anti demokrasi, dan Negara “melegalkan” perbuatan tersebut. Ini yang terjadi beberapa waktu yang lalu, acara di Goethe Institutet yang bertajuk “Indonesia & the world 1959 – 1969 : a critical decade”, kembali mendapat terror dari ormas-ormas yang mengaku perwakilan umat islam. Yang faktanya justru anti islam dan anti demokrasi dengan melakukan hal tersebut. Mereka meneror dengan memasang beberapa spanduk yang berisikan kata-kata yang mendeskriminasikan acara tersebut sebagai ajang kebangkitan komunis yang harus diwaspadai. Dan mereka menganggap bahwa PKI dengan segala instrument pendukungnya disebut sebagai tukang jagal, penyebar pornografi, anti tuhan, dan berbagai stigma lain. Stigma yang bersandar kepada kebohongan sejarah Orde Baru.

Bahkan terror tersebut pun berlaku kepada mereka para korban 65 seperti (Alm) Letkol Heru Atmodjo yang beberapa waktu lalu wafat, jasad beliau yang sebelumnya dikuburkan di Taman Makan Pahlwan, Kalibata diwajibkan untuk dibongkar oleh pihak militer dalam hal ini AD (Angkatan Darat). Alasan yang diberikan kepada pihak keluarga tidak masuk akal, padahal sebelum dikuburkan di TMP Kalibata pihak keluarga sudah mendapat izin dari AU (Angkatan Udara) sebagai instansi militer (Alm) Heru Atmodjo saat berkarir di militer dulu. Indikasi yang kemudian muncul adalah bagaimana AD masih sangat sensitive terhadap apapun yang berbau 65 ataupun komunis, pihak AD yang kemudian ditompang pemerintah memiliki wewenang besar untuk melakukan tindakan apapun untuk mencegah terjadinya proses kebenaran tragedi 65 ataupun proses dukungan besar terhadap para korban 65.

Rentetan terror lain akan dilakukan di tiap usaha yang dilakukan oleh para akademisi ataupun para anak korban dan korban 65 untuk meluruskan sejarah 1 Oktober. Negara dan AD menjalin kerja sama jahat dengan para ormas-ormas ini untuk mengaburkan setiap usaha pelurusan sejarah sebagai rencana kebangkitan kaum komunis. Namun terlepas dari pro kontra mengenai komunisme, apakah juga salah ketika ajaran ini bangkit kembali di tengah kondisi rakyat yang terus menjerit tiap harinya akibat system pemerintahan yang tak memihak ? komunisme adalah anak zaman yang lahir di kondisi rakyat yang menderita akibat system kapitalisme, ini fakta sejarah yang tak bisa dipungkiri.

Kesemarawutan dan kejanggalan mengenai peristiwa 65 hanya bisa diselesaikan dengan membuka dialog mengenai peristiwa ini, usaha yang sering dilakukan oleh para korban namun tak pernah ditanggapi oleh Negara dan ormas-ormas anti komunis. Padahal fakta sejarah sudah terbukti bahwa tragedi 65 bukanlah PKI yang mendalanginya. Elemen-elemen AD yang pro USA dan keterlibatan USA serta Inggris dalam peristiwa ini tak pernah dilihat sebagai pembuktian bahwa PKI bukanlah dalang dari peristiwa tragis terhadap para jendral AD. Fakta sejarah mengenai pembantai massal setelah peristiwa tersebut pun tak pernah dianggap sebagai luka sejarah, hal ini malah dianggap sebagai proses lumrah yang terjadi ditengah masyarakat. Padahal fakta sejarah pun mengungkapkan bahwa TNI AD melalui RPKAD berada di belakang pembantaian tersebut. Jutaan nyawa melayang dibiarkan, dan dianggap sebagai hal yang lumrah. Apakah ini ciri Negara yang terkenal dengan keramahtamahan serta agamis ? peristiwa pembunuhan terhadap para Jendral, 1 ajudan, dan 1 anak kecil memang sangat kita kutuk, namun apakah kita kemudian membiarkan aksi main hakim sendiri dengan melakukan pembantai besar-besaran terhadap mereka yang disangka terlibat dengan PKI? PKI secara hukum tidak pernah terbukti melakukan rencana pembunuhan terhadap para Jendral, sidang-sidang yang kemudian dilakukan pasca ditangkapnya para tokoh PKI tidak pernah membuktikan hal tersebut. Tuduhan PKI sebagai dalang pembunuhan para Jendral dilakukan oleh pejabat militer yang kemudian mendapat keuntungan selama 32 tahun lebih, Soeharto.

Soeharto beserta mesin politknya mampu mencuci otak seluruh lapisan masyarakat di negeri ini dari generasi ke generasi berikutnya mengenai tragedi 65. Stigma yang sangat kuat, dan disusupi bukan hanya dari cerita dari orang tua ke sang anak, namun juga masuk kedalam ranah pendidikan serta budaya. Tentu kita masih ingat bagaimana Soeharto mewajibkan generasi muda untuk menonton film “kekejaman” PKI di tiap malam pada tanggal 1 Oktober, ia lalu mewajibakan seluruh pelaku pendidikan untuk mempelajari sejarah yang dituliskan untuk menopang kekuasaannya dan mempertebal kebencian masyarakat terhadap PKI ataupun anggota keluarga PKI. Ketika peraturan hukum sudah ia buat untuk menutup akses terhadap bangkitnya ajaran Marxisme dan Komunisme, ia dengan mudah mencap mereka yang bersebarangan dengan pemerintah ataupun consensus mayoritas sebagai neo PKI, cap yang sampai detik ini masih melekat terhadap kelompok yang menyuarakan keadilan dan kebenaran. Ini terlihat dengan jelas dari statement baik dari akedimisi pro konservatif Orba ataupun para pemikir lainnya, penulis menemukan salah satu buktinya di buku yang dikarang oleh Abu Muhammad Waskita terbitan Pustaka Al Kautsar yang berjudul Cukup 1 Gus Dur saja, walaupun tidak spesifik memaparkan soal peristiwa 65 namun dalam buku ini di beberapa paragraphnya menyebutkan bagaiamana kebencian si penulis buku ini terhadap PKI dan keluarga anggota PKI. Mereka yang dituduhkan sebagai pelaku 65 telah mendapatkan hukuman walaupun tidak dalam proses peradilan yang adil, tapi mengapa stigma negative dan aroma kebencian harus terus kita wariskan kepada anggota keluarga mereka yang tak tahu menahu mengenai kondisi tersebut.

Masih sangat banyak buku-buku baik buku pelajaran maupun buku bacaan lainnya yang secara tersirat masih menanamkan kebencian terhadap PKI beserta elemen yang berhubungan dengan PKI, ini yang harus diwaspadai karena dengan masih banyaknya buku-buku ini yang beredar dimasyarakat, hegemoni Orba mengenai PKI dan peristiwa 65 masih terus kita wariskan walau saat ini bangsa kita sedang berada di zaman reformasi. Tak berlebihan ketika masyarakat dunia masih melihat kita sebagai Negara pelanggar HAM berat. Afrika Selatan yang dikutuk masyarakat internasional akan praktek Aprtheid, mampu membongkar ke public mengenai peristiwa ini. Begitu pula dengan kekejaman rezim Pol Pot di Kamboja, fakta sejarah mampu diungkap di depan public, begitu pula yang terjadi pada rezim Fujimori di Peru. Peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM berat yang banyak terjadi di beberapa Negara, bisa terungkap ketika rezim yang berkuasa sebelumnya telah jatuh. Namun hal ini tidak terjadi di Negara ini. Langkah mundur seluruh lapisan masyarakat negeri ini yang telah memasuki era reformasi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun