Mohon tunggu...
Indah Wahyu
Indah Wahyu Mohon Tunggu... -

just another historian wanna be

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Jalan-jalan ke Pinggiran Blitar (2): Eks-Tapol PKI di Blitar Selatan

12 April 2011   03:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:54 7215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

”Seperti ada sebuah kekuatan maha dahsyat yang menghantam tubuhku kala itu, bagaimana orang yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba di tangkap dan dipenjarakan. Hatiku bagaikan di sayat-sayat ketika mendengar tuduhan sebagai komunis,”. Itulah sekilas kata-kata yang terlontar secara barapi-api dari PakYatman. Sebuah insiden yang sarat dengan tendensi-tendensi yang sulit dimengerti dan dipahami oleh kebanyakan orang-orang yang telah menjadi korban dari pembersihan PKI masa itu.

Pada tahun 1968 Pak Yatman dan kakaknya, Pak Sukiman, serta beberapa orang lainya tiba-tiba dibawa ke Koramil untuk diinterogasi mengenai keterlibatanya dengan PKI. Walaupun Pak Yatman dan kakaknya menolak dikatakan sebagai anggota PKI tapi mereka tetap ditahan dan diperlakukan sebagaimana penguasa memperlakukan PKI masa itu. Dalam tahanan itu mereka yang dituduh sebagai anggota PKI mengalami berbagai macam siksaan fisik. Dipukul dan ditendang adalah makan sehari-hari yang harus mereka terima. Hukuman tanpa proses peradilan yang jelas itu harus mereka jalani hingga tahun 1970.

Pak Yatman dan Pak Sukiman adalah dua orang eks tapol yang dituduh terlibat dalam PKI. Mereka adalah korban dari Operasi Trisula yang dilaksanakan oleh Kodam VIII Brawijaya pada tahun 1968. Operasi Trisula itu tak dapat dilepaskan dari rentetan peristiwa berdarah yang terjadi tahun 1965.

Menurut ’buku putih’ tentang Operasi Trisula yang dikeluarkan oleh Kodam VIII Brawijaya, setelah gagal melakukan kudeta pada tahun 1965, pimpinan-pimpinan PKI yang masih bisa menyelamatkan diri berusaha melakukan konsolidasi[1]. Mereka kemudian mencari daerah yang potensial untuk dijadikan basis kekuatan mereka. Salah satu daerah yang dipilih kemudian adalah daerah Blitar Selatan.

Menurut Pak Yatman, pada tahun 1965 tidak terjadi apa-apa di Blitar Selatan. Tapi setelah itu barulah banyak orang-orang yang masuk ke Blitar Selatan. Mereka inilah yang oleh Kodam VIII Brawijaya dianggap sebagai pimpinan PKI yang masih bisa menyelamatkan diri dan hendak konsolidasi kekuatan.

Pada tahun 1960-an daerah Blitar Selatan merupakan daerah yang tingkat kesejahteraannya rendah. Daerah ini terisolir oleh gunung-gunung dan hutan-hutan serta jauh dari pusat pemerintahan. Jaringan jalan di Blitar Selatan tidak memuaskan dan banyak yang rusak[2]. Posisinya yang tinggi menjadikan daerah ini semakin cocok digunakan sebagai tempat persembunyian.

Pihak intelejen akhirnya mengetahui bahwa daerah Blitar Selatan merupakan salah satu basis baru komunis. Operasi Trisula pun dilancarkan untuk membesihkan sarang komunis ini. Militer melibatkan Hansip dan Banser NU untuk membantu mereka menupas PKI di Blitar Selatan pada tahun 1968. Menurut Pak Sukiman, situasi yang dialami oleh Hansip dan Banser itu juga sulit. Jika mereka tidak mau membantu militer membunuh orang yang dituduh PKI, maka militer malah akan membunuh mereka dan keluarganya.

Militer menyebarkan poster-poster provokatif. Salah satunya menggambarkan seorang lelaki berwajah seram yang mengenakan pakaian hitam dengan lambang dan tulisan PKI sedang merangkul seorang petani yang nampak ketakutan.poster itu juga berisi tulisan ”Pada ngetia jen kowe iku dadi umpan”.

Selain itu juga juga ada selebaran yang berisi semboyan 3M. 3M adalah membantu, menyerah dan mati. Membantu maksudnya adalah bahwa rakyat dimnta untuk membantu pemerintah dan ABRI mencari orang-orang PKI yang masih bersembunyi. Menyerah merupakan himbauan pada orang-orang PKI yang masih bersembunyi agar segera menyerah. Mati merupakan ancaman bagi orang-orang yang tidak mau membantu dan menyerah maka hukumannya hanya satu yaitu mati[3].

Dalam kondisi seperti itulah kemudian dilakuan banyak pengejaran, penangkapan dan pembunuhan pada orang-orang yang dituduh PKI. Tuduhan itu tidak selamanya benar. Seringkali tuduhan itu dilancarkan karena rasa dendam, iri atau tidak suka dengan seseorang sehingga orang itu kemudian dilaporkan dan dituduh sebagai PKI. Akibatnya si tertuduh akan dikejar, ditangkap atau dibunuh.

Pak Sukiman dan Pak Yatman yang saat itu tidak tahu apa-apa kemudian ikut diciduk dalam Operasi Trisula itu. Mereka ditahan hingga tahun 1970 untuk tuduhan atas kesalahan yang tak pernah mereka lakukan. Di dalam penjara itu mereka mendapatkan perlakuan yang buruk.

Setelah tahun 1970 mereka dibebaskan dari penjara. Namunkebebasan dari penjara bukanlah akhir dari penderitaan yang harus jalani. Jika dalam tahanan mendapat hukuman fisik, maka ketika sudah keluar mereka menerima hukuman sosial dan moril. Minimal satu bulan sekali mereka harus melapor pada Koramil. Setiap kegiatan yang dia lakukan selalu di awasi oleh aparat dan yang lebih menyakitkan lagi adalah kartu tanda penduduk yang diberi tanda sebagai eks tapol-PKI

Dalam kondisi yang demikian itu dua bersaudara itu kembali ke masyarakat dan berusaha bertahan hidup sambil terus mengatakan bahwa mereka sebenarnya tak bersalah, bahwa mereka hanyalah korban. Mereka terus berjuang agar bisa terus bertahan hidup di tengah tekanan sosial dan politis. Mereka juga harus berjuang demi keluarganya, termasuk anak-anaknya yang pada masa Orde Baru tidak diperbolehkan untuk menjadi pegawai negeri apalagi masuk militer.

Pak Yatman dan Pak Sukiman melanjutkan hidup mereka di desa mereka. Kembali mengerjakan lahan mereka. Kembali bertani sambil terus bertanya dan belajar, mencari jawaban atas ketidakadilan yang mereka alami.

Ada sesuatu yang menarik yang terjadi semasa Orde Baru. Menurut keterangan Pak Sukiman, sejak pemilu tahun 1971 para eks tapol ini dikumpulkan di Koramil. Mereka kemudian disuruh membuat pernyataan bahwa mereka memilih Golkar dalam pemilu. Hal itu terus terjadi pada setiap pemilu di masa Orde Baru. Setelah reformasi bergulir, mereka baru memiliki kebebasan untuk memilih.

Pak Sukiman dan Pak Yatman memiliki pemikiran yang cukup kritis yang nampak dari cara mereka berbicara dan jalan pikiran mereka, padahal mereka adalah dua orang desa yang jauh dari kota. Namun rupanya pengalamanlah yang menempa mereka hingga menjadi seperti sekarang. Pengalaman pahit itulah yang mengajarkan mereka untuk kritis. Selain itu mereka juga meluaskan wawasan mereka dengan membaca buku-buku.

Kedua orang ini hanyalah sebagian dari sejumlah besar orang-orang yang dicap sebagai PKI yang berusaha bertahan di tengah tekanan politis dan sosial. Mereka berusaha melakukan resistensi karena mereka sudah tak berdaya dan tak mungkin melawan secara frontal. Mereka justru akan dimsnahkan jika melakukan perlawanan secara langsung.Yang bisa mereka lakukan adalah berusaha untuk tetap bertahan dan sesekali melawan.

Kondisi ini bertahan sampai reformasi bergulir. Pada masa pemerintahannya,Gus Dur secara resmi mewakili bangsa Indonesia meminta maaf kepada eks PKI, memberikan arus positif kepada masyarakat Indonesia. Keturunan dari orang eks PKI telah diperbolehkan untuk menjadi PNS maupun TNI.

Masuknya era reformasi ini sekaligus merubah arah resistensi kelompok ini. Mereka mulai konsen terhadap resistensi bidang sosial, kerena mareka harus melawan stigma yang telah menjadi sebuah keyakinan di masyarakat bahwa PKI adalah pembunuh dan jahat.

Blitar, Desember 2007

-Indah W.P. Utami, Dwi Famina, M. Fahmi, Ainin Sobirin Arif-

[1]Brawidjaya, Operasi Trisula, (Surabaja: Jajasan Taman Tjandrawilwatikta, 1969) hlm. 2

[2]Ibid, hal. 24

[3]Ibid, hal. 280.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun