Mohon tunggu...
Imran Rusli
Imran Rusli Mohon Tunggu... profesional -

Penulis dan jurnalis sejak 1986

Selanjutnya

Tutup

Politik

6 Alasan Anies-Sandi Takkan Menang Pilkada

13 April 2017   00:55 Diperbarui: 13 April 2017   08:30 3233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Debat pertama dan terakhir dua pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI telah berlangsung Rabu tanggal 12 April. Meski tak semenarik yang diharapkan paling tidak KPUD Jakarta sudah menunaikan tugas dan kewajibannya. Hasilnya tergantung pada warga DKI yang akan memberikan hak suaranya Rabu tanggal 19 April, bisakah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat memenangkan hati warga Jakarta, ataukah Anies Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno yang akan mereka pilih?

Kalau saya sudah yakin siapa pilihan saya dan saya punya 6 alasan yang membuat saya yakin bahwa Anies-Sandi tidak layak memenangkan Pilkada DKI.

Pertama, Anies-Sandi tak layak menang karena mereka hampir tak punya program orisinil. Selain OK OC, program lainnya menjiplak Ahok-Djarot semua. Bedanya cuma pada kata plus. Misalnya KJP Plus. Lalu soal transportasi yang terintegrasi juga sekedar menyempurnakan apa yang telah dikerjakan Ahok-Djarot dengan harga yang justru lebih mahal. Ahok-Djarot Rp 3.500, Anies-Sandi Rp 5.000. Itupun tak berdampak signifikan terhadap kesejahteraan supir dan pemilik armada kendaraan, apalagi penumpang. Beda dengan Ahok-Djarot yang mempertimbangkan semua. Penumpang akan mendapat pelayanan bagus dengan harga murah, karena melalui manajemen TransJakarta, bukan hanya mobilnya saja yang bagus dan nyaman, tetapi juga penghasilan supir dan keneknya, dan tentu saja pemilik kendaraan. Takkan ada lagi Metromini, Kopaja, Koantas Bima, atau mikrolet dan Wahana Kalpika yang reot dan ugal-ugalan, karena keur mereka terkontrol. Mereka takkan memburu setoran lagi, sehingga tak punya alasan untuk ‘main’. Para preman yang selama ini menyandarkan hidup pada keboborokan transportasi umum juga akan hilang dengan sendirinya.

Kedua, Anies-Sandi tak layak menang karena program mereka terkesan hanya konsep retorika di awang-awang. Alias tidak realistis. Lihatlah konsep DP rumah 0 persen yang tak hanya berubah-ubah sejak dicetuskan, tetapi juga tak masuk akal. Kemarin mereka bicara warga bisa dapat rumah dengan DP Rp 0, kemudian berubah menjadi membantu pembiayaan. Itupun harus rutin menabung selama 6 bulan untuk bayar DP dan ternyata hanya untuk warga DKI yang berpenghasilan Rp 7 juta per bulan. Warga yang penghasilannya hanya Rp 3-4 juta sebulan cukuplah di rumah susun saja, atau tetap di tepi sungai yang katanya akan dibenahi. Rumah susunnya katanya bisa menjadi hak milik, tapi penghasilan bulanan tetap harus tinggi. Sama saja boong kan? Lantas bagaimana membenahi rumah-rumah di bantaran sungai tanpa mengganggu ekosistem sungai, seperti yang selalu mereka janjikan?  Anies-Sandi tak kunjung mampu menjawab.

Kesan serupa terlihat pada program lapangan kerja dan pendidikan. Anies-Sandi mengatakan sudah berhasil membuat OK-OC-mart yang sekaligus menyelesaikan masalah klasik UMKM, yakni lokasi usaha, permodalan dan pemasaran. Tapi ternyata program itu membutuhkan modal Rp 200 juta, entah bagaimana caranya Anies-Sandi akan bisa mewujudkannya tanpa mengganggu keseimbangan APBD.

Ketiga, Anies-Sandi itu plin plan. Dulu bilang A sekarang bilang B besok bilang C. Ini bukan hanya terlihat saat membicarakan rumah DP Rp 0, tetapi juga saat bicara reklamasi. Awalnya mereka menolak reklamasi, kemudian setuju, lalu mempertimbangkan dan terakhir kembali menolak. Terlihat sekali bahwa mereka itu asal bicara saja, hanya untuk menarik minat mereka yang kontra saja, tanpa arah yang substantif. Pokoknya ikuti saja yang protes, wes.

Keempat, visi Anies-Sandi itu pendek dan terkesan hanya untuk menyambar suara mereka yang kontra tanpa peduli realitasnya. Mereka melakukan pendekatan populis untuk menyenangkan orang-orang yang sakit hati dengan kebijakan Ahok-Djarot. Lihatah bagaimana mereka menjilat para penghuni bantaran sungai dan pemukiman kumuh. Mereka tak peduli bagaimana cara penduduk di situ mendapatkan hak menetap, pokoknya sudah ada di situ dukung saja karena Ahok-Djarot menggusur mereka. Anies-Sandi tak peduli bagaimana dengan warga yang bersusah payah melakukan hal yang benar untuk mendapatkan sertifikat tanah dan membangun pemukiman yang seutuhnya legal. Anies-Sandi juga tak peduli warga Jakarta yang harus menanggung semua akibat dari dihuninya bantaran sungai, misalnya kebanjiran dan kemacetan. Bagi Anies-Sandi yang layak diperjuangkan hanya warga yang bermukim di bantaran sungai, yang lain mohon ikhlas saja. Hitung-hitung amal.  yang lebih buruk mereka fitnah Ahok-Djarot dengan mengatakan bahwa Ahok-Djarot akan menggusur semua pemukiman kumuh, itu makanya PBB-nya digratiskan, padahal Ahok-Djarot tidak pernah menggusur mereka yang tidak tinggal secara ilegal di bantaran sungai serta menghalangi program penanggulangan banjir.

Hal serupa terlihat dari keberpihakan Anies-Sandi pada PKL dan parkir liar. Bagi Anies-Sandi tak masalah mereka menguasai fasilitas publik, asal mereka punya penghasilan. Biarlah trotoar dikangkangi, biarlah halte bis dikuasai, biarlah taman-taman penuh kios pedagang dan parkir liar, biarlah jalan digunakan sepihak untuk berdagang atau membuka lapak parkir liar, biarlah jembatan penyeberangan penuh pedagang, biarlah lampu merah ramai pedagang asongan, pengamen dan pengemis karena mereka orang kecil yang harus dibela. Karena mereka warga Jakarta yang juga berhak sejahtera. Bagaimana konsep  'yang maju kotanya dan bahagia warganya' bisa terwujud kalau sebagian warga dipaksa berkorban untuk warga yang seenaknya melanggar aturan dan diperlakukan istimewa? 

Anies-sandi tidak peduli pada warga Jakarta yang susah payah membayar izin tempat dan harga lapak agar bisa layak berdagang dan membuka lahan parkir secara legal dan tidak mengganggu hak publik. Bagi Anies-Sandi mereka itu harus berkorban untuk menyenangkan para pelanggar aturan. Anies-Sandi tidak peduli pada warga yang ingin memiliki kota yang beradab, di mana orang kaya dan orang miskin tetap menjalankan peran dan aktivitas kehidupannya tanpa harus melanggar hak-hak warga lainnya. Asal mereka yang miskin bisa diuntungkan, biar sajalah. Ini keadilan macam apa?

Kelima Anies-Sandi itu tak bisa dipercaya karena berbeda kata dengan perbuatan. Anies-Sandi mengaku menjunjung tinggi kebhinekaan dan keberagaman. Kenyataannya, mereka berpihak pada warga yang menggunakan agama dan sentimen etnis, padahal mereka tahu betapa merusaknya cara itu. Kenapa mereka tak menyarankan saja agar pendukungnya tak usah memilih Ahok-Djarot, tapi melarang mereka memaksakan kehendak melalui fitnah, agitasi, ancaman, sindiran dan kebencian? Mengapa mereka biarkan pendukungnya memaksa orang memilih pilihan mereka dan membenci orang yang tak memilih pilihan mereka, seperti tergambar dalam spanduk-spanduk rasis dan provokatif itu? Yang katanya juga tak mereka sukai, tapi faktanya mereka biarkan masif terjadi dengan alasan susah mengatur pendukung?

Keenam, Anies-Sandi tak layak memenangkan Pilkada DKI 2017 karena keberpihakan mereka salah. Mereka bilang akan merangkul semua, tapi ternyata lebih memberi tempat pada mereka yang beringas dan suka menggunakan isu agama serta sentimen etnis.  Lihatlah keakraban mereka dengan FPI, FUI, GMPF-MUI, HT, konglomerat hitam dan raja KKN nasional yang punya track record 32 tahun? Merangkul apa namanya kalau yang sebagian dirangkul untuk menjadi mangsa sebagian lainnya? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun