Mohon tunggu...
Harun Imohan
Harun Imohan Mohon Tunggu... Psikolog - Saya anak kedua dari tiga bersaudara. Sebagai sarjana muda, saya hanya bisa menulis untuk sementara waktu karena belum ada pekerjaan tetap.

Aku ber-Majelis maka aku ada

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tahlilan adalah Awal dari Feminisme

31 Agustus 2017   02:41 Diperbarui: 1 September 2017   17:13 1843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini, banyak sekali para cendikia dan pemikir muda yang menggemakan suaranya mengenai Feminisme. Permasalahan yang diangkat adalah sebuah bias feminisme yang dirasa kurang berhasil. Menurutnya akibat maskulinitas lelaki yang selalu mendominasi dalam ajang apapun menjadi suatu bentuk pemberian batas terhadap gerak perempuan. Batasan tersebut berdampak kepada penilaian bahwa perempuan merupakan manusia yang lemah dan tidak sebanding kuat dengan laki-laki. Padahal seandainya jika dinilai secara lebih objektif, kekuatan perempuan layak di-tandingkan dengan kekuatan laki-laki.

Kebanyakan dalam suatu rumah tangga, perempuan dilakukan secara tidak adil dalam porsi menegakkan hubungan rumah tangga. Menyapu rumah, membersihkan kamar mandi, memasak makanan dengan sekaligus mencuci piring kotor bekas makan, bekerja mencari nafkah (sebagian wanita karir), mengasuh anak, belanja dan mengatur keuangan rumah tangga merupakan pekerjaan yang dihadiahkan oleh suami untuk dikerjakan istri. Sedangkan suami hanya pergi bekerja dan jika pulang kerumah hanya melakukan sedikit polesan dari banyaknya pekerjaan istri yang hampir terselesaikan. Belum lagi otoritas aturan suami sebagai kepala rumah tangga yang jika dirupakan menjadi benda bak hamparan tali yang mencekik. Lalu sang suami menghisap rokok dan minum kopi sambil bicara soal keadilan.

Pemicu terjadinya kesenjangan yang berkepanjangan adalah pola pikir klasik. Sebenarnya, ini bukan salah lelaki atau karena perempuan dirasa kasihan. Hanya saja jika ditinjau lebih dalam, maka kita akan menemukan porsi sejati perempuan. Tentu dengan tidak meninggalkan pola pikir klasik laki-laki yang masih bangga menggunakan jabatan kepala rumah tangganya dalam bahtera kehidupan dirumah. Alangkah baiknya dalam tiap langkah ada sebuah upaya berunding demi menemukan sebuah kemasalahatan.

Proporsi perempuan sejatinya lebih besar daripada laki-laki. Jika masalahnya perempuan dibatasi dalam bergerak, maka sebenarnya daripada itu laki-laki lebih tak berdaya karena membatasi dirinya atas kemauannya. Dengan tidak saling membantu menegakkan hubungan rumah tangga, mengatas namakan pria diatas wanita dan lain sebagainya merupakan senjata pamungkas agar tidak kehilangan kenyamanan. Lebih baik menyerang siapapun yang datang dengan ancaman daripada harus mati dalam dekapan.

Bukti lainnya terhadap kekuatan dan luasnya wilayah kekuasaan perempuan bisa dijumpai dalam acara tahlinan, dhiba'an dan atau acara sejenisnya. Jika tamu undangan tahlilan adalah laki-laki, maka yang ada di dapur untuk memasak makanan kebanyakan adalah perempuan. Dan jika tamu undangan tahlil adalah perempuan, kebanyakan juga yang ada di dapur untuk menyiapkan makanan adalah perempuan. Bagaimana ini bisa terjadi? Hal ini terjadi karena kecerdasan multi-tasking perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Kegiatan tahlil biasanya dilakukan malam hari ketika ada salah seorang kerabat meninggal dunia. Hakikatnya adalah mengenang jasa kerabat ketika hidup di dunia dan mendoakannya bersama. Acara tahlilan diawali dengan pembacaan ummul Qur'an, surat Al-Fatihah dan ditutup dengan doa. Biasanya jika kerabat yang meninggal dunia adalah bagian dari kalangan keluarga mampu, sesudah acara, tamu akan diberi suguhan berupa makan dan berkat (jajanan dibungkus seperi parsel). Namun, dalam hal menyajikan makanan bukanlah hal yang diwajibkan, sesuai kemampuan keluarga mayat.

Adapun acara majelisan (duduk bersama) selain tahlilan adalah pembacaan maulid dhiba', tasyakuran dsb. Pembacaan maulid dhiba' merupakan acara yang diadakan untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Tamu undangan dan keluarga yang mempunyai hajat membaca pujian kepada Nabi Muhammad sebagai ucapan rasa syukur akan nikmat Islam yang dibawa dalam dakwah nabi. Sedangkan tasyakuran merupakan acara membaca bacaan yang sama (puji-pujian) kepada Allah dan nabi-Nya atas perolehan nikmat.

Hebatnya para perempuan yang ada di dapur ketika acara seperti tahlilan, dhiba'an, tasyakuran dsb adalah mampu mengatur porsi makanan para tamu undangan. Makanan yang dihidangkan pun beragam dan seakan tertib. Mulai dari makanan ringan, makanan berat dan makanan penutup (cuci mulut). Tak lupa, para perempuan tangguh tersebut masih mengingat keluarga tamu undangan yang ada dirumah masing-masing dengan memberi makanan yang dibungkus untuk dibawa pulang oleh tamu undangan.

Dalam hal ini jika dibandingkan antara perempuan dan laki-laki, maka akan terasa sangat jomplang (Red: Tak seimbang). Porsi peran wanita sangatlah dibutuhkan untuk mensukseskan agenda-agenda tersebut. Tanpa menciderai kaum Adam yang kehadirannya juga tidak bisa dinafikan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun