Mohon tunggu...
Irma Rithin
Irma Rithin Mohon Tunggu... lainnya -

Hidup adalah pilihan.....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Memutus Tali Turunan Cerai dalam Keluarga

9 Juni 2011   01:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:43 1310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_112923" align="alignleft" width="300" caption="mbah-dawer.blogspot.com"][/caption] Keluargayang sempurnamenurut saya, di dalamnya ada seorang ibu, seorang ayah dan anak-anak. Ada interaksi diantara anggotanya. Saling menyayangi, peduli dan menghormati. Gambaran keluarga utuh seperti itu yang selalu ada dalam benak saya.

Sayangnya dalam perjalanan hidup, tidak semua orang bisa lalui sesuai dengan keinginan, bisa hidup dalam keluarga yang utuh. Saya salah satu orang yang ditakdirkan mengalaminya. Takdir saya juga kalau saya urut dari garis ibu saya ke atas, yang saya lihat contoh dari ketidak-utuhan keluarga. Nenek saya berpisah dengan Kakek dan Ibu saya harus hidup tak bersuami sejak saya umur 2 tahun.

Ada banyak pertanyaan dalam hati saya melihat kenyataan tersebut. Apa penyebab Kakek memilih wanita lain selain Nenek saya? Kenapa Bapak meninggalkan Ibu saya dan anak-anaknya demi wanita lain?

Kalau alasannya karena wajah atau penampilan, rasanya tidak mungkin, karena Nenek dan Ibu dilimpahi Allah raut muka yang cantik. Mereka ditinggalkan suaminya waktu baru berusia di atas 30 tahun, belum terlalu tua. Masih cantik. Faktanya wanita lain yang menjadi nenek dan ibu tiri saya tidak lebih cantik dari mereka.

Ada pepatah, kalau mau membahagiakan suami mulailah dari perutnya. Ibu saya pintar masak, masakannya enak. Sampai sekarang Ibu masih suka dimintai tolong masak kalau ada yang mau hajatan. Begitupun Nenek saya masakannya enak juga. Dulu waktu saya kecil tiap nenek makan, saya selalu minta makanan Nenek, karena saya selalu tergoda masakan Nenek. Ngarewong orang Sunda bilang. Nah, ternyata pintar masak pun belum tentu bisa mengikat suami.

Almarhum Nenek saya lucu, Ibu saya juga sama, selera humor mereka bagus. Saya dan keturunan beliau lainnya kerap kali tertawa dengan candaannya. Mereka bukan orang yang senang cemberut. Ngobrol dengan mereka menyenangkan, selalu ada bahan untuk diobrolkan karena Nenek dan Ibu saya suka membaca dan senang dengar berita.

Lantas apa penyebab yang lain sehingga suami mereka tidak setia? Padahal mereka cantik, pintar masak, dan enak diajak ngobrol. Apa karena sex? Ketika 'ditinggalkan', Nenek sudah punya anak 9 dan Ibu anaknya 6, berarti sex seharusnya bukan masalah kaan.

Menyadari hal tersebut, dari mulai saya menikah sampai sekarang, saya berusaha keras mempertahankan kehidupan keluarga saya. Saya ingin anak-anak tidak mengalami apa yang dulu saya alami. Saya ingin anak-anak bahagia. Nasib mereka harus lebih baik dari saya. Saya harus memutus tali turunan cerai dalam keluarga saya. Tali perceraian cukup sampai di Ibu, cukup sampai saya saja yang merasakan ngga enaknya jadi korban perceraian.

Riak-riak dan gelombang pernikahan pernah saya alami. Saya bisa bertahan. Yang membuat saya bertahan banyak alasannya, salah satunya untuk mewujudkan keinginan sederhana saya. Sejak saya punya anak, saya ingin di rapot anak-anak ada tanda tangan papanya. Karena di rapot saya tidak ada satupun tanda tangan Bapak, saya iri waktu lihat rapot teman ditanda-tangani bapaknya.

Saya lihat di beberapa kejadian karena kesabaran seorang istrilah yang bisa menjaga keutuhan keluarga. Bukan maksud saya mengatakan Nenek dan Ibu  tidak sabar menghadapi suaminya. Dalam hal ini saya menyadari ungkapan  'sabar ada batasnya'. Nenek dan Ibu sayalah yang mengambil keputusan tidak mempertahankan pernikahannya. Mereka memilih lebih baik tak bersuami daripada terus berbagi. Semuanya pilihan pribadi masing-masing tentunya dengan segala konsekwensinya.

Sayangnya di negara kita, mungkin karena sudah dibutakan dengan cinta yang lain dan hukum belum berjalan dengan baik, ada sebagian suami yang merasa setelah berpisah dengan istri lepas pula tanggung-jawab kepada anak-anaknya. Melupakan kewajiban menafkahi anak-anaknya.

Kembali ke penyebab berpalingnya Kakek dan Bapak saya ke wanita lain, satu yang tidak bisa saya pungkiri, faktor usia wanita lain yang lebih muda. Kakek dan Bapak saya menikah lagi dengan wanita yang lebih muda dari Nenek dan Ibu saya. Hmmmm. Umur siapa yang bisa lawan? Tapi, bukankah akan selalu datang yang lebih muda? Manusia selalu merasa tidak puas. Jika rasa tidak puas dituruti akan sampai kapan? Andai saat ini ada yang tertarik dengan wanita lain yang lebih muda dari istri, suatu saat nanti jika berumur panjang, sehat, dan masih menuruti nafsunya, mungkin bisa jadi yang diincar yang seumur dengan anaknya atau cucu?  Wallahu'alam bissawab. *Tali turunan cerai hanya istilah saya. Perceraian bukan penyakit turunan, bisa terjadi pada siapapun dengan berbagai penyebabnya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun