Semalam, saya cari, di setiap slempitan, dan tempat-tempat biasa ia meletakkan dirinya. Di belakang rumah, di samping, di jalan, dan pekarangan sebelah. Saya senter setiap sudut, tak ada.
Sudah tiga hari ia sakit. Tidak mau makan, lebih banyak diam, sedikit minum, dan kerap meletakkan kepalanya di tanah. Matanya berair, korneanya hampir tertutup kelopak mata, tinggal separuh. Si Penidur ini susah dipanggil sejak dua hari lalu. Tidak seperti biasanya, ketika terdengar lankah kaki saya, ia buru-buru mengejar.
Tadi pagi, ia berada di bawah kursi biasa kita duduk. Saya usap kepala dan pijit lehernya, terasa kaku. Perutnya bergetar, oleh nafas yang tak tertahan. Saya ambil minum di belakang untuknya.
Tapi waktu saya kembali sudah tak ada. "Ke belakang, jalannya nyeret-nyeret, " kata anak-anak.
Saya susul ke belakang, ia meletakkan dirinya dan kepalanya di bawah dingklik depan tumang. Saya sodorkan minum, ia angkat kepalanya, dan menghisap lima kali. Sesudah itu ia letakkan kembali kepalanya di muka tanah.
Saya pijiti lehernya yang kaku, tapi saya hentikan karena ada Doki, kucing satunya lagi. Takut tertular, Doki saya suruh masuk, saya antar.
Tapi, waktu saya kembali, ia tak ada di tempat semula. Saya cari lagi, ada di teras belakang di bawah sinar matahari yang terang. Ia merebah, kepalanya bergerak, sedikit saja, dari dalam mulutnya keluar lendir. Perutnya sudah tak bergerak, hanya dalam lehernya berdenyut pelan. Dan, lenyap.
Saya menyaksikan sakaratul mautmu. Selamat jalan Empus. Tadi pagi kamu pulang ke rumah, sekarang pulang ke rumah abadimu.***