Mohon tunggu...
Lukman Hamarong
Lukman Hamarong Mohon Tunggu... Administrasi - Sangat sulit menjadikan aku seperti kamu, karena aku adalah aku, kamu ya kamu

Mengalir seperti air

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

PNS dan Sandal Jepit

9 Desember 2016   19:12 Diperbarui: 9 Desember 2016   19:38 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bekerja sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS), tentu mempunyai kebanggaan tersendiri bagi seseorang yang sudah diangkat melalui Surat Keputusan Kepala Daerah dengan melewati beberapa tahapan tes, baik tes akademik, komputer, wawancara maupun psikotes. Sebagian besar masyarakat sangat memimpikan menjadi seorang PNS, sehingga seolah-olah di dunia ini cuma PNS satu-satunya pekerjaan yang tersaji di muka bumi.

Padahal kalau kita mau jujur, masih banyak pekerjaan lain yang lebih jelas keringatnya. Suka tidak suka, PNS sudah menjadi primadona di semua kalangan. Bahkan ada pandangan stereotif dari sebagian masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan yang mengatakan bahwa PNS adalah strata tertinggi dari elemen bangsa ini. Maka tidaklah heran ketika orang tua sangat menginginkan menantu seorang PNS. Biar tidak ganteng, yang penting punya NIP. Biar bukan keturunan darah biru, yang penting PNS.

Namun, pertanyaan yang muncul kemudian adalah setelah resmi menjadi abdi negara yang digaji oleh negara, punya NIP, pangkat, bahkan jabatan, lantas pengabdian seperti apa yang akan kita berikan untuk bangsa ini? Mungkin segala privilese yang disandang PNS tersebut menyebabkan sebagian aparatur sipil negara terkesan santai, apatis terhadap persoalan yang ada, dan terkesan acuh, bahkan sebagian lagi tak paham tugas pokok dan fungsinya, sehingga apa yang dilakukan hanya datang dengan kendaraan mewah, duduk baca koran, cerita gosip, main game, internet-an dan pulang tanpa ada perasaan bersalah sedikit pun. Apakah itu yang dilakukan PNS saban hari? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing yang merasa dirinya bagian dari Korps Pegawai Republik Indonesia yang menghiasi sejarah panjang perjalanan bangsa ini.

Ada pemandangan unik, kalau tidak bisa dikatakan miris, di kalangan PNS, terkait disiplin berpakaian. Sebenarnya regulasi tegas mengatur tentang kedisiplinan berpakaian bagi aparatur sipil negara. Permendagri Nomor 6 Tahun 2016 tentang Pakaian Dinas PNS diatur dengan jelas bahwa pakaian dinas harian untuk hari senin sampai selasa menggunakan pakaian warna khaki, hari rabu kemeja putih, kamis baju batik sesuai khas daerah masing-masing, dan jumat pakaian olahraga.

Berbicara tentang pakaian seragam PNS, orientasi berpikir kita tentu soal keseragaman dan kerapian, yang juga include di dalamnya tentang etika berpenampilan. Pertanyaannya, sudah beretikakah kita di saat jam kerja (kecuali waktu ishoma), kita masih wira wiri menggunakan sandal jepit? Berangkat kerja berseragam lengkap. Tiba di kantor, masuk ruangan, sepatu yang mengilap dilepas, dimasukkan ke dalam kaki meja, kemudian sepatu yang tadinya di kaki “disulap” menjadi sandal jepit di kaki.

Sudah menjadi rahasia umum, sebagian dari kita masih senang bersandal jepit di kantor, meski waktu ishoma sudah berlalu. Perilaku “minor” ini sebenarnya sudah jamak terjadi di mana saja. Ibarat kancing ketemu lubang, selalu menjadi teman setia, selayaknya sepasang kekasih. Meski tidak secara eksplisit dijelaskan dalam aturan yang baru, tetapi kebiasaan bersandal jepit di kantor adalah kebiasaan yang mengkhianati etika seorang PNS. Dalam poin keenam pasal I Permendagri Nomor 60 Tahun 2007 sebenarnya diatur tentang kelengkapan atribut pakaian dinas. Berikut bunyinya: Kelengkapan pakaian dinas adalah kelengkapan pakaian yang dikenakan atau digunakan Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan jenis pakaian dinas, termasuk ikat pinggang, kaos kaki dan sepatu beserta atributnya.

Ini artinya bahwa tak ada satu pun regulasi yang mengatur tentang sandal jepit, karena sandal jepit identik dengan suasana santai, bebas, dan tidak terikat aturan. Itulah sebabnya PNS tidak dilarang memakai sandal pada kondisi-kondisi tertentu, misalnya waktu istirahat, sholat dan makan. Tapi setelah itu, PNS wajib ke bentuk aslinya sebagai PNS. Namun kenyataannya, banyak yang keterusan sampai jam pulang kantor.

Mungkin sudah nyaman di kaki atau bisa juga karena lupa diakibatkan padatnya pekerjaan, hingga tanpa disadari, kita pun masuk ke ruangan pemimpin SKPD dengan balutan sandal jepit di kaki. Sungguh pemandangan yang kurang elok. Olehnya itu, mulai sekarang kita tanamkan berbenampilan sewajarnya dengan tetap memerhatikan kelengkapan atribut yang sudah diatur dalam regulasi yang ada.

Persoalan sandal jepit terbilang sepele, tapi bisa menimbulkan dampak yang kurang baik. Pepatah lama mengatakan, detail kecil bisa berdampak besar. Seperti halnya kebiasaan memakai sandal di kantor, akan menimbulkan image kurang baik. Petani saja yang sehari-harinya bersandal jepit, baik di sawah ataupun di rumah, tetapi saat menghadiri pertemuan, mereka akan memakai sepatu.

Petani saja tahu kapan harus memakai sepatu, kapan harus memakai sandal. Olehnya itu, mulai saat ini kita tanamkan jiwa kedisiplinan. Tidak hanya disiplin soal waktu dan disiplin kerja, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah disiplin berpenampilan. Jangan salahkan stigma yang sudah telanjur terbangun yang mengatakan PNS itu santai, tapi yang harus kita lakukan adalah tetap bekerja dan berupaya menghilangkan stigma tersebut dengan kerja nyata dan tetap memerhatikan detail kecil sesuai nafas kerja pemerintahan Jokowi-JK.

Persoalan paling ekstrim sebenarnya terletak pada apa bukan pada siapa. Karena perubahan mindset kita sepenuhnya tidak bergantung pada orang lain melainkan bersandar pada sarana dan prasarana penunjang aktivitas keseharian kita sebagai aparat pemerintah sekaligus sebagai abdi negara yang bekerja berdasarkan pengabdian dan dedikasi yang tinggi semata-mata demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Saya kira harapan untuk merubah paradigma dengan tidak lagi menyepelekan detail yang mikro sekalipun akan selalu ada sepanjang kita mampu merawat harapan tersebut dalam bingkai semangat juang. Bukankah salah satu kekuatan manusia untuk bertahan hidup itu adalah harapan? Seperti kata Desmond Tutu, seorang tokoh pergerakan di Afrika Selatan, bahwa harapan itu adalah kemampuan melihat setitik sinar di dalam kegelapan. 

(Lukman Hamarong)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun