Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Arogansi Ahok Dan Label "Tiko" Untuk Pribumi

17 April 2017   08:53 Diperbarui: 17 April 2017   18:00 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penulis tidak akan pernah kaget dan shock adanya insiden di Bandara Changi, sebuah pertunjukan sarkatis antara seorang yang memposisikan dirinya "kaya raya", "well-educated", "warga kelas satu" dan seabreg-abreg label borjuis, adiluhung dan lain-lainnya. Sebuah pertunjukan kasat mata antara kelompok yang merasa sedang diatas angin dan berhak men-judge kelompok yang dia rasa adalah medioker, proletar, marginal dan yang paling menyakitkan, adalah gegara dia pribumi.

Pria yang dimaki tersebut secara kebetulan adalah Gubernur NTB yang kebetulan S3, kebetulan hafidz Quran, kebetulan anak seorang pemuka agama kondang di kepulauan timur Indonesia tersebut menjadi ajang caci maki seorang anak muda yang ber-KTP bodong karena saat disatroni oleh kelompok masyarakat NTB yang bermukin di Jakarta tidak bisa mendapati yang bersangkutan dengan diiringi kebingungan perangkat RT/RW yang menginformasikan bahwa pemuda yang kebetulan keturunan non pribumi, kaya raya dengan rumah mentereng bak istana tersebut tidak pernah meminta persyaratan administrasi untuk pengurusan E-KTP.

Polarisasi yang semakin menjadi saat Ahok menampakkan sisi terliar dirinya karena secara impolite melakukan verbal abuse, berkali-kali di depan publik kepada warga yang dia anggap tidak benar dalam opini atau persepsi yang dia bangun. Konyolnya, tindakan kasar, tidak menunjukkan empati dan karakter seorang pemimpin tersebut menjadi trade mark yang dia jual dan diikuti oleh pendukungnya yang gagal memahami kebutuhan mendasar rakyat Jakarta untuk seorang pemimpin. Alih-alih mereda, sikap Ahok tersebut sepertinya seperti menjadi trigger -bahkan oleh pendukung yang se-etnis dengan dirinya. Kasus memalukan dan memuakkan yang terjadi di Bandara sebuah negara yang paling rasis se-Asia tersebut kontan memicu sentimen antar etnis yang eskalatif.

"Tiko", sebuah label, sebutan dan julukan yang sebenarnya sudah eksis bertahun-tahun di negeri paling tinggi penerapan demokrasinya, hingga minoritas bisa begitu leluasa memporak-porandakan nilai-nilai lokal yang arif. Sebutan tersebut seiring sejalan dengan sebutan "cokin". Pun sebuah sebutan untuk memberikan aksentuasi kepada sekelompok warga yang bermata sipit dan memiliki kekayaan materi yang berlimpah. Sebuah bahasa slang atau prokem untuk menyebutkan "kecinaan" seseorang. Namun berbeda derajat dalam artinya. Jika "tiko" disemburkan dari mulut seseorang yang terlabeli "cokin" maka artinya kurang lebih "dasar Babi jantan". Ti berarti babi dan ko berarti Jantan dalam bahasa hokkien. Label kepada pribumi ini telak merupakan sebuah caci maki yang sarkastik.

Sungguh, kejadian tersebut akan melulu ditemukan sepanjang Ahok dalam upaya mempertahankan hegemoninya sebagai seorang penguasa. Persis sebuah fenomena ayam yang berhamburan keluar dari kandang saat pagi hari. Berkotek-kotek dan berlarian sesuka-hatinya. Ahok bak seorang petualang seperti Conan The Barbarian yang menjadi inspirasi dri kelompoknya untuk membalaskan sakit hati pasca rontoknya Orde Baru yang mengkooptasi hiruk pikuk kelompok mereka sedemikian rupa. Presiden Soeharto entah keliru atau sengaja hanya menyediakan sepenggal kavling kesempatan bernama bisnis atau perdagangan saja untuk eksistensi mereka di Indonesia. Pembatasan aktualisasi diri di dunia militer, birokrasi hingga aparatur negara malahan menjadikan kelompok ini bak Troll yang memiliki hutan belantara sendiri dan berkembang biak sedemikian rupa hingga bisa membangun benteng-benteng pertahanan hingga komponen pasukan tempur well-trained seperti yang terjadi hari ini. Semua sosial media hingga media mainstream sudah mereka kuasai sedemikian rupa.

Para pribumi yang mendapatkan label "tiko" seharusnya bisa memandang cacian ini sebagai sebuah suplemen moral untuk bangkit dan terhindar dari sebuah ironi yang paling kelam seperti yang terjadi pada tanah melayu di Singapura. Para puak melayu ini mentok hanya akan menjadi medioker saja. Semua dikuasai habis-habisan dari semua elemen yang ada di negara seupil tersebut.

Salam Pribumi Tiko!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun