Mohon tunggu...
Imam Prasetyo
Imam Prasetyo Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya muslim

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

'Waiting in the White House Lobby', Ketika Jokowi Menggunakan Makelar Gedung Putih

7 November 2015   12:00 Diperbarui: 8 November 2015   04:36 3442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Michael Buehler, dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies tidak main-main mengatakan adanya praktek makelar untuk bisa mendapatkan kesempatan melakukan kunjungan ke Gedung Putih untuk segala keperluan dan salah satunya tentu saja mahfum dalam politik upaya-upaya lobby pihak luar dengan pemegang kebijakan di Amerika Serikat.

Kunjungan Jokowi yang terkesan mendadak berdasarkan visualisasi yang bisa ditangkap oleh seluruh rakyat Indonesia berikut respon yang diberikan Amerika Serikat kepada presiden ketujuh Republik Indonesia yang jauh dari kesan formil seperti penyambutan dalam upacara militer. Seremonial yang identik dengan bentuk penghargaan Amerika Serikat kepada pejabat negara yang berkunjung tersebut tidak diterima oleh Jokowi yang merupakan representasi dari negara berpenduduk muslim terbesar sedunia. Kekhasan Indonesia tersebut setidaknya menjadi nilai yang teramat berharga yang dibawa oleh Jokowi ke negeri Paman Sam tersebut.

Tuduhan dari Buehler tentu saja menimbulkan banyak spekulasi terkait 'dinginnya' penyambutan Amerika Serikat dan sangat tergesa-gesanya keputusan untuk berkunjung tersebut dibuat. Hanya 80 menit waktu yang diberikan Obama untuk Jokowi mempresentasikan hal-hal yang tidak signifikan kecuali tudingan adanya upaya 'cari muka' pemerintahan sekarang untuk memperpanjang kontrak karya Freeport yang tengah digaungkan untuk dapat segera dihentikan karena tidak memberikan manfaat yang berarti bagi Papua atau Indonesia pada umumnya.

Tudingan adanya slot waktu yang bisa diupayakan oleh broker R&R Partners, sebuah konsultan politik yang berkantor di Singapura yang menjual jasa lobi dengan Gedung Putih dengan nilai 80 ribu dolar AS, yang harus dibayar dalam empat angsuran antara 15 Juni hingga 1 September. Wow! bukan angka biaya makelar yang mahal tapi sebuah cara yang sangat tidak menunjukan harga diri sebuah bangsa yang besar.

Agenda yang seperti bisa 'dicuri' untuk sebuah kesempatan yang dimiliki oleh Jokowi sekedar menampakan konsekwensi format politik bebas aktif yang diusung oleh Indonesia setelah Barat merasa Indonesia lebih condong ke kiri. Kedekatan dengan China dan Rusia membuat Jokowi merasa perlu sowan ke Gedung Putih untuk menjelaskan posisi Indonesia sekaligus meng-update situasi dari politik yang dinamis terkait isu Freeport.

"Mengapa konsultan Singapura membayar 80 ribu dolar AS kepada sebuah perusahaan PR di Las Vegas agar pemerintah Indonesia bisa memiliki akses masuk ke Gedung Putih?" Tajuk ini diungkap oleh Buehler menengarai adanya korespondensi untuk mengatur pertemuan Jokowi dengan Barrack Obama. Jika Indonesia seperti negara Fiji atau Cyprus yang tidak memiliki energi yang cukup kuat dalam percaturan politik global seperti layaknya Indonesia masih bisa diterima kenyataan ini. Namun lain hal dengan kian kuatnya beberapa faktor seperti militer dan peran strategis Indonesia seharusnya membuat kita malu sampai adanya insiden Indonesia yang harus membayar makelar agar bisa mempertemukan Jokowi dengan negara super power tersebut.

Sekali lagi tesis adanya pergeseran interes Indonesia pasca dilantiknya Jokowi sebagai presiden ke negara-negara penganut komunisme membuat persepsi publik semakin menggeliat, betapa tudingan semakin mengkristalnya anasir-anasir yang selama ini latent dan senyap sekarang menyeruak kepermukaan.

Slot waktu yang 'nyempil' dan harus dipergunakan secara optimal oleh rombongan Jokowi hanya menyisakan sedemikian banyak asumsi, apa manfaat dari kunjungan tersebut? Kemudian dengan celetukan Jokowi yang akan menjadikan Indonesia sebagai pasar terbuka untuk korporasi yang berdomisili di wilayah Asia Pasifik berikut minus persiapan infrastruktur maupun SDM yang dilakukan pemerintahan sekarang. Hanya menghasilkan kasak-kusuk yang kontraproduktif dengan lambannya kabinet Kerja memfasilitasi realisasi dari Nawacita dan Trisakti seperti yang digaungkan dengan gegap gempita oleh Jokowi di masa-masa kampanye.

Jika untuk bertemu Obama saja Jokowi memerlukan jasa makelar mestinya jangan kaget juga adanya tudingan rekayasa rumah singgah (proyek Roro Jonggrang) saat Jokowi berkunjung ke Sumatera atau tudingan beberapa Babinsa yang jadi sutradara pencitraan saat Jokowi bertemu dengan Suku Anak Dalam

Salam Anti Pencitraan, Save 80 K US Dollar For Nothing!

Tautan Rujukan

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun