Mohon tunggu...
Ilyani Sudardjat
Ilyani Sudardjat Mohon Tunggu... Relawan - Biasa saja

"You were born with wings, why prefer to crawl through life?"......- Rumi -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jenazah Pemilih Ahok dan 5 Kesalahpahaman yang Terjadi

14 Maret 2017   20:39 Diperbarui: 15 Maret 2017   06:00 1180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Membaca berita mengenai jenazah pemiih Ahok yang 'diharamkan' disholatkan di Mesjid/mushola membuat saya mengernyitkan dahi. Kasusnya sudah ada, yaitu ketika Ibu Hindun, seorang nenek yang memilih Ahok wafat, disebutkan bahwa mushola dekat rumahnya menolak jenazahnya untuk disholatkan disana. Waduh, benarkah kisahnya seperti itu? Ternyata setelah klarifikasi sana-sini, Kapolres Jaksel menyebutkan tidak ada penolakan warga untuk mensholatkan Ibu Hindun.

Mengenai penolakan warga atau mushola itu aneh menurut saya. Mesti ada kesalahpahaman deh, baik warga yang menolak maupun yang sedang ditimpa musibah anggota keluarganya ada yang wafat, yaitu:

1. Tidak ada kewajiban mensholatkan jenazah itu di Mesjid atau Mushola. Jadi inget ketika ayah saya wafat, beliau disholatkan di rumah, dan yang menjadi Imampun adik lelaki saya. Adikku bukan lulusan pesantren, tetapi yang namanya pengurusan jenazah memang kudu dipelajari, mulai dari mentalqinkan orang yang sakaratul maut, kemudian memandikan, mengkafankan hingga menguburkan, termasuk doa-doanya. Memang ayah saya sebelum dikuburkan tetap disholatkan lagi di mesjid dekat pemakaman, karena masih banyak orang yang ingin mensholatkan beliau. Duh, jadi kangen berat sama ayahku. Tetapi sekali lagi, mensholatkan itu cukup di rumah juga gak masalah. 

2. Keutamaan pengurusan jenazah dilakukan oleh keluarga inti terlebih dahulu. Jadi kalau bukan anak, bisa juga adik, paman, pakde, dan seterusnya. Jadi bukan orang lain, yang kadang di Jakarta inipun tetangga bisa saling gak kenal. Atau sibuknya gak ketulungan. 

3. Kewajiban pengurusan jenazah merupakan fardhu kifayah. Ini merupakan kewajiban komunitas, yang apabila salah seorang warga sudah melakukannya, maka kewajiban orang lain sudah gugur. Oh iya, fardhu kifayah ini juga menyangkut orang miskin di komunitas loh, jika masih ada yang terlantar di komunitasnya, maka 'dosa' nya juga dosa komunitas, tetapi jika ada yang sudah menyantuni, maka gugur kewajiban bersama ini. 

4. Memang, semakin banyak yang mensholatkan, maka akan semakin banyak doa-doa yang dipanjatkan terhadap orang yang wafat tersebut. Tetapi inipun tidak harus dilakukan tetangga, bisa siapa saja yang kenal ataupun simpati terhadap amal-amal si mayit (orang yang wafat) akan mendoakan beliau. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan kebaikan

5. Penghormatan terhadap jenazah, bukan karena sekedar apa yang telah dilakukannya. Tetapi karena kemanusiaannya. Jadi ingat ketika RasulullahSAW berdiri ketika ada jenazah Yahudi yang lewat. Sahabat bertanya, Ya Rasul, bukankah dia Yahudi? Jawab Rasul, jika kamu melihat jenazah, maka berdirilah (Bukhari no.1311). 

Semoga stigma soal kasus Ibu Hindun bisa segera berakhir. 

Ya sudah gitu aja. Salam Kompasiana!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun