Mohon tunggu...
Ika Septi
Ika Septi Mohon Tunggu... Lainnya - Lainnya

Penyuka musik, buku, kuliner, dan film.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengenang Band Punk "Sex Pistols" Melalui Buku "1977: The Bollocks Diaries"

19 September 2017   17:08 Diperbarui: 20 September 2017   19:10 5273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Akhir-akhir ini saya kerap melihat kumpulan remaja laki-laki maupun perempuan yang berdandan ala-ala punk. Entah ketika mereka bubaran nonton konser band punk, mengamen atau hanya nongki-nongki gak jelas di pinggir jalan. Alih-alih membuat terpesona, keberadaan mereka di jalanan malah mengganggu penglihatan.

Beberapa tahun ke belakang, pertunjukan band punk lokal cukup marak diselenggarakan di daerah pinggiran. Sang penyelenggara biasanya memilih tempat tertutup untuk event seperti ini. Tetangga jauh saya adalah salah seorang penyelenggara merangkap personil salah satu band yang ikut meramaikan event-event tersebut. Berkat otak bisnisnya yang tajam, ia dapat meraup keuntungan dengan menjual merchandise yang berbau-bau punk dalam lingkup komunitasnya. Rupanya, motto Do It Yourself (DIY) cukup melekat dalam dirinya.

Namun, saya ragu bahwa banyak dari remaja ini, yang berada dibawah bendera punk, memahami semangat dan simbol-simbol punk itu sendiri. Bila saya boleh menebak, sebagian besar dari mereka pasti tak mengetahui bahwa tahun lalu, di pinggiran Sungai Thames, Kota London sana, ada seseorang yang bernama Joe Corre telah membakar habis sekumpulan warisan berharga berupa merchandise dari sebuah band punk legendaris Inggris senilai 9 miliar rupiah tanpa penyesalan sedikit pun.

Ya, Corre adalah putra dari Malcolm McLaren dan Vivian Westwood, dua sosok penting dalam perjalanan karir band punk yang hanya memiliki satu album studio selama 2,5 tahun karir mereka bermusik, The Sex Pistols.

Menurut Corre, gerakan punk yang sebelumnya membuka kesempatan bagi para generasi 70-an yang tak memiliki masa depan untuk mencari jalan keluar dengan cara sendiri yang dikenal dengan DIY itu telah dicederai oleh para pelaku bisnis yang tak mengerti akan segala hal tentang punk namun dengan membabi-buta mengeksplorasinya dalam beragam cara demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Corre berujar, sejak negaranya menetapkan tahun 2016 sebagai "The Year of Punk", anti kemapanan telah berganti wajah menjadi kemapanan itu sendiri.

Salah satu personil Sex Pistols, Johnny Rotten menyayangkan tindakan Corre yang sangat gegabah karena beberapa barang yang dibakar adalah miliknya dan milik mendiang sahabatnya, Sid Vicious.

Seperti yang diketahui Johnny Rotten yang memiliki nama asli John Lydon itu adalah teman senasib dan sepenanggungannya John Simon Ritchie yang lebih dikenal dengan nama Sid Vicious. Mereka bertemu saat menempuh pendidikan di Hackney Technical College. Merasa "klik", mereka pun melakukan banyak hal bersama termasuk mengamen dan nongkrong di salah satu toko clothing-an milik pasangan McLaren dan Westwood.

Sebagai mantan manajer grup punk rock Amerika "New York Dolls", McLaren tertarik untuk mengorbitkan band-band bernafas punk yang ismenya tengah mengaliri banyak darah anak muda Inggris kala itu. Ia sendiri telah memiliki 3 orang kandidat untuk band debutannya tersebut yaitu Steve Jones (gitar), Glen Matlock (bass) dan Paul Cook (drum). Saat itu posisi vokalis belum ada yang mengisi. Tak berapa lama, McLaren pun menemukan seorang vokalis yang ia butuhkan. Pemuda itu kerap terlihat menikmati musik dari jukebox yang berada di tokonya. "I'm Eighteen", sebuah nomor milik Alice Cooper telah mengantarkan John Lydon ke hadapan sang manajer. Suara Lydon yang sama sekali tak merdu justru membuat Sex Pistols terdengar unik sehingga diterima dengan tangan terbuka oleh para penggemar musik punk.

Sex Pistols adalah band yang penuh kontroversi. Lagu-lagunya yang berlirik tajam menyinggung tentang kebijakan dalam industri musik, kebusukan para politisi, kekerasan, konsumerisme, anarki sampai fasisme itu berjalan beriringan dengan keliaran prilaku para personilnya yang kerap melahirkan banyak kerusuhan dan kekacauan. Bisa dikatakan lebih banyak kekacauan yang mereka buat daripada musik itu sendiri. Persis seperti apa yang Steve Jones ucapkan, "We're not into music, we're into chaos".

Ilustrasi : wikipedia
Ilustrasi : wikipedia
Salah satu kekacauan yang sangat memorable adalah ketika dengan heroiknya mereka membawakan nomor "God Save The Queen" yang baru saja rilis, di atas sebuah boat yang mengambang di sungai Thames ketika peringatan Silver Jubilee Ratu Elizabeth II. Peristiwa ini membuat pihak berwenang harus menahan mereka, dan melarang lagu tersebut untuk di putar di semua radio. Alih-alih turun pamor, hal itu justru membuat mereka lebih digandrungi.

Sang bassist awal, Glen Matlock yang digadang-gadang sebagai satu-satunya orang yang mengerti musik akhirnya memutuskan hengkang karena konflik internal. Ada gosip yang beredar bahwa Matlock tidak disukai oleh teman-temannya karena ke-Beatles-Beatlesan, datang dari keluarga menengah dan terlalu kalem. Entah mana yang benar. Posisinya lalu digantikan oleh bassist yang tak pandai memainkan alat musik betot satu itu. Ya, Sid Vicious, yang sebelumnya kerap dijuluki sebagai personil kelima Sex Pistols karena selalu ada dimana band itu berada akhirnya dapat tebar pesona dalam band yang ia idolakan itu. Mantan pemain drum "Siouxie and The Banshees" itu terkenal memiliki prilaku yang buruk dan menggemari obat-obatan.

Seburuk-buruknya tiga personil lainnya, Vicious lah yang paling buruk. Namun tabiat buruknya malah membangun sebuah karisma tersendiri dalam dirinya yang membuat banyak penggemar mendewakannya. Meskipun permaianan bassnya sangat buruk sehingga memaksa Jones untuk bermain gitar sekaligus bass untuk nomor-nomor di album mereka namun tak membuat sang manajer dan personil lainnya gusar. Karena bagaimana pun juga Vicious, sang pencipta tarian pogo itu sangat berperan dalam melambungkan band ini dengan perilakunya yang sangat aduhai, baik di atas maupun di bawah panggung. Liar, jorok, semau gue, dan senang memberontak, semuanya ada dalam dirinya dan hal itu menjadi semacam daya tarik bagi para remaja yang tengah gandrung-gandrungnya pada kebebasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun