Mohon tunggu...
Ikal HIdayat Noor
Ikal HIdayat Noor Mohon Tunggu... -

jurnalis yang gemar menulis fiksi...

Selanjutnya

Tutup

Foodie

William Wongso, Diplomasi Kuliner Indonesia

13 Mei 2014   23:33 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:32 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13999734791673488230

Saat publik Indonesia sedang dibuai  kuliner luar, William Wongso justru tampil berbeda. Tiga puluh tahun kenyang melanglang buana di dunia kuliner internasional, William  terpanggil untuk mempromosikan kekayaan rasa kuliner tanah air.

Kecintaan William Wongso akan kuliner berawal dari kebiasaan keluarga. Sejak kecil, meski berdarah keturunan, Wiliam yang dibesarkan di Surabaya ini telah diperkenalkan berbagai cita rasa masakan khas Indonesia oleh orang tuanya. Sang ayah, Soewadi Wongso, selalu mengajaknya mencicipi berbagai masakan tradisional, salah satunya adalah soto madura.

William kecil sama sekali tak pernah disuguhi rupa-rupa masakan mewah ala raja.

“Saya tidak pernah diperkenalkan oleh ayah saya pada makanan mahal. Jadi saya tidakdigedeindenganshark fin,abalone, dan lain sebagainya,” katanya.

Dari sanalah lidahnya mulai akrab dengan cita rasa tanah air. Dan minatnya untuk berkecimpung di dunia kuliner pun mulai tumbuh ketika menyaksikan keahlian sang ayah dalam memasak.

Walau pun tak pernah diajari secara khusus, William kerap memperhatikan sang ayah ketika memasak. Cara belajar autodidak ini diterapkan kembali ketika ia memutuskan terjun ke dunia kuliner saat berumur 30 tahun. Dengan rajin, ia mengunjungi setiap warung dan restoran mewah. Ia pelajari setiap teknik langsung dari para pemilik.

Bagi pria 65 tahun itu, kuliner bukanlah sekadar jalan-jalan dan makan-makan sebagaimana yang banyak dilakukan orang pada umumnya. kuliner adalah soaltastingdan bagaimana menggali keunikan dari rasa sebuah masakan. Memori rasa dari sebuah masakan akan menjadi kekayaan tersendiri yang tidak bisa dipelajari secara akademis.

Even when you go to the best culinary school in the world,” terang pemilik Vineth Bakery dan William Kafe Artistik itu.

Kurang dihargai

Untuk lebih memperkaya pengetahuan kulinernya, William seringkali berkelana ke banyak tempat. Eropa adalah salah satu tujuan favoritnya. Ia mengaku gemar menjajal restoran terbaik di sana.

William bahkan juga sempat bermukim di Tokyo untuk mengikuti pelatihan kerja di Hamanasa Yakiniku Chain. Setelah menguasai seluk beluk pastry, ia menambah wawasannya tentang wine di California Wine Education Programme, University of California. Tak cukup puas dengan setumpuk pengalaman belajar tadi, William terbang ke Prancis guna menimba ilmu di Le Cordon Bleu L’Art Culinaire, Paris dan di Arts Culinaires et de L’Hotellerie, Lyon.

Pengalaman William berkeliling dunia memang membuatnya mengenal kekayaan kuliner dari berbagai negara, namun hal itu tak begitu saja melunturkan kecintaannya pada kuliner Indonesia. Bagi William, tak ada yang dapat menandingi keragaman kuliner Indonesia.

“Semua makanan Indonesia itu elit. Rendang contohnya, saya pernah nyoba delapan puluh jenis rendang dari delapan puluh daerah berbeda di Sumatra Barat, rasanya beda-beda dan luar biasa,”terangnya.

Namun ironisnya, Indonesia, negeri sejuta rempah yang dahulu diperebutkan bangsa Eropa, nyaris tidak dikenal dalam peta kuliner global. Dibandingkan dengan kuliner dari Jepang yang amat dikenal di seluruh dunia, mulai dari sushi, teriyaki, hingga sashimi. Korea yang tak ketinggalan memperkenalkan kimchi dalam daftar kuliner global, demikian pula Thailand dengan tom yam gong-nya.

Bahkan yang terjadi di negeri sendiri adalah setiap harinya lima belas juta orang Indonesia mengonsumsi makanan non Indonesia. Hal tersebut diakui oleh William adalah karena masyarakat masih saja mengidentikkan masakan Indonesia dengan berbagai hal-hal kumuh. Karena memang belum banyak pelaku kuliner profesional yang mau mengangkan martabat cita rasa Indonesia.

Diplomasi Kuliner

Ada sebuah mitos yang berkembang mengapa Indonesia jarang bisa membuka resto masakan Indo di luar negeri adalah karena bumbunya yang ribet. Namun, Wiliiam membantah soal itu.

“Bumbu makanan Thailand juga ribet, tapi mereka pandai mengolah. Karena selain skill pelakunya juga banyak. Itulah yang tidak kita miliki. Para pelaku kuliner profesional kita lebih tertarik untuk menjual masakan luar,” terangnya.

Menurutnya, Indonesia memang masih kalah bersaing dengan pengembangan makanan dengan negara lain di lingkungan global. Karena mereka memang telah mencanangkan industri makanan mereka di tingkat global.

“Kita itusudahketinggalan sangat jauh dari Thailand, Malaysia, Singapura, India, dan Korea Selatan,” terangnya.

Padahal menurut William, potensi masakan Indonesia diterima masyarakat luar sangat besar. Saat ini saja, masyarakat dunia gencar melirik Asia Tenggara. Mereka ingin mencari misteri rasa dari kuliner Indonesia dan itulah yang harus dimanfaatkan.

"Kita negara yang punya keanekaragaman kuliner terbanyak di dunia. Menyedihkan, orang Indonesia banyak yang tidak bisa masak masakan otentik terutama yang profesional," kata William.

Oleh karenanya, agar kuliner Indonesia mulai dikenal di kancah dunia, menurut William, harus ada diplomasi kuliner. Itulah hal yang saat ini kerap ia lakukan, yaitu dengan merangkul para chef di Kedutaan Besar Republik Indonesia. Sejumlah KBRI seperti di Den Hague, Kerajaan Belanda; London, Kerajaan Inggris; Seoul, Korea Selatan, dan perwakilan diplomatik Republik Indonesia di sejumlah negara kerap kali ia datangi untuk membagi ilmu.

“Saya ingin nantinya presiden kemana-mana bawa tim kuliner. Kalau ini terjadi semua orang akan tahu betapa kayanya masakan Indonesia,” tuturnya.

Masakan-masakan Indonesia kelas dunia

Di penghujung tahun 2011, rendang berada di urutan 1 masakan terlezat di dunia versi CNN. Menurut William Wongso, sudah selayaknya rendang masuk di jajaran makanan paling enak.

Masyarakat Indonesia pun tak cukup hanya berbangga namun juga perlu mempopulerkan rendang dan masakan Nusantara lainnya seperti halnya batik yang sudah diakui sebagai warisan budaya internasional.

"Tapi harus menyebutnya rendang Padang, bukan hanya rendang. Sebab kalau hanya menyebut rendang, berarti bukan versi Padang. Bisa jadi rendang dari peranakan Singapura atau Malaysia.," ujarnya

Rendang memang populer di kawasan Melayu. Apalagi warga di Malaysia dan Singapura banyak juga yang merupakan perantau dari Padang. Tapi, William menguraikan, komposisi rempah dan proses pemasakan rendang Padanglah yang membedakan rasanya. Tak heran, bila negara tetangga seperti Malaysia pernah mengklaim rendang. Meski demikian, William berpendapat, rendang tak perlu dipatenkan, karena menurutnya makanan bukanlah sebuah merek karenanya tidak akan bisa dipatenkan.

"Nggak perlu repot-repot, biarlah nanti masyarakat internasional yang menilai sendiri, yang harus kta lakukan sekarang adalah terus mengenalkannya," ujar William.

William juga mengatakan, selain rendang sebenarnya masih banyak makanan Indonesia yang berpotensi jadi makanan terenak di dunia. Misalnya, sop buntut, nai nura batak, ayam rica-rica, ayam betutu, ayam tangkap, asinan Jakarta, dan pecel.

Sehat  itu berasal dari dapur

Banyaknya masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya makanan sehat, membuat banyak restoran dan tempat makan melabelkan tempatnya dengan makanan yang dijamin sehat. Namun, William berpesan agar jangan pernah terkecoh dengan hal seperti itu. Karena menurutnya, segala sesuatu yang sehat adalah sesuatu yang dikerjakan sendiri.

"Yang dikatakanHealthy fooditu kalau kita masak sendiri, belanja sayurannya sendiri, membersihkannya sendiri, sambil berkata 'ini healthy'," terangnya.

Bahkan, menurutnya jargon 'makanan sehat' yang dijual di restoran, hanyalah omong kosong belaka.

"Di restoran, tidak ada yang menggunakan minyaknya sekali pakai. Semua rata-rata dipakai berulang," terangnya.

William menekankan, untuk mendapat masakan yang sehat kita harus kembali ke dapur. Kembali meracik makanan sendiri, memilih sayuran sendiri, menakar dan memasukkan bumbu sendiri, sebagaimana budaya memasak yang dulu dilakukan oleh nenek moyang kita sehari-hari.

“Yang paling basic adalah kita harus kembali memasak di rumah. Memasak makanan khas Indonesia,” pungkasnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun