Mohon tunggu...
Ikal HIdayat Noor
Ikal HIdayat Noor Mohon Tunggu... -

jurnalis yang gemar menulis fiksi...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Kota Kita

6 Februari 2015   01:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:45 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1423144918263749522

[caption id="attachment_395159" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi. (Kompas.com)"][/caption]

Kota di mana manusia lahir dan dibesarkan oleh mesin. langit hanyalah ruang kosong yang ditinggalkan begitu saja selepas pergumulan antara dua gelandangan. kaki-kaki berjalan dan tak pernah yakin benar-benar menginjak tanah. tubuh-tubuh berkumpul tanpa tahu harus melakukan suatu apapun. kesadaran telah habis diperah sejak matahari terbit dan tenggelam.

kota di mana dinding-dinding begitu kesepian sehingga merasa perlu mencoreti dirinya sendiri. kendaraan sengaja berlama-lama di jalan raya agar bisa bertemu dan memeluk kekasihnya. sedangkan binatang-binatang pilihan dirawat di sebuah istana lalu dibiarkan merusak apa saja.

kota di mana jutaan nasib digantungkan pada sesobek kertas yang ditempelkan pada pohon harapan yang telah begitu tua dan kelelahan. setiap keinginan harus disembunyikan di balik topeng, atau jika tak tahan, kau harus benar-benar telanjang dan menari-nari agar permintaanmu dikabulkan.

kota di mana kesetiaan adalah daun-daun pisang yang telah ribuan hari dicumbui matahari. seseorang yang suaranya begitu menggetarkan hatimu hari ini bisa jadi memang malaikat, atau hanya iblis yang belum memutuskan untuk durhaka.

kota di mana malam merasa takut ketika harus menatap dirinya sendiri. rembulan dan bintang-bintang tak dibutuhkan sama sekali. orang-orang lebih percaya pada lilin-lilin mimpi yang diobral televisi, sedangkan mereka yang tertidur tanpa mampu lebih dulu membelinya harus pandai memeluk  erat-erat kenyataan dengan cara yang paling lapang.

kota di mana kita diwajibkan undang-undang untuk mencintainya habis-habisan dan berteriak-teriak ‘merdeka’, tanpa pernah berhenti satu detik pun mencari tahu arti sebuah kemerdekaan.

kota serupa ini yang seumur hidup akan kita tinggali, dan terus bertanya-tanya apakah kita sudah bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun