Tidak ada yang menyangkal bahwa Indonesia saat ini tengah melaksanakan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan. Â Bahkan dunia memuji-muji, Indonesia tengah dan terus menemukan wajah demokrasi yang lebih kuat dan liberal di tengah kemunduran demokrasi di Negara-negara lain, bahkan termasuk di Amerika yang dianggap kiblat dari demokrasi.
Unjuk bukti, tidak susah. Indonesia saat ini sudah menyelenggarakan pemilu langsung mulai dari presiden sampai bupati. Partai-partai bebas dibentuk dan didirikan. Bahkan sangkin bebasnya, kemunculan partai bak cendawan di musim hujan. Bukti lain adalah adanya kebebasan pers dan munculnya parlemen yang semakin kritis. Bila ini dijadikan patokan, tak salah menunjuk Indonesia negara demokrasi. Â Â
Inilah yang salah, soalnya demokrasi sekadar dipahami secara struktural dan prosedural. Kita merasa cukup jika instrumen demokrasi seperti pemilu langsung telah berjalan. Demokrasi kita anggap telah berada pada jalur yang tepat jika proses pembuatan regulasi telah melalui perdebatan di tingkat legislatif.Â
Inilah masalahnya. Sebab demokrasi sejatinya bertujuan untuk kesejahteraan rakyat. Demokrasi menjadi sistem untuk kepentingan keadilan dan kemaslahatan publik. Sayang demokrasi terbajak oleh kepentingan kelompok dan elit tertentu yang menjadikan sekedar permainan prosedural.Â
Dengan cara inilah  para elit politik mewujudkan mimpi fasisme mereka.   Dimana mimpi para fasis saat ini bukan lagi menaklukkan, mendominasi secara fisik atau memaksa lewat tekanan refresif. Tapi justru melalui cara-cara yang lebih common sense. Lewat instrumen demokrasi yang justru dianggap menjadi kebutuhan dalam era saat ini.  Namun justru dengan dan melalui instrumen semacam demokrasi ini fasisme justru bekerja lebih efektif, lebih kuat daya takluknya dan membuat orang kebanyakan tunduk tak berdaya.
Inilah, yang oleh Slavoj Zizek dianggap sebagai mimpi penguasaan secara mutlak. Dengan cara ini, demikian Zizek, Â tidak ada riak perlawanan, tidak ada antagonisme, semua berjalan dibawah alur yang telah ditetapkan dan diatur oleh yang sedang menjalankan kekuasaan. (Zizek, 1993).
Dengan demokrasi semacam ini, para elit politik bekerja untuk kepentingan diri mereka sendiri. Mereka mencari pencitraan diri melalui pintu demokrasi. Inilah yang disebut Zygmunt Bauman (2005)sebagai liquid politic atau politik cair. Â
Jika pada akhirnya demokrasi berhenti secara prosedural bahkan dibajak oleh kepentingan elit politik semacam ini, maka tak salah bila kita katakan selamat datang demokrasi fasisme. Dua hal yang sesungguhnya sangat berbeda, pada akhirnya kita harus saksikan bersatu . Tapi relahkah kita....?
(Tulisan beberapa tahun lalu , baru diposting)