Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Arcandra, Dual Nationality dan Nasionalisme

18 Agustus 2016   07:43 Diperbarui: 18 Agustus 2016   07:47 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah beberapa hari tidak mengikuti berita Indonesia, saya terkesima dengan kasus Pak Arcandra yang ndalalah terjadi di periode yang secara tradisional merupakan puncak perayaan nasionalisme Indonesia.

Patutkah seorang menteri memegang kewarganegaraan ganda ? Logikanya posisi strategis yang berpotensi untuk mendapat informasi dan ikut berpartisipasi aktif dalam masalah yang sangat sensitif (keamanan nasional, misalnya) memang selayaknya tidak diberikan ke seorang individu yang berpotensi memiliki kestiaan kepada nagara lain. 

Dalam logika ini memang pemberhentian Pak Arcandra memang masuk akal... Di AS sekalipun, yang membolehkan multi kewarganegaraan posisi semacam ini biasanya hanya dibatasi bagi warga negara AS. Namun harus diingat bahwa gubernur Bank of England yang memegang kekeusaan moneter tertinggi di Inggris saat ini adalah seorang Kanada. Presiden ketiga Indonesia yang nota bene adalah panglaima tertinggi angakatan bersenjata disinyalir memiliki kewarganegraan ganda, begitu pula salah satu calon Presiden pada pemilu 2014 yang lalu...

Apakah Indonesia harus memberi pengecualian kepada Pak Arcandra karena beliau adalah seornag berbakat ? Jawabnnya adalah tidak karena UU harus diberlakukan secara konsisten. Yang menjadi isu adalah tepatkah UU kewarganegraan Indonesia yang meskipun sudah diperbarui sekitar 12 tahun lalu namun esensinya masih sama  dengan UU asli yang dikeluarkan di tahun 1958.

****

Harus diakui bahwa kewarganegaraan berhubungan dengan kesetiaan seseorang dengan sekolompok masyarakat yang membentuk sebuak kontrak sosial untuk bernegara. Hal ini berarti bahwa pemilikmulti kewarganegaraan memiliki multi kesetiaan. Namun haruskah hal ini menjadi masalah besar ? Misalnya apabila seorang Indonesia hidup di sebuah negara asing, maka mau tidak mau dia akan berhutang budi pada negara yang telah memberikan penghidupan kepadanya. 

Apabila dia tetap memegang kesetiaan dengan Indonesia (biasanya karena alasan ikatan primordial),  pantaskah dia mengkhianati tempat dimana dia hidup ? Jelas tidak. Manusia yang berbudi tidak akan mengkhianati tangan yang memberi dia makan dan tempat hidup. Dalam logika ini, multi kesetiaan akan terbentuk tanpa harus mempunyai multi kewarganegaraan. Refleksi ini selayaknya diberlakukan pula bagi warga Indonesia keturunan Cina yang di periode 1970-180-an dicecar dengan politik pembauran yang bertujuan untuk membunuh identitas primodial mereka, yang memang tidak akan dapat dihapuskan dengan mudah.

Di Indonesia Nasioanalisme merupakan sesuatu yang sangat dijunjung tinggi sehingga mereka yang memiliki multi kewarganegaraan sinomin dengan tidak nasionalis. Masalahnya, sudah menjadi rahasia umum di banyak KBRI kalau orang Indonesia, terutama dari trah elit politik (diplomat turun temurun -- Yes Indonesian diplomat sering turun dari Orang tua ke anak!, keluarga pejabat tinggi negara sejak tahun 1970-an) dan orang Indonesia yang lama berdomisili di laur negeri untuk memiliki paspor ganda. Bedanya para trah elit dianggap selalu Nasionalis. Bukankah dia datang dari keluarga yang berbakti bagi Indonesia selama lebih dari 40 tahun ? (Bobot, bibit bebet comes to mind) Sementara orang Indonesia yang lain ?

Bagi kebanyakan orang Indonesia (biasa) yang lama hidup di luar negeri, persoalan paspor adalah "Don't ask don't tell." Sudah menjadi rahasia umum kalau paspor ganda jumlahnya banyak, maka tidak usah ditanya. Mengapa ? Bagi banyak orang yang hijrah ke luar negeri setelah memulai menginkajak usia dewasa untuk kuliah atau bekerja, ikatan primordial yang bersifat emosional dengan Indonesia tidak akan pernah bisa hilang. Lagu "Tanah Air" cipataan Ibu Soed menagkap emosi ini dengan jelas. Inilah salah satu alasan mengapa pergerakan nasional Indonesia di awal abad XX tumbuh dan berkembang di Eropa. 

Namun dilain pihak memiliki paspor negara lokal adalah pilihan praktis. Salah satu alasan yang tidak pernah dibahas di Indoensia adalah : ketika pasangan suami istri warga negara Indonesia (bukan keluarga campuran WNI-WNA) yang tinggal di Inggris dengan status visa permanen  residen memiliki anak, maka anak tersebut otomatis memiliki kewarganegaraan Inggris. Apabila anak pasangan Indonesia tersebut lahir di Inggris sebelum tahun 1982, meskipun orang tuanya belum berstatus permanen residen, maka naka tersebut otomatis memiliki kewarganegaraan Inggris. Kewarganegraan si anak tidak dapat dicabut dengan permintaan orang tua. 

Artinya UU Indonesia akan meciptakan situasi yang tidak kondusif bagi kehidupan berkeluarga yang hanya dapat dipecahkan dengan sang orang tua menjadi warga negara Inggris. Inilah yang menyebabkan banyak orang cenderung untuk memegang paspor Indonesia meskipun mereka semua tahu bahwa hal tersebut tidak legal dimata UU Indonesia. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun