Mohon tunggu...
ignacio himawan
ignacio himawan Mohon Tunggu... Ilmuwan - ilmu terapan untuk keseharian

Sekedar berbagi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bolehkah Kita Bersenda Gurau dengan Tuhan dalam Doa?

20 Agustus 2017   03:13 Diperbarui: 20 Agustus 2017   16:25 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Doa seorang politisi yang disampaikan dalam sebuah acara parlemen baru-baru ini memang menggelitik karena jelas mengandung sebuah gurauan (yang sebenarnya tidak lucu). Sebuah doa dalam acara resmi negara sekuler di Eropa tentulah akan mengundang kritikan demikian pula di AS yang nota bene jauh lebih religius. Namun di Indonesia, yang resminya adalah negara demokrasi sekuler, sila pertama Pancasila membuat agama tetap merupakan sandaran penting bernegara sehingga doa selalu dipanjatkan dalam semua acara penting. Malahan, sila pertama ini seringkali dipakai sebagai alat untuk mewajibkan seorang menganut agama.

Saya tidak setuju apabila beragama menjadi suatu kewajiban. Namun saya percaya sepenuhnya kalau beragama adalah salah satu has asasi manusia dalam arti sebenarnya. (Perlu diingat ada hak-hak asasi yang ditambahkan sejalan dengan perkembangan hidup manusia saat ini, misalnya hak untuk berkominikasi sehingga penahanan di ruang soliter seringkali mendapat sorotan penggiat hak asasi manusia). 

Sebagai hak asasi, keputusan untuk beragama tidak dapat dipaksakan. Keputusan ini muncul dari pengalaman iman pribadi setiap orang, sehingga bentuk hubungan setiap individual dengan Tuhan memang bersifat unik. Dalam hal ini orang tua dapat mengarahkan anak untuk membentuk pengalaman iman si anak. Kadangkala hal ini adalah sebuah kewajiban orang tua seperti ditemukan dalam agama Islam maupun Kristen. 

Namun pada hakekatnya si anaklah yang memutuskan jalan iman yang akan ditempuhnya sehingga kadang kala si anak memutuskan untuk memeluk agama yang berbeda dari orangtuanya ketika beranjak dewasa. Menjadi tidak beragama pun merupakan pilihan yang valid. Hal ini tidak melulu berarti bahwa orang tersebut menjadi Atheis-- tidak ber-Tuhan. Cukup sering pilihannya adalah menjadi seorang Agnostik --tidak terikat pada aturan agama tertentu namun masih mempercai Tuhan. Pada dasarnya kelompok aliran kepercayaan adalah salah satu bentuk Agnostisme ini.

Dalam semua agama termasuk aliran kepercayaan, doa memainkan peranan yang sangat penting dalam perjalanan iman. Doa adalah bentuk komunikasi transenden antara orang tersebut dengan Tuhan. Sebagai salah satu implementasi hubungan seseorang dengan Tuhan, maka doa-pun bersifat unik. Namun harus diakui bentuk hubungan ini seringkali dipengaruhi oleh dogma agama yang dianut. Artinya dalam agama tertentu hubungan ini seringkali bersifat formal, segaimana sangat dominan dalam banyak tradisi pemikiran Islam, ataupun lebih bersifat lebih longgar seperti sebutan Tuhan sebagai Bapa di banyak tradisi Kristen. Perlu saya garis bawahi kedua pendekatan tersebut sama-sama valid.

***

Kembali ke doa sang politisi, saya dan sebagian orang tentulah bertanya : bolehkan kita bersenda gurau dengan Tuhan dalam doa ?

Tentu saja sebagai manusia saya hanya dapat menduga berdasarkan pengertian teologis dan filosofis. Jawabannya sangat mungkin boleh, terutama apabila orang yang memanjatkan doa merasa mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan Tuhan. Namun dalam hal ini perbincangan dengan Tuhan haruslah bersifat tulus. Yang menjadi persoalan disini adalah apabila senda gurau ini memiliki pesan keduniawian, apalagi yang berbau mengejek orang lain yang menjadi lawan politik. 

Artinya dalam hal ini doa yang dipanjatkan tidak lagi diarahkan kepada Tuhan namun diarahkan untuk konsumsi publik -- sesama manusia. Walaupun dalam pemberitaan sang politisi mengatakan doa tersebut bukan bentuk ejekan ke lawan politik, banyak cuitan di media sosial yang diantaranya keluar dari san politisi sendiri menunujukan intensi komunikasi duniawi yang disampaikan secara tidak langsung ini.

Dalam ilmu komunikasi politik, memang ada bentuk komunikasi tidak langsung. Hal ini kerap dipakai politisi ketika berbicara di depan umum. Seringkali sang politisi tidak berbicara kepada publik yang ada didepannya, melainkan ke awak media massa yang akan meneruskan ke kalangan masyarakat luas. Dalam hal doa sang politisi, sebenarnya yang ia mau bukanlah berkomunikasi dengan Tuhan yang ada dihadapannya ketika berdoa, melainkan dengan awak media yang mendengar dan mendapatkan transkrip doa tersebut. Dalam unggah ungguh budaya Indonesia sebenarnya kita tidak boleh mengabaikan lawan bicara yang ada di hadapan kita. 

Lebih jauh, beliau dengan jelas mengatakan bahwa para pemimpin senior  parlemen sudah merestui doa tersebut (sudah di cek sebelum dipanjatkan),  sama sekali beliau tidak mengatakan bahwa ia sudah berusaha untuk  mendapatkan persetujuan dari Tuhan. Sikap untuk berbicara bukan dengan Tuhan ketika berdoa ini adalah bentuk melecehkan Tuhan. Dalam hal ini doa sudah menjadi komoditas politik yang bersifat duniawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun