Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ustadz, Kutitipkan Anakku Padamu

16 Juli 2017   20:30 Diperbarui: 17 Juli 2017   10:42 1131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo credit: ayomondok.net

Ada sebuah hal yang menarik ketika saya mengantarkan anak saya belajar di sebuah sekolah/ pondok pesantren di daerah Sukabumi. Tiap-tiap orang tua termasuk saya diwajibkan melakukan serah terima (ijab kabul) dengan perwakilan sekolah/ pondok pesantren. Saya dan seorang ustadz saling berjabat tangan. Di depan saya ada sebuah kertas yang berisi teks ijab kabul yang wajib saya baca. Diawali dengan membaca dua kalimat syahadat, dengan dibimbing sang ustadz, saya pun mengucapkan ijab kabul.

"Saya, orang tua dari (menyebut nama anak saya) dengan ini menyerahkan anak saya untuk didik dan dibina di sekolah dan pesantren (saya menyebut nama sekolah/pesantrennya) untuk didik sesuai dengan pendidikan ajaran Islam. Lalu sang ustadz menimpali, "Saya terima amanat dari bapak untuk mendidik anak bapak di tempat ini." Demikian lah kalimat yang diucapkan pada saat serah terima (ijab kabul) anak saya dengan seorang ustadz yang menjadi pembinanya.

Bagi saya, ijab kabul adalah sebuah kontrak atau perjanjian antara orang tua dengan sekolah/ pondok pesantren agar anaknya didik sesuai dengan tata cara atau aturan yang berlaku di lingkungan pendidikan tersebut. Secara moril, ijab kabul tersebut mengikat kedua belah pihak. Ada hak dan kewajiban yang harus dihormati dan dilaksanakan antara keduanya.

Saya melihat bahwa ijab Kabul adalah hal yang sangat baik dilakukan antara pihak orang tua dan pihak sekolah/ pondok pesantren. Ada etika antara pihak yang menyerahkan dan pihak yang menerima.  Orang mengamanahkan anaknya untuk dididik di sekolah/pondok pesantren, dan pihak sekolah/ pondok pesantren akan menunaikan amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.

Dalam konteks komunikasi, adanya ijab kabul antara orang tua dengan pihak sekolah/ pondok pesantren merupakan sarana untuk silaturahmi, memperkenalkan diri, dan menjalin komunikasi antara kedua belah pihak, karena tentunya selama masa pendidikan, tentunya diperlukan komunikasi untuk mengetahui perkembangan belajar anak serta mendiskusikan jika ada kesulitan atau masalah yang dihadapi sang anak yang sedang menuntut ilmu di tempat tersebut.

Selama ini, kadang anak mendaftar sekolah sendiri, ditemani pembantu atau  saudaranya karena kedua orang tuanya sibuk bekerja. Seolah-olah dengan membayar uang sekolah, tanggung jawab orang tua selesai. Tidak ada komunikasi antara pihak orang tua dan pihak sekolah/ pondok pesantren, sehingga hampir tidak ada ikatan moril antara keduanya. Orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anaknya ke sekolah/ pondok pesantren, tidak pernah bersilaturahmi dan berkomunikasi. Bahkan kadang ketika diundang rapat pun orang tua tidak hadir dengan alasan sibuk bekerja.

Ijab kabul adalah tanda sahnya peristiwa hukum, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pernikahan. Sedangkan dalam konteks pendidikan, selain sebagai bentuk penegasan, tanda sahnya seorang anak diterima lembaga pendidikan, juga yang paling utamanya adalah sebuah etika yang harus dipertahankan. Di masyarakat sunda, ada istilah "datang katinggali tarang, mungkur katinggali punduk." Artinya kalau datang ke sebuah tempat terlihat jidatnya, dan ketika pulang terlihat punggungnya.

Dalam sebuah kesempatan, seorang guru besar menceritakan bahwa waktu kecil, Beliau diantar oleh orang tuanya mengaji kepada seorang kyai. Sambil membawa bekal, orang tua menyerahkan anaknya, menyampaikan tujuan dan harapan-harapannya. Orang tua sangat percaya kepada sang kyai dapat mendidik anaknya menjadi manusia yang memiliki ilmu agama yang dalam, juga memiliki akhlak yang baik.

Orang tua menyampaikan bahwa anaknya mau dibagaimanapun oleh sang kyai silakan saja, asal anaknya tersebut menjadi anak yang baik. Tapi saat ini kondisinya sudah jauh berbeda. Orang tua tampaknya tidak sepenuhnya mempercayai lembaga pendidikan, dan para guru atau ustadz tidak dapat dengan bebas mendidik atau memberikan hukuman disiplin kepada peserta didik karena takut dengan pelanggaran hak-hak anak. Oleh karena itu, proses pendidikan di lembaga pendidikan seolah berada dalam tekanan dan dilematis.

Secara normatif ijab kabul mencerminkan adanya komitmen dan saling percaya dari kedua belah pihak. Jika pasca ijab kabul terjadi pelanggaran dari salah satu pihak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengonfirmasi, mengklarifikasi, bahkan menuntut balik kepada pihak yang meruggikannya. Walau demikian, ijab kabul dalam dunia pendidikan semoga sebagai bentuk penguatan kerjasama, komunikasi, dan kesepahaman antara orang tua dan guru dalam mendidik anak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun