Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

THR, Tekanan Hari Raya

13 Juni 2017   15:35 Diperbarui: 13 Juni 2017   15:50 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Ramadan telah memasuki sepuluh hari kedua. Perhatian umat mulai terpecah antara beribadah dengan mempersiapkan kebutuhan lebaran. Shaf salat tarawih yang awalnya banyak, mulai berkurang, sedangkan pasar, toko, dan mall sudah dipenuhi “jamaah” yang berbelanja kebutuhan lebaran. Mereka berjejal dan berdesak-desakan menyalurkan hasrat belanjanya.

Seiring dengan semakin dekatnya waktu lebaran, maka Tunjangan Hari Raya (THR) menjadi hal yang ditunggu oleh setiap pegawai pada berbagai instansi. Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Hanif Dhakiri meminta agar setiap perusahaan memberikan THR kepada setiap karyawannya sepuluh hari sebelum waktu lebaran. Oleh karena itu, saat ini para karyawan sedang menunggu-nunggu THR karena mereka membutuhkannya ditambah mereka pun akan mudik ke kampung halaman. Ketika mudik, para pemudik tak ubahnya pahlawan yang pulang dari medan perang dan membawa kabar THR untuk keluarga di kampung.

Tidak dapat dipungkiri, lebaran disamping menjadi sebuah hari yang membahagiakan dan ditunggu-tunggu, juga menjadi tekanan karena saat lebaran seolah harus ada, serba ada, serba baru, bahkan diada-adakan. Bukan hanya diri yang dipercantik dengan pakaian dengan pakaian, sepatu, sandal, dan sepatu baru, rumah juga dipercantik. Malu atuhkalau nanti pas ada tamu datang ke rumah, cat rumah masih bladus. Oleh karena itu, iklan cat tidak kalah ramai dengan iklan sarung dan baju koko.

Memang menyambut tidak harus dengan segala sesuatu yang baru, tetapi pola pikir yang sudah sedemikian rupa terbentuk membuat lebaran hiruk pikuk dengan persiapan yang bersifat fisik. Ditambah dengan gempuran iklan dan godaan diskon yang merajalela, tentunya akan merangsang orang untuk belanja.

Di kalangan masyarakat, “ya atuh masa setahun sekali mah gakganti baju?” Hal ini yang menjadi dasar bagi mereka untuk membeli pakaian baru untuk lebaran, walau yang sering membeli baju pada bulan selain lebaran pun, tetap saja kurang afdhal kalau lebaran tidak membeli baju baru.

Keinginan anak untuk setahun sekali membahagiakan orang tua dan sanak saudara juga mendorong tingginya kebutuhan lebaran. Selain jauh-jauh hari sudah menabung, mereka pun mengharapkkan THR dari kantor tempatnya bekerja. Walau demikian, tentunya harus digunakan secara bijak, karena kebutuhan hidup bukan hanya pada saat lebaran saja, setelah lebaran pun kebutuhan pasti ada.

THR yang artinya Tunjangan Hari Raya, jika melihat kepada fenomena yang terjadi di masyarakat, berubah menjadi Tekanan Hari Raya. Pemimpin perusahaan dan instansi disamping harus memberikan THR kepada para karyawannya, juga tertekan oleh permintaan THR dari “tamu-tamu” yang datang untuk “bersilaturahmi”. Oleh karena itu, mereka pun harus menyiapkan anggaran yang tidak sedikit.

Secara psikologis, masyarakat juga tertekan dengan adanya istilah THR, sehingga yang tidak bekerja, bukan karyawan, tetap meminta THR kepada pihak yang dinilainya mampu. Anak meminta THR kepada orang tua, adik meminta THR kepada kakak-kakaknya, kolega meminta THR kepada temannya yang sudah mapan, dan pelanggan meminta THR kepada pedagang langganannya.

THR selain sebuah kewajiban normatif pengusaha atau pimpinan instansi, juga sudah menjadi budaya dan kebiasaan yang hanya ada pada saat lebaran.  Pada bulan-bulan lain tidak ada. Tidak dapat dipungkiri hal itu juga menjadi berkah karena dapat menambah dana kebutuhan lebaran.

 “Gara-gara”  urusan THR, maka ibadah ramadan pun menjadi terganggu, kurang fokus, kesakralan dan kesucian Ramadan pun mulai berkurang. Orang-orang berpacu mengejar setoran mengumpulkan bekal lebaran. Malam lailatulqadar dan keutamaan sepuluh malam terakhir sebagai malam pembebasan dari api neraka kurang begitu memikat, meski ada sebagian yang masih berusaha dan berjuang untuk istikamah dalam  beribadah di bulan Ramadan.

Jika ditelaah lebih jauh, justru lailatuqadar adalah “THR” yang paling istimewa yang diiberikan Allah kepada setiap hamba-Nya pada bulan Ramadan, hanya memang tantangan dan godannya pun sangat besar. Hanya orang-orang yang keimanannya benar-benar kuat dan terpilih yang akan mendapatkannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun