Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadikan Halal Bihalal Lebih Bermakna

28 Juni 2017   10:14 Diperbarui: 28 Juni 2017   10:24 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Salah satu acara yang dilaksanakan dalam masa atau setelah idul fitri adalah halal bihalal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halal bihahal diartikan sebagai "acara maaf-memaafkan pada hari lebaran." Acara tersebut ada yang diselenggarakan oleh keluarga besar dari sebuah harus keturunan, oleh lembaga atau instansi baik pemerintah maupun swasta, kelompok, atau komunitas tertentu. Tujuannya disamping untuk saling memaafkan, saling mengenal, juga untuk semakin merekatkan tali silaturahmi.

Sebuah keluarga besar biasanya melaksanakan acara halal bihalal di tempat sesepuh atau orang yang dituakan, sebuah tempat yang disepakati, atau menyewa gedung. Sementara instansi, kelompok, atau komunitas biasanya melaksanakan acara halal bihalal di kantor, gedung, restoran, atau tempat wisata.

Pada tulisan ini saya akan lebih memokuskan pembahasan pada acara halal bihalal yang diselenggarakan oleh acara keluarga, karena acara halal bihalal di lingkungan keluarga pada umumnya lebih dulu dilaksanakan dibandingkan dengan halal bihalal yang di lingkungan unit kerja, instansi, atau komunitas.

Pada acara bihalal keluarga besar, pada umumnya yang dikenal adalah tokoh-tokoh utamanya atau generasi tua. Lalu anak-anaknya. Setelah anak-anak, baru turun kepada cucu sampai cicit. Bagi keluarga besar yang jauh dan jarang bertemu, biasanya sejak keturunan pada tingkat anak sudah kurang saling kenal, apalagi sampai pada tingkat yang lebih bawah seperti cucu dan cicit.

Mengapa sampai terjadi hal yang demikian? Kalau istilah masyarakat Sunda disebabkan atah anjang atau jarang bertemu sehingga pareumeun obor(tidak kenal saudara sendiri). Akibatnya, walau sesama saudara bertemu di jalan pun hare-hare (tidak saling peduli) karena memang tidak saling mengenal.

Untuk mencegah agar hal tersebut terjadi, maka ketika acara halal bihalal diperlukan silih kenalkeun(saling memperkenalkan)dan silih wanohkeun(saling mengakrabkan) antar saudara. Dari tiap kelompok, anggaplah dari kakak tertua sampai dengan adik bungsu ada juru bicara yang memperkenalkan keluarganya masing-masing.

Menurut saya, ketika memperkenalkan masing-masing anggota keluarga, berikan informasi seperlunya saja, seperti nama dan anak ke berapa, jangan ditambah-tambah dengan embel-embel lain, seperti tingkat pendidikan, tempat bekerja, atau jenis usaha yang digeluti, karena hal tersebut cukup sensitif. Jangan sampai niat untuk memperkenalkan diri tetapi dianggap sebagai pamer.

Hal tersebut tentunya akan menyebabkan acara halal bihalal menjadi kurang kondusif, karena kondisi sosial ekonomi tiap orang yang hadir beragam. Ada yang memang kondisi ekonomi mapan, ada yang biasa-biasa saja. Ada yang berpendidikan tinggi, dan ada yang berpendidikan rendah. Ada yang bekerja di tempat bergengsi, dan ada yang jadi buruh serabutan. Ada yang telah memiliki keturunan, dan ada pula yang belum dikaruniai keturunan. Ada yang telah menikah, dan ada pula yang belum menikah.

Agar acarra halal bihalal tidak berjalan kaku dan membosankan, maka tidak salah juga diselingi dengan hiburan, game,kuis, lomba, doorprize,atau saling tukar cinderamata. Tentunya disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Ada acara halal bihalal yang kadang isinya hanya berkumpul saja, tidak ada acara saling memperkenalkan diri, tidak ada ice breaker,atau game. Akibatnya, pada saat acara pun, komunikasi antar pihak yang hadir menjadi kaku. Acara halal bihalal menjadi kurang bermakna. Masing-masing berkumpul dengan kelompoknya. Yang terlihat berdialog dengan akrab hanya jontrot atau tokoh-tokoh utamanya saja.

Acara halal bihalal kadang suka disatukan dengan acara reuni, baik reuni keluarga, reuni teman sekolah, teman kuliah, atau teman dalam sebuah komunitas. Pada dasarnya hal itu pun baik. Walau demikian, bagi sebagian orang, kadang kata "reuni" menjadi beban psikologis, karena ada kalanya reuni menjadi ajang untuk pamer kesuksesan, pamer harta, datang dengan pasangannya masing-masing. 

Bagi orang mungkin kondisi ekonominya belum mapan, belum sukses pada karirnya, belum memiliki pasangan hidup, atau bahkan belum punya keturunan kadang menjadi beban, minder, karena khawatir dianggap sebelah mata oleh teman-temannya, dan takut mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang sensitif, seperti kapan menikah? Mengapa belum punya anak? Mengapa bisnismu tidak berkembang, mengapa kuliah kamu belum selesai? dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun