Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lebaran, Pemenang yang Sebenarnya Adalah Pemodal

27 Juni 2017   13:03 Diperbarui: 27 Juni 2017   14:52 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebaran disebut juga sebagai hari kemenangan setelah umat Islam berpuasa sebulan lamanya. Semua gegap gempita menyambut datangnya hari raya. Para perantau pulang kampung. Jarak yang panjang dan kemacetan adalah seni yang harus dijalani sekaligus "dinikmati" selama perjalanan mudik.  

Semua yang berpuasa tentunya berharap menjadi pemenang pada saat perayaan hari kemenangan. Walau demikian, hal tersebut tergantung kepada amalan-amalannya selama bulan Ramadan apakah layak dijadikan pemenang atau tidak? Saya yakin nurani setiap orang yang berpuasa dapat menjawabnya.

Jika ditelaah, menurut saya, dari konteks ekonomi, pemenang yang sebenarnya adalah para pemodal. Jauh-jauh hari sebelum masuk bulan Ramadan, para pemodal sudah mempersiapkan diri. Para pengelola stasiun TV sudah mempersiapkan tayangan khusus Ramadan. Para sponsor pun merapat untuk menyeponsori acara atau para pengisi acara. Nanti bajunya atau hijabnya merknya anu, kerudungnya merknya anu, kosmetiknya merknya anu, furniture merknya anu, dan sebagainya.

Para penceramah selain statusnya sebagai pengisi acara, juga merangkap sebagai "bintang iklan" produk sponsor yang diharapkan menggiring para penonton untuk membeli atau menggunakan produk yang digunakannya. Tidak dapat dipungkiri memang ada sisi bisnis atau komersial dalam sebuah acara keagamaan sekalipun. Itulah karakter media sebagai perusahaan. Yang dipikirkannya adalah rating dan keuntungan.

Selama bulan puasa dan lebaran triliunan uang beredar. Para tenaga kerja di luar negeri mengirimkan uang kepada keluarganya di Indonesia. Begitu pun para pekerja di Indonesia menabung untuk bekal mudik lebaran. Pada saat mudik, uang pun mengalir dari kota ke desa. Bank Indonesia memperkirakan uang beredar selama arus mudik lebaran 2017 sebesar 691 triliun rupiah. Kadin DKI Jakarta memperkirakan uang warga Jakarta yang mudik ke daerah diperkirakan sebesar tujuh triliun rupiah.

Jumlah uang yang sangat luar biasa tersebut kebanyakan digunakan untuk kebutuhan konsumtif. Kegiatan ekonomi di daerah sesaat menjadi hiruk pikuk dan hingar bingar. Banyak pihak yang aji mumpung meraup keuntungan. Mulai dari tukang pakaian, tukang daging, kue, pengelola tempat wisata, sampai dengan tukang parkir liar baik yang mengatasnamakan pemerintah setempat maupun yang mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu.

Budaya konsumtif yang kebutuhan eksistensi diri pemudik menjadikan para pemodal semakin meraup keuntungan. Sejak beberapa tahun terakhir, ada perubahan tren mudik, dari menggunakan angkutan umum, menjadi menggunakan sepeda motor, bahkan saat ini pengguna kendaraan roda empat mengalami peningkatan. Para pengusaha rental mobil kebanjiran order. Peningkatan kesejahteraan dan kemudahan proses kredit menjadikan "semangat" untuk mengkredit kendaraan roda empat semakin tinggi.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Pudji Hartanto Iskandar memperkirakan jumlah mobil pribadi pada mudik Lebaran 2017, terutama motor, akan lebih banyak dibanding tahun lalu. Bahkan jumlah kendaraan pribadi naik sekitar 12-13 persen. Sedangkan angkutan umum justru menurun.

Menurut Pudji, pada 2016, jumlah mobil pribadi yang digunakan untuk mudik Lebaran sebanyak 3,48 juta unit dan sepeda motor 5,14 juta unit. Adapun kendaraan umum diperkirakan turun sekitar 2 persen dari 4,427 juta penumpang pada tahun lalu. (Tempo, 20/06/2017). Kendaraan pribadi yang dibawa dari kota ke desa disamping menjadi simbol kesuksesan pemudik, juga digunakan untuk bersilaturahmi atau berwisata.

Uang yang mengalir dari desa ke kota yang diharapkan bukan hanya digunakan untuk keperluan konsumtif, tetapi juga digunakan untuk membangun daerah  nampaknya belum bisa dijalankan, karena uang dihabiskan di desa pada saat lebaran, dan para pemudik akan kembali ke kota mencari uang. Bahkan ada membawa sanak saudaranya untuk mengadu nasib di kota. Dengan kata lain, desa bukan dijadikan sebagai sarana untuk membangun masa depan, tetapi hanya untuk menghabiskan uang hasil usaha dikota. Mental pamer kadang kala sulit untuk dihindarkan.

Berdasarkan kepada hal tersebut, sepanjang budaya konsumtif masih dianut oleh sebagian besar umat Islam dalam merayakan lebaran, maka yang akan menjadi pemenang sebenarnya adalah para pemodal. Kemenangan yang dirayakan oleh sebagian umat Islam hanya kemenangan semu semata, kemenangan yang justru menjadi ekspresi ketidakmampuan menahan hawa nafsu konsumtif. Wallaahu a'lam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun