Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gerakan Literasi Berbasis Kearifan Lokal

22 Juli 2017   16:26 Diperbarui: 22 Juli 2017   16:38 2970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

GERAKAN LITERASI BERBASIS KEARIFAN LOKAL

Oleh:

IDRIS APANDI

(Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar /KPLJ)

Sejak tahun 2015 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggalakkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan budaya membaca mengingat budaya baca di Indonesia masih rendah. Hasil penelitian UNESCO tahun 2012 menyebutkan bahwa minat baca di Indonesia hanya 0,001. Artinya dari 1000 orang, hanya 1 orang yang suka membaca buku.

Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, minat baca Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa. (Kompas, 28/08/2016).

Melihat parahnya kondisi minat baca, penyair Taufik Ismail sampai mengingat tentang akan lahirnya generasi nol buku. Generasi yang rabun membaca, pincang menulis. Kritik tersebut disampaikan pada tahun 2007 bertepatan dengan ulang tahun The Habibie Center. Taufik mengaku, bersama dengan puluhan ribu anak SMA lain di seluruh tanah air pada 1953-1956 mereka sudah menjadi generasi nol buku, yang rabun membaca dan lumpuh menulis.

Nol buku, disebut Taufik karena kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah, sehingga "rabun" membaca. Sementara istilah "pincang mengarang" adalah karena tidak ada latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah. Taufik membandingkan pelajaran membaca dan mengarang siswa Indonesia dan siswa dari beberapa negara lain dalam sebuah survei sederhana dan mendapat perbandingan yang mencengangkan. Di saat pelajar Indonesia tidak mendapatkan tugas membaca dan mengarang, pelajar SMA di Amerika Serikat diharuskan membaca 32 buku dan bahkan negara berkembang Thailand juga diharuskan membaca lima buku. (Antaranews).

Berbagai kegiatan dilakukan untuk meningkatkan minat dan budaya baca disekolah, seperti pembiasaan membaca buku non pelajaran 15 menit sebelum kegiatan pembelajaran, membaca dengan berbagai variasi seperti membaca nyaring, membaca membaca senyap, membaca terbimbing, membaca bersama-sama, dan sebagainya. Selanjutnya siswa diminta untuk membuat laporan hasil bacaan dan menuliskan judul buku yang teah dibaca pada pohon literasi.

GLS adalah program yang bersifat nasional walau belum merambah ke setiap sekolah. Untuk semakin mengoptimalkan implementasi gerakan ini, maka alangkah baiknya pula diintegrasikan nilai-nilai muatan lokal. Misalnya dengan membaca buku-buku dongeng, cerita rakyat, lagu daerah, pantun, sajak, atau seni.

Literasi secara sederhana dapat diartikan keberaksaraan. Walau demikian, dalam konteks yang lebih luas bukan hanya aktivitas membaca dan menulis, tapi juga melek pada berbagai bidang seperti teknologi, informasi, komunikasi, budaya, agama, politik, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun