Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Belajar di Sekolah Swasta Tidak Berarti Kiamat

11 Juli 2017   11:25 Diperbarui: 12 Juli 2017   03:50 3349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belajar di Seklah Swasta Tak Berarti Kiamat. Sumber gambar: biz.kompas.com

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di sekolah-sekolah negeri melahirkan suka bagi orang tua yang anaknya diterima dan menyisakan duka bahkan kecewa bagi orang tua yang anaknya gagal diterima. Hal ini manusiawi. Siapapun kalau berhasil pasti senang dan kalau gagal pasti kecewa.

Bagi sebagian orang tua, PPDB bukan hanya sebuah proses administratif yang harus diikuti agar anaknya bisa belajar di sekolah yang dituju, tetapi juga pertaruhan gengsi dan harga diri, sehingga mereka banyak memburu sekolah-sekolah negeri yang konon berstatus unggulan, meski sekolah tersebut di luar zona tempat tinggalnya.

Walau tahu aturan, mereka kadang memaksakan diri mendaftar ke sekolah-sekolah negeri unggulan dengan bermodal "surat sakti", rekomendasi, ketebelece dari pejabat, aparat, birokrat, wakil rakyat, sampai oknum wartawan, dan LSM. Bahkan ada kasus kepala sekolah mendapatkan teror dari oknum tertentu gara-gara ada seorang anak yang ditolak di sekolah tertentu.

Masalah PPDB yang horor dan begitu kompleks hampir terjadi setiap tahun. Sekolah-sekolah negeri di perkotaan rata-rata menerima pendaftar melebihi kuota yang telah ditetapkan, sehingga ditetapkanlah passing grade. Walau sudah ditetapkan sistem zonasi untuk menghindari bertumpuknya pendaftar ke sekolah-sekolah tertentu, tetapi masih saja ada pendaftar yang keluar dari zona dengan alasan ingin mendapatkan sekolah yang berkualitas bagi anak-anaknya.

Pola pikir masyarakat yang negeri minded membuat sekolah-sekolah negeri selalu kebanjiran pendaftar, sedangkan di sisi lain, sekolah-sekolah swasta non favorit banyak yang sepi pendaftar, dan menunggu limpahan dari pendaftar yang gagal mendaftar di sekolah negeri.

Sejatinya, PPDB di sekolah swasta non favorit dimulai sejak ditutupnya pendaftaran di sekolah negeri, kecuali bagi sekolah-sekolah swasta favorit, bonafit, yang biasanya berbiaya mahal, dan berkarakter boarding school, di mana jauh-jauh hari sebelum dimulai pendaftaran pun sudah penuh dengan pendaftar, bahkan sudah full bookedketika yang lain baru akan menerima pendaftaran.

Pendaftar ke sekolah-sekolah swasta favorit pada umumnya adalah para orang tua kalangan ekonomi menengah ke atas yang telah membulatkan niatnya untuk mendaftar anaknya ke sekolah swasta, tidak tertarik untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri dengan berbagai pertimbangan, baik pertimbangan kurikulum yang khas, misalnya ada tambahan kurikulum keagamaan, pola pembinaan peserta didik yang bagus, serta lulusan yang telah terbukti berkualitas.

Para orang tua yang anaknya gagal mendaftar di sekolah negeri sebaiknya tidak kecil hati. Anaknya pun tidak perlu minder. Sekolah negeri atau swasta hanya soal label, sedangkan kualitasnya relatif sama, meski mungkin ada aspek seperti sarana dan prasarana yang relatif berbeda. Guru-guru di sekolah swasta pun pada umumnya sudah disertifikasi, meski guru-guru di sekolah swasta didominasi oleh guru-guru honorer dan pada umumnya masih relatif berusia muda.

Sekolah-sekolah swasta pun saat ini sudah cukup banyak yang kompetitif. Walau demikian, memang ada juga sekolah swasta yang "sekarat" dan kurang sehat karena manajemen yang kurang bagus serta kalah bersaing dengan sekolah-sekolah di sekelilingnya.

Paradigma negeri-swasta, unggulan dan non unggulan sebenarnya saat ini sudah berupaya dikikis oleh pemerintah melalui diterbitkannya Permendikbud nomor 17 tahun 2017 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Permen ini juga untuk mengantisipasi adanya penumpukan peserta didik di sekolah tertentu, sementara ada sekolah yang kekurangan peserta didik.

Kesuksesan seseorang pada dasarnya tidak tergantung tempat dimana dia belajar, tetapi tergantung kerja keras dan ada juga faktor nasib. Kalau sudah masuk dunia kerja, tidak akan ditanya lulusan dari mana, tapi apa kompetensi yang dimiliki yang dibuktikan dalam kinerja. Hasil penelitian di Harvard University menyimpulkan bahwa kesuksesan seseorang 20% ditentukan oleh hard skill atau intelektualitas, dan 80% ditentukan oleh soft skillseperti kerja keras, disiplin, kemampuan berkomunikasi, berkolaborasi, beradaptasi dengan lingkungan, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun