Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Barang Mahal Itu Bernama Buku

26 Mei 2016   17:45 Diperbarui: 26 Mei 2016   18:14 1660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : http://www.roketkini.com/

Toko buku Gunung Agung menutup cabangnya di Bandung dan Tangerang. Keputusan pahit tersebut diambil karena kalah bersaing dengan dengan toko buku lainnya. Khusus kota Bandung, sebenarnya kota ini adalah surganya buku. Di Kota Bandung ada pasar buku Palasari yang menjadi tempat pavorit pelajar, mahasiswa, dan masyarakat mencari buku karena buku-buku yang dijual diberikan diskon 25-30%.

Selain mencari buku-buku di pasar buku palasari dan toko-toko buku, masyarakat pecinta buku juga berburu buku pada pameran-pameran buku yang biasa dilaksanakan di Landmark Braga, Pusdai, dan tempat lainnya. Antusiasme masyarakat berburu buku-buku diskon di pameran karena harga buku relatif mahal. Mengapa harga buku mahal? Salah satu penyebabnya adalah bahwa karena industri penerbitan buku dikenai pajak. Ingin pintar aja kok mahal ya? Seharusnya buku bebas pajak, industri buku disubsidi, dan para penulis diberikan kompensasi tinggi agar dunia perbukuan semakin menggairahkan.

Tahun pelajaran baru, orang tua dipusingkan dengan kewajiban membeli buku-buku pelajaran baru yang harganya bisa mencapai ratusan ribu karena sudah dipaketkan. Begitu pun para mahasiswa harus membeli buku referensi yang diwajibkan yang harganya juga tidak murah, apalagi buku-buku terbitan luar negeri. Ketika tidak memiliki buku yang asli, maka memfoto copy menjadi jalan keluar.

Bagi sebagian orang harga buku memang mahal, apalagi bagi yang tidak gemar membaca, membeli buku tidak menjadi prioritas, bahkan tidak termasuk dalam daftar belanja bulanan. Gaji atau penghasilan bulanan digunakan untuk membeli keperluan lainnya. Oleh karena itu, pengertian mahal di sini selain secara ekonomis juga secara psikologis, karena mungkin saja sebuah barang harganya murah, tapi karena bukan menjadi kebutuhan atau prioritas, maka barang tersebut tidak dibeli.

Saat ini selain sandang, pangan, dan papan, kebutuhan dasar manusia adalah pulsa. Manusia bisa “mati gaya” tanpa pulsa, apalagi tanpa kuota internet, hidup terasa “kiamat” karena tidak bisa online, updatestatus, atau chatingdi media sosial. diakui atau tidak, hidup manusia saat ini “terjajah” pulsa. Manusia saat ini mau tidak mau menganggarkan biaya untuk pulsa, dan jumlahnya tidak sedikit, apalagi rata-rata saat ini memiliki lebih dari satu nomor HP.

Ada yang mengatakan bahwa hobi itu mahal. Orang rela merogoh koceknya dalam-dalam demi menyalurkan hobinya. Baginya uang bukan masalah, yang penting hobi tersalurkan, dan hatinya puas, karena hakikat dari penyaluran hobi adalah pencapaian kepuasan.

Mahalnya sebuah buku bukan hanya kaitannya dengan harga, tapi juga mahalnya perlakuan terhadap buku. Banyak yang suka mengatakan bahwa buku adalah gudangnya ilmu, buku adalah jendela dunia, dan sebagainya, tetapi perlakuan terhadap buku masih jauh dari harapan. Buku masih menjadi barang asing, baik di rumah maupun di tempat kerja.

Banyak orang yang begitu “mahal” untuk menyempatkan waktu membaca buku. Lebih banyak menghabiskan waktu bermain gadget. “Ah, itu juga kan membaca. Melalui HP, bisa membaca berita-berita atau e-book. Ga perlu repot-repotmembawa buku” itulah argumen yang pernah Saya dengar dari seorang teman. Betul, tetapi peran buku tetap tidak tergantikan di tengah digitalisasi bahan bacaan yang semakin marak. Orang-orang Jepang yang sudah sangat melek IT pun kemana-mana membawa buku, bukan karena tidak dapat buku secara online, tetapi mendapatkan kepuasan tersendiri ketika membaca buku secara langsung. Membaca buku melalui HP atau tablet disamping membuat batre cepat habis, juga dapat membuat mata cepat lelah karena radiasi dari layarnya.

Jika kita bepergian, selain HP, barang yang wajib dibawa adalah charger dan Power Bank,karena dua barang tersebut adalah sumber energi bagi HP kita, tapi adakah yang sudah membiasakan membawa buku di tas sebagai energi bagi otak kita? Sebagian kecil orang mungkin sudah terbiasa melakukannya, tetapi bagi sebagian besar, membawa buku ketika bepergian masih masih menjadi hal yang “mahal” untuk dilakukan. Jangankan membaca, hanya membawa pun masih berat untuk dilakukan.

Ketika saat ini literasi dibudayakan, maka salah satu tradisi yang harus digiatkan adalah membawa dan membaca buku. Dimanapun dan kapan pun. Buku yang dibawa pun buku-buku yang ringan-ringan saja, untuk menemani perjalanan. Jika kita perhatikan, hal yang dilakukan oleh orang Jepang ketika di kereta hanya dua hal, kalau tidak tidur, ya membaca buku. Ayo orang Indonesia pun bisa seperti orang Jepang, menjadi manusia yang “gila” baca, asal ada niat dan kemauan.

Oleh:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun