Mohon tunggu...
Idris
Idris Mohon Tunggu... -

Muslim,S2 Manajemen, PNS, Tertarik pada dunia keuangan dan sosial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Adilkah Standarisasi Usia Sekolah?

11 Oktober 2012   02:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:57 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Anakku yang pertama pada usia 2 tahun 3 bulan sudah masuk Play Group. Pertimbangan saya pada saat itu adalah agar anak bisa bersosialisasi secara terarah mengingat lingkungan sekitar rumah tidak cukup kondusif untuk perkembangannya. Setahun kemudian anak saya dievaluasi oleh Tim Sekolah dinyatakan layak meneruskan ke jenjang TK A. Bahkan anak saya termasuk kategori anak yang berprestasi di kategori Play Gorup. Tahun berikutnya anak saya juga dinyatakan layak melanjutkan ke jenjang TK B dengan prestasi yang sama sebagai anak berprestasi. Tahun depan anak saya akan lulus TK B di usianya yang baru 5 tahun 2 bulan. Melihat perkembangannya, saya selaku orang tua merasa optimis bahwa anaku tersebut akan mampu menyelesaikan pendidikan tingkat TK tahun depan.

Anaku yang kedua pada usia yang hampir sama saya daftarkan ke Play Group yang sama. Meskipun prestasinya tidak berbeda dengan kakaknya namun secara perkembangan emosi tampak sangat berbeda dengan kakaknya. Perbedaan mencolok adalah daya tangkap dan tingkat kemandiriannya. Anak yang pertama daya tangkapnya alhamdulillah baik sehingga pada usia 3 tahunann dia sudah mampu menyelesaikan IQRO Jilid 2 dengan baik. Secara emosi dia lebih bisa diarahkan baik oleh orang tua maupun oleh gurunya. Sebaliknya anaku yang kedua begitu sulitnya berkonsentrasi sehingga pada usia yang sama dia masih berkutat di bagian awal IQRO jilid 1. Begitu juga dengan emosinya sangat berbeda dengan kakanya. Dia relatif sulit diarahkan dan cenderung kontroversial ketika diarhkan baik oleh orang tua maupun gurunya. Di sisi lain anak tetangga yang usianya sudah 8 tahun dan bersekolah di SD ataupun sekolah terpadu ternyata baru menempuh IQRO Jilid 2. Ini fenomena bahwa kemampuan anak usia 3 tahun sebanding dengan kemampuan anak usia 8 tahun.

Di luar sana banyak fenomena yang bisa dijadikan cermin berkaitan dengan perkembangan usia anak. Tengok saja sejarah bagaimana Imam Syafi'i rahimahullah telah berhasil menghafalkan al Qur'an pada usia 7 tahun dan mampu menghafalkan kitab Al Muwatta karangan Imam Malik dalam usia 9 tahun. Atau kalau terlalu jauh mari kita tengok bagaimana seorang anak di Mesir yang bernama Bara'ah mampu menghafal al qur'an di usia 10 tahun atau di Pakistan bagaimana anak2 usia 9-10 tahun sudah mampu menghafalkan al Qur'an. Saya yakin proses sampai bisa menghafal al Qur'an tersebut bukan proses yang sifatnya instan atau hanya bermain-main tapi merupakan proses yang cukup panjang dan intensif dan itu dilakukan dilakukan pada anak-anak usia dini.

Berbagai fenomena perbedaan perkembangan anak tersebut membuat saya bertanya, bisakah anak distandarisasi berdasarkan usia sebagaimana yang sedang ramai menjadi pro kontra di dunia pendidikan Indonesia khususnya tingka SD? Benarkah kematangan seorang anak ditentukan oleh usianya? Apa standar kematangan seorang anak? Adilkah kebijakan standarisasi usia sekolah bagi anak-anak yang punya prestasi namun kematangannya lebih cepat dari rata-rata anak seusianya?

Banyak orang tua yang setuju dengan aturan ini dengan segala argumentasi teoritis terutama para akademisi pendidikan. Namun banyak juga orang tua yang kecewa dengan aturan ini karena harapan mereka untuk melanjutkan pendidikan anaknya menjadi terganjal oleh aturan tersebut. Pro kontra ini dapat kita simak dalam beberapa postingan para kompasiana.

Saya secara subjektif termasuk yang kurang sependapat dengan standarisasi usia masuk SD. Mengapa demikian? Karena saya yakin bahwa setiap anak diberikan kemampuan dan potensi yang berbeda-beda. Lingkunganlah yang banyak mempengaruhi perkembangan anak-anak tersebut. Demikian juga setiap argumentasi yang mengemuka dari pihak yang pro standarisasi selalu saja dapat diperdebatkan dan tidak ada nilai kepastiannya. Bahkan cenderung kontradiktif dengan kondisi yang terjadi. Mungkin karena pihak yang pro jarang memberikan contoh yang riil dari argumentasi-argumentasi yang dibangun. Misalnya adanya kekhawatiran apabila anak uisa 5 tahun masuk SD maka dia kan mengalami kejenuhan di kelas 3, seberapa kuat faktanya? Apakah anak yang masuk SD usia 7 tahun tidak pernah mengalami kejenuhan? Atau aturan maupun teori yang melarang anak TK diajari Calistung, faktanya banyak SD yang mensyaratkan siswa barunya sudah bisa Calistung. Atau pendapat dari bu guru SD yang merasa kehilangan kebanggaan karena tidak dapat mendidik anak dari nol lagi seperti bapak dan ibu guru terdahulu karena anak-anak yang masuk SD sudah pada bisa Calistung, faktanya lebih banyak guru SD yang senang ketika anak kelas satu SD sudah bisa Calistung.

Semuanya pasti punya pendapat, bagaimana dengan pendapat anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun