Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveller amatir. klick: www.nyambi-traveller.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Terdampar di Hutan Sawit Sekadau

12 Januari 2017   13:23 Diperbarui: 12 Januari 2017   13:57 1849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret jalanan penghubung di tengah hutan sawit, Sekadau, Kalbar

Gemuruh kecil sayu-sayup kudengar bersautan dengan bunyi mobil travel. Meski itu berarti bertanda hujan, namun awan di langit masih cerah-pucat. Hari itu, 14 November 2016, aku hendak berkunjung ke desa Sapuak, kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat. Guna mempersingkat waktu perjalanan, mobil travelku melewati jalan yang tidak biasa atau jalan pintas. Ini karena, keberangkatanku sudah terlambat. Pukul 09.30 pagi, kami baru dijemput dari hotel Santika oleh driver travel Pontinak-Sekadau. Seperti diketahui, perjalanan Pontianak ke Sekadau memakan waktu seharian penuh (kalau tidak salah, kayak perjalanan Jakarta – Yogyakarta….). Jadi normalnya, bila berangkat dari Pontianak jam 07.00 pagi, maka aku sampai di Sapuak, Sekadau, sekitar pukul 16.00 sorean.

Berbekal jalan pintas itulah, saya dan penumpang mobil travel beserta sopirnya optimis akan sampai di lokasi tujuan tepat waktu. “Kira-kira pukul 16.30 an sore lah. Mentok-mentoknya, kita sampai ke tempat penginapan, daerah tujuan, sekitar pukul 16.00 sore. Pas matahari terbenam,” ungkap sang sopir optimis.  Dan biasanya, hujan turun selepas sore hari atau Magrib. Dengan begitu, ini berarti, saya nyampe ke sana diharapkan sebelum turun hujan. Sang supir menyemangati kami bahwa sesuai pengalamannya, mukjizat selalu hadir mengiringi perjalanannya. Hujan akan hadir selepas kedatangan. Semoga.

Bulan-bulan ini cuaca di daerah Kalimantan Barat tak menentu. Meski suasana panas terik sepanjang hari, sorenya bisa hujan sederas-derasnya. Antara satu daerah dengan tetangganya juga bisa berbeda sertus delapan puluh derajat suasanya. Itulah yang jadi kekhatiranku di perjalanan ini. Lokasi tujuan terletak pas di areal hutan Sawit. Seperti layaknya hutan sawit di berbagai daerah biasanya memiliki jalan kecil yang bertanah. Apalagi bila pemiliknya masyarakat dan perusahaan swasta, umumnya malas untuk bangun jalan beraspal. Karena memerlukan pembiayaan besar. Bila hujan turun, bisa dibayangkan bagaimana kondisi jalannya.  

Itulah gambaran sebenarnya yang kala itu aku belum membayangkannya. Tanpa sengaja, aku menengok wajah sang sopir yang dari tadi memberi harapan optimis. Lama-lama, aku menangkap sisi lain dari wajah sang sopir. Tersirat, meski optimis, hatiku kok khawatir ya. Pelan-pelan kuperhatikan lagi wajah sang sopir yang terguta rasa rada khawatir. Was-was. Hatiku berujar, “wajahnya mengguratkan kekhawatiran. Namun ia menyebunyikannya. Mungkin, supaya kami sebagai penumpangnya tidak ikutan khawatir”.

Seberapa menit sebelum masuk ke desa Semirau, kab. Sekadau, terlihat dari kejauhan kabut hujan mengelayuti ujung desa yang akan kami lalui. Arloji di tanganku menunjukan pukul 16.00 siang menjelang sore. Dengan hati berdebar kecil, aku melihat segerombolan awan hitam beriringan di langit. Itu bertanda akan turun hujan di desa Sepuak, sebagai lokasi terakhir perjalanan. Rimbunan hutan sawit berjejer di kiri dan kanan jalan. Sepi dan kosong. Seolah pepohonan sawit menyaksikan kekhawatiranku. Meski baru sore hari, namun kehidupan bagai buru-buru berganti malam.

Taka ada pilihan lain. Sang supir mengebut laju kendaraan sekuat tenaga diantara rerimbunan hutan sawit. Di tengah suasana was-was, tiba-tiba sang supir berkata bahwa kita harus sampai melalui jalan di depan sana sebelum hujan turun. Bila hujan turun, habislah kita. Karena jalanan tanah otomatis terlumuri air hujan yang membelah hutan sawit. “Waduh…Gawat kalau gitu. Bisa terdampar di kesunyian hutan sawit”, gumanku lirih.

Gubrakkk. Kekhawatiranku pecah. Hujan turun dengan intensitas sesuai dengan lokasi yang dilalui. Kadang deras, dan selanjutnya rintik. Sore perlahan hadir. Malam pun menunggu setelahnya. Jalan tanah di antara pepohonan sawit basah dan mulai licin.

Truk pengangkut sawit terperosok di jalan lumpur, besok harinya
Truk pengangkut sawit terperosok di jalan lumpur, besok harinya
Sang supir seketika menghentikan laju kendaraan. Ternyata posisi kendaraan kami persis di bawah jalan tanjakan terjal. Apesnya, pas di atas jalan tanjakan menikung, ada truk berhenti. Sejenak, sang sopir berfikir bagaimana mencari cara untuk mencapai tanjakan dengan kondisi jalan tanah yg becek nan licin. Sementara itu, bunyi gas truck di tanjakan menderu-deru. Bau sangit yang berasal dari kampas rem yang dipaksakan supir berhamburan ke udara. Suara binatang hutan bersahutan di kesunyian senja itu. Hujan deras tiba-tiba turun selebat-lebatnya. Waktu telah menunjukan pukul 17.15 sore. Saya dan penumpang lain diam seribu bahasa di mobil. Di tengah kediamanku, sang supir berkata bahwa ia segera  memaksa memacu kendaraanya melewati tikungan terjal. Sebab, truck yang tadinya berhenti berhasil melaju meski dipaksakan.

Dengan perasaan dag dig, aku berdoa khusuk. Sementara sang sopir mulai memacu kendaraan. Pelan-pelan namun pasti. Mobil melaju menanjak. Tiba-tiba, kami merasa pantat mobil berbelok ke kiri dan kekanan. Ini akibat kelicinan jalan tanah yang basah. Meski oleng, sang sopir tetap memaksakan mobilnya melaju. Suara gas mobil menderu-deru. Bau kampas rem terasa sangit nan anyir. Degup jantungku makin keras. Seketika mobil berhenti di tengah arah menuju tanjakan. Ini karena, gas mobil sudah tak berfungsi, sementara bila mundur pun pantat mobil oleng (karena licin). Waduh….kekhawatiranku kian menjadi-jadi. Sepertinya gas mobil sudah maskimal, namun kendaraan tetap tidak bisa melaju. Eh, tanpa sadar mobil pelan-pelan mundur sendiri. Sang supir mulai sulit mengendalikannya seratus persen. Uh…..spot jantungku tak karuan saat itu. Meski begitu, sang sopir dengan kelihaiannya tetap tenang dan mampu mengendalikan laju mundur kendaraan.

Jleg. Mobil berhenti. Meski gas ditarik, namun ban depan tak bergerak. Ternyata, tak terasa perlahan namun pasti, mobil terjerembab dan masuk ke parit sebelah kanan jalan. Mobil kami tidak bisa jalan. Sekali lagi, sang sopir mencoba menaikan gasnya, ternyata tidak bisa. Dengan sigap, sang supir mengentikannya dan memberi rem tangan. Segera ia keluar dan berharap ada kendaraan lewat di jalan untuk meminta pertolongan. Mendadak mobil truck dengan ban besar lewat. Kami senang karena bala bantuan hadir di tengah hutan gelap. Sayang, kendaraan itu tidak bersedia membantu, karena mereka sedang buru-buru mengantar barang dagangan. Selanjutnya mobil pick up lewat. Sopir mobil pick up beralasan bahwa mobil kami harus ditarik dengan tali. Sementara mobilnya tidak memilikinya.

Hujan masih tidak menentu kadarnya. Terkadang rintik, dan sesekali deras. Tanah pun makin basah. Gelap pekat menyelimuti hutan sawit. Kami seperti sendirian di tengah hutan sawit itu. Gak ada yang bisa saya dan penumpang lain lakukan. Kami terpaku seribu bahasa di mobil. Sang sopir memintaku berdiam diri. Tak boleh ke mana-mana. Sayup-sayup, bunyi jangkrik bertalu-talu. Untuk menerangi gelapnya malam, kami meminta sopir untuk tetap menyalakan lampu mobil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun