Mohon tunggu...
Aprilia Eka Wulandari
Aprilia Eka Wulandari Mohon Tunggu... -

still a student.. script and poetry writer also sketcher...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kata

18 Desember 2012   11:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:25 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku mengenalmu melalui kata dan aku mengingatmu melalui kata, akan selalu begitu. Belum pernah berubah sampai detik ini. Biar orang mencoba membacanya, takkan mampu mengartikan. Meski mereka mengejanya, takkan mampu juga. Aku merasa sangat memahamimu, meskipun kata takkan mampu menjabarkannya. Ini melebihi logika, jauh lebih dalam dari itu. Aku merasa paham saat kau tak ingin berada di tengah ramai, maupun saat kau ingin menikmati malam. Meskipun sampai saat ini ketika kau tak pernah kujumpai, aku masih paham apa yang kau rasakan, aku merasa paham.

Entah sudah tahun keberapa saat ini ketika terakhir kali aku menikmati malam denganmu. Berada di tengah ramai dan kita pun asyik dengan semesta kita. Belasan, bahkan puluhan kretek kita habiskan bersama tentu bersama beberapa gelas kopi hitam khas dengan bau yang sengat. Aku takkan pernah lupa itu. Duduk bersamamu telah membentuk semesta sendiri yang pada akhirnya akan menua dalam kotak pandoraku. Tapi masih kusimpan. Apakah kau juga memilikinya?

Aku sudah tak tahu pula seberapa tinggi kutumpuk rindu yang terus mengalir. Aku rindu dengan segala cerita denganmu. Takkan pernah habis seperti dingin di pegunungan atau deburan ombak di pantai yang landai. Aku masih sering mengintip sedikit kotak pandoraku, mencoba meresapi romantisme bersamamu. Aku sering begitu, tapi aku belum tahu, apakah kau juga sering seperti itu?

***

Aku tengah bersiap untuk menghitamkan kertas. Ini kali sekian aku menumpuk rindu melalui kata-kata. Barangkali jika aku sudah sanggup, aku akan mengirimkannya kepadamu. Semoga saja. Ah, aku lupa kalau kau sudah bersamanya. Aku lupa kalau kau sudah enggan berbagi kata dan kretek denganku. Pantas saja aku selalu kesulitan merambah belantara kata tiap kali aku mulai menghitamkan kertas. Tapi aku masih mengingatmu, sangat merindumu.

“Dik, sudahkah kamu buatkan aku kopi?” katamu di pagi yang dingin di pegunungan. Aku senang bukan kepalang ketika kau memintaku membuatkanmu kopi. Segera aku buatkan kopi hitam panas untukmu, dan kita bersama habiskan kretek. Kita selalu berbincang tentang kehidupan di waktu pagi. Tentang dingin dan kabut yang menyertai embun di pegunungan, sejenak lupa akan kota yang sumpek, begitu katamu. Aku selalu mengagumi senyummu yang seolah merayu rembulan untuk bersinar terang dan pelangi untuk selalu muncul meskipun hujan tak urung tiba.

“Dik, menurutmu kita hidup untuk apa?” tanyamu setibanya di penghabisan hisapan kretek yang terakhir. Aku hanya menggelengkan kepala, menatapmu dengan penuh tanda tanya. Kau lalu tersenyum, seolah memaklumi raut wajahku. Aku mengagumi senyummu.

“Aku sejujurnya tidak seberapa mengenal kehidupan Dik, tapi yang jelas aku ingin bahagia. Entah dalam bentuk apa, hanya Tuhan yang tahu kadarnya. Kita hanya bisa bersyukur, entah melalui cara apapun itu. Kita takkan mati sebelum kita bahagia Dik. Itu sudah pasti.”

“Kadangkala aku bosan dengan hidup Dik, tapi setelah kupikir-pikir, tak pantas jika kita mengeluh untuk hidup. Banyak orang yang masih bisa bersyukur walau menurut kita mereka tidak layak dengan kehidupan itu, bahkan terlalu banyak orang yang seperti itu Dik”

Itulah yang kuingat sampai saat ini. Aku takkan pernah menyesali keputusanku walaupun aku tak hidup bersamamu. Aku masih belum tahu apakah kau juga berpikir sama sepertiku? Katakan, apakah aku termasuk ke dalam mereka yang tidak layak dengan kehidupan itu? Ya mungkin, karena aku sudah jauh darimu. Aku tahu kita takkan bisa menikmati semesta kita lagi seperti dahulu. Semesta kecil yang berarti.

Aku teringat lagi ketika aku pernah menangis tepat di depanmu. Aku melihat kau begitu marah dan ingin melepaskannya kepada orang yang menyakitiku. Andai masih bisa seperti itu. Aku sangat merindukanmu. Aku belum sempat bertanya kepadamu, apa yang kau rasakan ketika kita dalam semesta kita?

Di luar hujan turun begitu deras. Aku masih menghitamkan kertasku dengan tinta, berbagai tinta. Tinta yang pernah membasahi semesta kita. Kita selalu bangga akan kata, tulisan yang berhamburan mencuat keluar begitu saja dari imaji kita. Aku ingat kata-kata puitis yang pernah kau berikan kepadaku, hanya sekali dan aku merindukannya. Aku begitu tergila-gila denganmu, waktu itu, meskipun sekarang seperti bualan dalam kardus kosong dan hanya bisa menggema di dalamnya. Cuma aku yang bisa mendengarnya. Waktu terlalu cepat bagiku, dan aku tahu ada waktu bagi kita. Sebelum semua mencair dan meresap jauh ke dasar tak berarah. Aku menyesalinya, waktu terlalu cepat untukku. Seharusnya aku bisa bersamamu, seandainya.

Aku tak pernah mengejarmu, tak akan pernah. Aku tahu kau membencinya. Dan kau tahu, aku lebih membencinya. Seharusnya tak kuturuti maumu, perkataanmu yang membuatku terpenjara sampai jeruji mengejekku karena aku masih merindukanmu. Jeruji sampai mengejekku, apa kau tak melihatnya? Kau sudah terlampau jauh kah? Tak ada guna air mata walau aku menangis di depanmu. Kau bahkan tidak pernah menatapku. Aku tak pernah memintamu, bukan, aku mau kau menatapku, aku mau kau memperhatikanku sekali lagi, sekali saja.

Aku terlalu bodoh, aku mengejarmu. Kau berlari sangat jauh, terlampau jauh dan aku tidak dapat melihatmu lagi. Aku tahu, saat itulah semua harus masuk ke dalamkotak pandora. Aman dalam hening yang tak berujung. Dan aku masih harus merindukanmu.

***

Kata takkan pernah habis untukmu. Kertas harus tetap bersih agar aku mampu membujuk tinta untuk selalu menulis. Kata-kata akan selalu ada selama aku merindukanmu, takkan bisa berhenti. Rindu akan selalu terbentuk, melalui kata-kata. Karena kita saling memahami melalui kata-kata yang tersirat maupun tersurat. Kita begitu beruntung, sayang, kata-kata akan selalu menemani kita. Aku masih merasa kau menyimpan semuanya. Semua rindu dalam kata-kata.

“Dik, aku sudah bersama wanita itu” kata-kata itu begitu menusuk jauh sekali sampai ke masa yang akan datang. Kau memunggungiku dan berlalu. Kata-kata  yang mempertemukan kita dan begitu pula memisahkan kita. Aku tahu perasaan ini hanya ada dalam kotak pandoraku, tidak ada denganmu.

Kata-kata, dalam dan begitu luas sampai aku tak mampu menahanmu melalui kata-kata. Sayang, adahkah kau mengingatku?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun