Mohon tunggu...
eko supriyanto
eko supriyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Perindu Malam

Belajar Merangkai Kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Balada Bunga Desa

15 September 2018   13:56 Diperbarui: 15 September 2018   16:54 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Google

Pesisir utara kota Tangerang. Sang mentari belum lama beranjak dari peraduan. Bias-bias sinarnya masih tertinggal, menari -nari di permukan laut bagaikan mutiara berkilauan.

Di sebuah persimpangan--yang badan jalannya dipenuhi lubang menganga--Angga seketika menghentikan laju vespanya. Detak irama jantungnya mendadak tak beraturan, berdenyut lebih cepat dari biasa. Sejerus kemudian, Ia menghela nafas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan, diulang hingga tiga kali. Kedua matanya terpaku pada sebuah peristiwa di seberang jalan. Seorang gadis belia terlihat begitu tak berdaya, ketika sosok pria berbadan tegap dan berkulit gelap berhasil menangkap tubuh mungilnya.

"Ampun, om! ... " gadis itu memohon."Ampuuuun ...."

Ia terus meronta sekuat tenaga, berusaha melepaskan cengkraman yang melingkar kuat dilengan. Sesekali mendaratkan pukulan ditubuh pria itu. Namun sayang, usahanya terlihat sia-sia, pria paruh baya itu terlalu perkasa baginya.

"Emang elu mau kemana, hah?" pria itu geram. " Jawab ... !"

"Lepasin om, ... Saya mau pulang, om!" matanya menatap pria itu dengan muka memelas.

Plaaaak...! 

Sekonyong-konyong, lima ruas jari mendarat mulus di pipi, membuat rambut lurus sebahu itu berhamburan tak karuan. Paras cantiknya pun tertunduk layu. Perasaan malu, marah, kecewa dan takut melebur jadi satu. Tamparan keras itu telah menyadarkan gadis itu dari buaian mimpi-mimpi; tentang indahnya kehidupan di kota-kota besar.

"Enak aja, lu! ... lu pikir segampang itu keluar dari mari!"

Gadis itu bergeming. Benaknya melayang jauh, terhempasan angin laut yang menyambar-nyambar. Hamparan sawah yang menguning, bukit-bukit yang hijau, aliran sungai yang  jernih, silih berganti menari-nari didalam kepalanya. Terlintas kenangan-kenangan indah dimana Ia biasa menghabiskan waktu bersama teman-teman.

Kedua tangannya seketika menggeletar hebat. Perlahan, Ia mengangkat wajahnya menatap langit dengan mata yang berkaca-kaca, lalu mengerjap. Nafasnya tertahan, bibir kecilnya bergera lembut naik turun, seperti sedang membisikkan sesuatu kepada penguasa langit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun