Mohon tunggu...
Husni Fahruddin
Husni Fahruddin Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat, politisi dan jurnalis

Koordinator Youth Institute, BORNEO (Barisan Oposisi Rakyat Nasional dan Elaborasi Organisasi), FORMAS (Forum Organisasi Masyarakat), Laskar Kebangkitan Kutai (LKK), Advokat & legal Auditor

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemimpin Intoleransi

8 Mei 2013   21:47 Diperbarui: 26 Oktober 2015   07:17 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah Indonesia yang begitu panjang meliputi Era Prakolonial yang ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan Hindu dan kerajaan-kerajaan Islam, Era Kolonial yag disisipi dengan Gerakan Perjuangan Rakyat Didaerah melawan kolonial dan Gerakan Intelektual yang bersifat nasionalisme , Era Kemerdekaan awal dengan semangat perang kemerdekaan sampai pada masuknya Era Orde Lama dengan sistem kenegaraan demokrasi parlementer kemudian demokrasi terpimpin, dengan pengambil alihan Irian Barat, konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia, kekisruhan Gerakan 30 September dengan munculnya aktor Era Orde Baru untuk megambil alih kekuasaan yang diselingi dengan berjibakunya Pemerintahan orde baru dengan memainkan Act of Free Choice di Irian Jaya yang memaksa PBB memberikan resolusinya dilanjutkan dengan Operasi Seroja di Timor-timur walaupun diakhirnya memunculkan Timor Leste, munculnya krisis ekonomi yang bersinergi dengan gejolak kemarahan rakyat yang meluas serta ekspresi dari ribuan mahasiswa memblowup Era Reformasi. Di era perubahan ini memunculkan peran Habibie, Abdurahman Wahid dan Megawati. Tahun 2004, dunia tercengang ketika Indonesia menasbihkan dirinya menggelar perhelatan politik terbesar di dunia secara langsung dan demokratis dengan menampilkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden RI dan berlanjut pada periodesasi kedua sampai dengan saat ini.

Sejarah telah memberikan pengalaman bagi bangsa ini bahwa kemerdekaan itu sangat sulit digapai, sejarah juga membuktikan bahwa negara ini adalah negara besar dengan kebesaran dan kehebatan rakyat yang hidup didalamnya. Ribuan bahkan jutaan rakyat dengan semangat persatuan dan kesatuan telah mengorbankan jiwa, raga dan hartanya demi kejayaan bangsa ini. Kecermelangan rakyatnyalah memunculkan jiwa nasionalis yang melekat dalam Pancasila dengan mencengkram pondasi dasar “bhineka tunggal ika”. Sebuah prinsip dasar kemajemukan, kesetiakawanan, kebersamaan, persatuan dan kesatuan yang terbungkus rapi dalam sebuah sikap “toleransi”. Indonesia dibangun atas dasar perbedaan suku, agama, bahasa, adat istiadat, ras, dan sederet perbedaan lainnya, namun nusantara ini semakin kokoh berdiri menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia ketika perbedaan tersebut dapat ditoleransi oleh rakyatnya dan mejadi penggerak untuk mencari sebuah persamaan untuk berbangsa dan bernegara. Indonesia merupakan sebuah prototype kehidupan surgawi, yang sampai saat ini tidak dimiliki oleh satupun negara di dunia. Sejarah membuktikan bahwa rakyat Indonesia menganut prinsip dasar universal bahwa prinsipnya setiap manusia memiliki hak merdeka, hak hidup, hak berkeyakinan, hak berpendapat, hak untuk memilih, hak untuk dimanusiakan sebagai manusia, yang dipatrikan dalam bahasa ibu yakni tenggang rasa.

Ke-Universal-an Rakyat Indonesia selalu akan tumbuh dan berkembang, sehingga sangat memudahkan setiap pemimpin yang memimpin di negara ini. Fenomena-fenomena konflik sosial, konflik suku, konflik agama, konflik ras bahkan konflik agraria yang mengarah pada disintegrasi bangsa sedang menjamur dewasa ini, bukan karena berkurangnya semangat nasionalisme dan lunturnya toleransi rakyat dalam semangat bhineka tunggal ika, akan tetapi karena ketidakmampuan pemimpin negara ini dalam mengorganisir rakyatnya. Sejarah telah mencatat bahwa terjadinya konflik tersebut bukan disebabkan oleh masyarakat yang menjadi objek didalam konflik namun lebih diakibatkan tidak berjalannya sistem pemerintah yang berkeadilan baik secara sosial, ekonomi dan hukum. Bila ditelisik lebih detail secara kasuistik akan terlihat jelas kerapuhan jiwa kenegarawanan seorang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika tidak mampu menyelesaikan permasalahan kebebasan berkeyakinan yakni pelarangan pembangunan gereja, penyegelan gereja, bahkan pembongkaran gereja. Dengan sederet alasan pembenaran, pemerintah daerah setempat mengkerdilkan kebebasan hak asasi manusia dengan cara preventif diluar semangat toleransi bergama. Sebuah sekte keagamaan “Ahmadiyah” juga tak luput dari pengrusakan dan kekerasan, namun ketidakpahaman pemerintah dalam mengatasi permasalahan ini membuat proses penyelesaiannya berjalan lambat sehingga menyebabkan munculnya bentuk kekerasan lanjutan.

Kenegarawan Presiden SBY semakin menghadapi tantangan ketika perwakilan Pemerintahan Pusat di Daerah yakni Gubernur Jawa Timur dan Bupati Sampang semakin absurd menangani konflik kebebasan berkeyakinan yang mendera aliran “Syi’ah” di Sampang Madura, konflik beragama tersadis yang mematahkan semangat nasionalisme dan mengaburkan budaya bertenggang rasa karena telah merenggut nyawa pengikut syi’ah termasuk harta bendanya, pemerintah telah mengebiri hak mendapatkan pendidikan bagi anak-anak korban, hak mendapatkan perlindungan hukum, hak dipelihara oleh negara, hak untuk melindungi dan mengelola harta benda termasuk tanah hak milik warga Indonesia yang memilih berkeyakinan syi’ah, hak untuk bekerja serta hak untuk berkehidupan di negara ini. Sebenarnya bila kita tilik kebelakang, secara sosial ekonomi masyarakat Madura sangat dimarjinalkan oleh pemerintah, dengan minimnya sumberdaya alam sebagian besar masyarakat mencari kehidupan diluar Pulau Madura, kerasnya kehidupan membuat masyarakat tersebut sangat sensitif dan mudah terprovokasi terhadap isu-isu yang tidak populer. Kejadian di era orde baru yang sangat dikenal dengan istilah “konflik sampit” seharusnya membuat pemerintah lebih mengetahui cara penyelesaian terbaik dan seharusnya akibat konflik SARA di Sampit tersebut membuat tokoh-tokoh dan pemimpin di Jawa Timur khususnya Madura dapat lebih memanusiakan masyarakat madura dan bagi masyarakat Madura sendiripun harusnya trauma konflik Sampit tersebut semakin mempererat semangat kebersamaan, persatuan dan kesatuan demi membangun kembali secara perlahan-lahan trauma berkepanjangan akibat konflik tersebut. Kemampuan Pemerintah Daerah Kabupaten Sampang hanyalah pada potensi memindahkan masalah akan tetapi tidak mampu membuat sebuah sistem penyelesaian masalah, betapa ironi ketika pengungsi syi’ah di gelanggang olahraga (GOR) Sampang telah hampir setahun belum bisa kembali pada kehidupan normal, bahkan bantuan kemanusiaan yang sangat standar pun tidak bisa dipenuhi oleh pemerintah seperti air bersih, makanan, pendidikan dan keamanan masih tidak mampu di penuhi oleh bangsa yang besar ini, lebih tragis lagi bahwa pemerintah tidak mampu mengembalikan masyarakat yang berkeinginan untuk kembali ditempat asalnya dan terakhir pengikut syi’ah yang notabene dalah rakyat Indonesia di intimidasi melalui aksi demonstrasi dengan para provokator yang mengaku sebagai tokoh-tokoh agama setempat. Setiap pergerakan intoleransi pasti memiliki aktor intelektual, setiap mobilisasi gerakan intoleransi pasti menyimpan skenario besar, setiap konflik intoleransi pasti tidak adanya good will penegakkan hukum dan pembiaran dari pemerintah, sehingga sangat mudah untuk menyelesaikan konflik intoleransi yakni kemampuan pemerintah memahami pemaknaan Pancasila dan bhineka tunggal ika.

Ketika Susilo Bambang Yudhoyono memenangi perhelatan politik demokratisasi terbesar di dunia dan seharusnya menjadi Bapak Bangsa dengan Gelar “Bapak Demokratisasi Indonesia”, akan tetapi Sadarkah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono bahwa peraturan daerah (Qanun) Nomor 3 Tahun 2013 di Aceh yang melegalkan bendera bekas Gerakan Aceh Merdeka merupakan salah satu bentuk suara ekspresi menuntut ketidakadilan dan meminta ketoleransian pemerintah pusat kepada rakyat Aceh, pahamkah Pemerintahan yang diklaim sebagai pemerintahan demokratis ini bahwa berdirinya kantor Perwakilan Papua Merdeka (Free West Papua Campaign) di Inggris adalah bentuk kekecewaan masyarakat Papua terhadap intoleransi keadilan yang di berikan pemerintah pusat kepada rakyat Papua, mengertikah Presiden Republik Indonesia bahwa dengan menciptakan sistem penghimpitan terhadap kebebasan bergama dan berkeyakinan akan mengukir sejarah baru bahwa Susilo Bambang Yudhoyono adalah “Bapak Intoleransi Indonesia”. Kembalikan Toleransi kepada Rakyat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun