Mohon tunggu...
Herry B Sancoko
Herry B Sancoko Mohon Tunggu... Penulis - Alumnus UGM, tinggal di Sydney

Hidup tak lebih dari kumpulan pengalaman-pengalaman yang membuat kita seperti kita saat ini. Yuk, kita tukar pengalaman saling nambah koleksi biar hidup makin nikmat.

Selanjutnya

Tutup

Money

Diversifikasi Makanan Pokok

18 Desember 2012   00:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:27 1051
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1355789434219328340

Sebagian besar rakyat Indonesia makanan utamanya beras.  Tidak heran kita selama ini masih mengimpor karena produk dalam negeri kurang mencukupi.  Sementara lahan untuk menanam beras makin sempit.  Padi adalah sejenis tanaman yang perlu banyak tenaga untuk merawatnya.  Belum lagi jumlah air yang dibutuhkan. Sudah saat kita mencoba melakukan variasi atas makanan pokok kita. Selain beras, kita bisa variasi dengan jagung, ketela, kentang atau mie.  Sepertinya roti-rotian belum banyak penggemarnya. Di Indonesia, makanan pengganti beras amat banyak. Yang paling mudah ditanam dan dibudi-dayakan adalah singkong baik singkong rambat atau singkong kaspe.  Di daerah pesisir selatan pulau Jawa sudah ada masyarakat yang dulu makanan utamanya adalah gaplek yang terbuat dari singkong. Singkong kaspe memang amat fleksibel.  Jenis makanan yang terbuat dari singkong amat beraneka.  Misalnya: thiwul, gaplek, gethuk, keripik dan berbagai makan kecil lain. Makanan dari singkong saat ini sepertinya mulai populer.  Jenis makanan sepertinya sudah tidak begitu lagi diasosiasikan dengan kelas ekonomi masyarakat yang dulunya menganggap hanya masyarakat kelas rendah dan tidak bisa beli beras saja yang mengkonsumsi.  Makanan tradisional kini mulai disukai. [caption id="attachment_222320" align="aligncenter" width="640" caption="Ketela rambat yang dijual di supermarket Sydney, Australia. (Foto dokumentasi pribadi)"][/caption] Di Australia, singkong rambat sudah mulai memasyarakat dan bahkan menjadi menu makanan di hotel berbintang.  Produk singkong dan produk pertanian lain banyak didatangkan dari Thailand atau Vietnam.  Jarang ditemui produk pertanian dari Indonesia.  Produk dari Indonesia yang cukup populer di Australia adalah indomie. Indonesia hingga saat ini telah melakukan impor atas 28 komoditi pangan yakni beras, jagung, kedelai, gandum, terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi, daging ayam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, telur, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao dan cabai.  Impor pangan Indonesia sepanjang Januari hingga Juni 2011 mencapai 5,36 miliar dolar AS. Menurut anggota DPR Komisi IV, Ma`mur Hasanuddin, menilai total nilai impor pangan Indonesia masih akan terus merangkak naik jika sumber munculnya kebijakan impor tidak diatasi.  (http://www.antaranews.com/berita/272479/anggota-dpr-minta-persoalan-impor-pangan-diselesaikan) Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Program dan Kerjasama-Komite Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Lena Prawira memperkirakan, dari berbagai produk pangan yang diproduksi di tanah air, sebesar 80 persen bahan bakunya merupakan produk impor.  Jika saja bahan baku pangan ini bisa diproduksi dan diperoleh dari dalam negeri, harga produk pangan di Indonesia bisa turun sampai kisaran 10-20 persen. Jumlah penduduk Indonesia makin bertambah, jika masalah pangan ini tidak segera diantisipasi, tidak mustahil kita bakal jadi negara yang punya penduduk terkena busung lapar.  Langkah-langkah negara lain yang mulai mengantisipasi masalah pangan untuk masa dekade mendatang perlu diikuti.  Bahkan beberapa negara sudah mengantisipasi langkah-langkah bila bibit bahan makanan punah karena bencana alam besar-besaran. Kita selama ini terlalu mengandalkan alam Indonesia yang subur dan tidak merasa kuatir akan kekurangan pangan.  Ketergantungan kita pada beras sebagai makanan pokok harus mulai didiversifikasi.  Luas 12 juta hektar dengan jumlah petani yang 14 juta itu tidak cukup. Kalo tingkat laju pertumbuhan penduduk kita tidak bisa ditekan, maka  15 – 20 tahun mendatang kita akan rawan pangan.  Pembukaan lahan sawah baru tidak setingkat dengan bertambahnya jumlah penduduk pengkonsumsi beras.*** (HBS)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun