Mohon tunggu...
Yuhesti Mora
Yuhesti Mora Mohon Tunggu... Dosen - Pecinta Science dan Fiksi. Fans berat Haruki Murakami...

Menulis karena ingin menulis. Hanya sesederhana itu kok.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Curhat Guru: Pengorbanan Macam Apa yang Sepadan untuk Pendidikan?

1 Juli 2017   13:35 Diperbarui: 2 Juli 2017   23:31 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai seorang guru, pernahkah merasakan perasaan semacam ini?

Rasanya semua barangkali pernah mencoba bermacam media/metode/teknik agar pembelajaran tidak monoton dan terkesan itu-itu saja. Dari media gambar, demonstrasi, hingga eksperimen pastilah pernah dilakukan atau paling tidak terpikirkan untuk dilakukan. Khususnya guru-guru sains, maka kegiatan laboratorium adalah sesuatu yang semestinya lumrah dilakukan. Dari membedah isi perut ikan atau cumi-cumi, membuat larutan, bahkan merangkai bel listrik dan sebagainya.

Jadi, suatu hari saya melakukan demonstrasi lava di hadapan anak-anak sekolah dasar. Demonstrasi itu membutuhkan air, minyak dan adem sari serta gelas sebagai perlengkapannya. Dan seperti demosntrasi-demonstrasi lainnya, ini tentu memakan dana. Setidaknya saya menghabiskan lima ribu rupiah untuk hari itu. Secara teori, saya bermaksud secara umumnya ingin menunjukkan betapa menariknya sains itu yang secara biaya, bagi saya itu sudah di minimalkan. Secara khususnya ingin memperlihatkan bagaimana cara kerjanya lampu lava yang sedang hits dan sekaligus memberi cara alternatif yang jauh lebih murah untuk menciptakan sensasi yang sama. Dan pada akhirnya mereka akan belajar tentang konsep dan pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari.

Namun, salah satu siswa saya menanggapi kegiatan yang saya selenggarakan tersebut dengan bertanya, “Tidak sayangkah dengan bahannya, Mbak?” Seketika itu, saya merasa ragu, merasa gamang, merasa berdosa. Saya, siswa tersebut dan siswa-siswa lainnya sadar betul bahwa setelah kegiatan semua bahan tersebut akan menjadi sampah. Sementara ada banyak orang mati-matian memperoleh bahan-bahan tersebut untuk bertahan hidup.

Pada mata pelajaran Ekonomi dahulu, saa ingat dijelaskan bahwa kebutuhan dasar itu ada tiga, yaitu sandang, pangan dan papan. Seorang manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan lain sebelum memenuhi tiga kebutuhan pokoknya. Itu adalah sebuah keharusan. Ketika kamu berada di sekitar orang-orang yang masih berkutat pada kebutuhan pokoknya, memaksakan kebutuhan lain pada orang-orang ini berarti memberi apa yang sedang tidak dibutuhkannya dan pada akhirnya membuatmu merasa seperti membangun kesia-siaan.

Pada waktu saya sekolah dulu, guru biologi saya menugaskan kami untuk membedah cumi-cumi dengan maksud yang sama pula bahwa beliau ingin kami belajar anatomi cumi-cumi secara nyata bukan sekedar teori. Begitu pula dengan mata pelajaran lainnya. Setiap kali kegiatan semacam itu dilakukan ada sejumlah biaya yang harus dikeluarkan. Kadang-kadang untuk menekan biaya, maka ditanggungnya per kelompok, tidak sendirian.

Ini dilakukan di setiap sekolah dan diperuntukkan bagi setiap siswa. Pembedanya adalah seberapa sering ini dilakukan dan seberapa banyak biaya yang dikeluarkan setiap kali kegiatan semacam ini diselenggarakan. Namun gagasannya tetap sama. Kita mengorbankan sesuatu untuk mencapai sesuatu. Ini sama saja seperti jika kita ingin memperoleh baju baru, kita membarternya dengan sejumlah uang. Dan hukum pembarteran ini berlaku di setiap tempat dan setiap lini kehidupan.

Dengan mengingat-ingat itu, saya terkadang berhasil menghibur diri dengan menegaskan bahwa apa yang saya lakukan adalah dalam rangka untuk memperoleh sesuatu yang saya harap dapat bermanfaat dan bahwa saya tidak sendirian. Meskipun tidak sendirian, bukan berarti itu adalah bentuk kenyamanan. Bagi orang introvert, ia tahu betul rasanya kesepian di antara keramaian.

Seraya memikirkan ini, saya teringat Michio Kaku yang dalam salah satu videonya ia menanggapi pertanyaan seseorang mengenai penemuan ‘Partikel Tuhan’ atau ‘God’s Particle’ yang disebut juga ‘Higgs Boson’ yang sempat viral di berbagai media internasional termasuk tanah air. Partikel Tuhan yang dimaksud sebenarnya adalah rangkaian penelitian untuk menemukan partikel-partikel terkecil—lebih kecil dari proton dan elektron tentu saja—dengan menggunakan Atom Smasher. Penemuan tersebut dalam rangka melengkapi Standard Model of The Particle Zoo dengan Large Hadron Collider sebagai atom smashernya yang dibangun di Geneva yang tentu saja memakan biaya ratusan juta dollar.

Saat ditanya seberapa besar dampak penemuan satu partikel ini bagi kehidupan kita? Michio Kaku dengan tegas mengatakan bahwa dalam jangka pendek, tidak akan ada yang berbeda atau berubah. Namun jika cara pandangnya diubah, fokus pandangnya diperjauh. Kita telah menyaksikan sendiri bagaimana peradaban manusia  telah jauh berbeda dalam rentang waktu tertentu.

Seratus tahun yang lalu, umat manusia hanya dapat memimpikan adanya komunikasi jarak jauh. Sementara sekarang, telepon seluler adalah sesuatu yang lumrah bagi kita semua. Sadar ataupun tidak perkembangan teknologi telah mengubah kita, baik itu cara hidup, cara menghadapi masalah di setiap aspek kehidupan, baik kehidupan sosial, budaya, hukum dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun