Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Konflik Batin Seorang Penulis

28 Agustus 2019   16:52 Diperbarui: 28 Agustus 2019   17:09 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Hara Nirankara

Sebenarnya ini bukan esai. Ini lebih tepat dibilang "curhat", tapi barangkali ada juga beberapa orang yang sepertiku di luar sana. Aku hanya ingin sedikit berbagi cerita kepada kalian semua, barangkali dengan adanya tulisan ini, ada suara-suara yang terwakilkan.

Aku lahir dan hidup dari keluarga proletar. Kedua orangtuaku sudah hapal dengan penderitaan yang dialami oleh sesama proletar. Hidup keluargaku berubah ketika Ibuku berhasil memutar otak bisnisnya. Lambat laun bisnis Ibuku semakin besar, dan di saat inilah kami sudah tidak pantas lagi disebut dengan proletar. Pengalaman menjadi seorang proletar yang membuat orangtuaku gigih memberikanku pendidikan formal. Mereka sangat berharap aku dapat kerja di kantor, ruangan ber-AC, bahkan jadi seorang PNS. Aku sendiri sudah mencoba dan berhasil kerja di kantoran yang ruangannya full AC. Tapi itu tidak berlangsung lama. Aku sudah pernah memberitahukan alasan resign, karena faktor sistem yang tidak bisa aku terima.

Berikutnya aku melanjutkan untuk menulis. Dan di sini lah berbagai cemooh mulai datang dari orang-orang di sekitarku. "Sarjana kok nganggur. Apa itu penulis? Engga keren. Bla bla bla." Jujur saja aku mulai stress dengan kalimat seperti tadi. Bahkan teman yang biasa ngopi bareng, yang di kampus begitu akrab, dengan gampangnya melontarkan kalimat "Hai Pengangguran". Entah dia hanya guyon atau memang ada niatan menghina, aku tidak tahu. Tapi, entah kenapa rasanya begitu menyakitkan. Belum lagi aku harus menaklukkan keinginan dari Ibuku yang berharap aku dapat menjadi seorang PNS mengikuti jejak kakakku.

Sebenarnya, serendah, seremeh, se-non-wow itukah profesi seorang penulis? Sampai saat ini masih ada tanda tanya besar mengenai perkara itu di otakku. Rasanya aku begitu sakit hati, ingin kembali menyebar lamaran pekerjaan. Aku tidak akan bersembunyi di balik kata "tapi", karena memang pada faktanya saat ini mencari pekerjaan teramat susah. Aku bukan tipe orang yang gampang menyerah, dan aku berusaha menghasilkan uang dari tulisan yang sudah aku bukukan. Bukankah itu sebuah progres yang bagus? Daripada hanya diam, minta uang ke orangtua? Atau yang lebih ekstrim, menjadi seorang kriminal.

Ilmu yang aku dapat selama 3,5 tahun di Universitas aku bagi lewat esai-esai yang aku buat. Aku juga tidak sungkan untuk mengedukasi teman-temanku yang tidak sempat menikmati bangku kuliah. Lantas, apakah tujuan dari pendidikan semata-mata hanya untuk mendapatkan pekerjaan yang keren yang disebut dengan Pegawai Negri Sipil? Mereka terus saja menggunjingiku, menertawakanku, meremehkanku. Kalau boleh jujur, ingin rasanya aku acuh terhadap mereka, tapi pada fakta aku tidak mampu untuk menyembunyikan rasa sakitku oleh sebab omongan-omongan setan.

Lalu aku bertanya kepada salah satu teman baikku yang saat ini sudah menjadi manager di PT. Pos Indonesia, Tbk. Aku menceritakan semuanya. Aku menumpahkan kekesalanku kepada dia. Kemudian dia berkata, "Indonesia ada berkat sastrawan. Pramoedya, Chairil Anwar, WS Rendra, dan masih banyak lagi. Tidak akan cukup jika aku menyebutkan semuanya. Jangan pedulikan omongan cecunguk, cuek saja! Kerjakan apa yang menjadi bidangmu." Dari sini aku mulai bisa berdiri lagi, mencoba untuk menyusun kembali puzzle yang sudah berantakan karena omongan-omongan setan.

Teruntuk kalian semua yang sudah memiliki pekerjaan, berhentilah menekan mental mereka yang sedang berusaha mencari kerja. Musnahkan kalimat "Sarjana kok nganggur". Untuk apa sih? Apakah dengan kalimat itu, kalian merasa puas, merasa lebih hebat, merasa kastanya lebih tinggi? lalu apa kuasa kalian yang mencemooh diriku yang memutuskan untuk fokus menulis? Apakah pekerjaanku mengganggu eksistensi kalian? Memang. Memang penghasilan seorang penulis yang baru netes dari kinder joy sepertiku belum seberapa. Tapi setidaknya aku tidak terikat dengan kontrak kerja, aku tidak memiliki bos, tidak ada yang memerintahku. 

Sedangkan kalian? Penghasilan kalian sudah sebesar apa? Sudah semakmur apa kalian? Sudah sesukses apa kalian? Coba pikir, aku tidak mempunyai beban finansial, aku tidak bisa memberikan uang kepada kedua orangtuaku walau tidak besar. Sedangkan kalian? Kalian masih direpotkan dengan cicilan ini, itu, bla bla bla. Sumpah demi Tuhan aku tidak butuh dasi, jas, kerja di ruangan ber-AC, memiliki motor/mobil. Aku sudah teramat puas dengan mengayuh sepeda sambil mendengarkan musik lewat earphone, sebats, dan juga ngopi bersama teman di pedesaan sembari diskusi perihal pola pikir manusia.

Kita semua hidup di dunia ini hanya sebatas "Sawang Sinawang". Orang lain boleh saja terlihat bahagia dan kaya, mempunyai rumah mewah, mempunyai banyak kendaraan. Tapi siapa yang tahu perkara hati? Batin? Mental? "Suatu saat kita akan menghilang satu per satu, musnah satu per satu, dan terlahir kembali satu per satu. Teruslah melangkah, kawanku. Tidak ada yang tahu kita akan berakhir seperti apa." Hara Nirankara

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun