Mohon tunggu...
Rika Bandari
Rika Bandari Mohon Tunggu... -

Humble, sweet and faster learning.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

12 Hours of An Amazing Adventure (Lima Sekawan)

26 April 2017   11:33 Diperbarui: 27 April 2017   01:00 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terkadang sesuatu yang direncanakan bisa batal tiba2. Sesuatu yang tadinya bahkan gak kebayang malah itu yang justru sukses. Seperti hari ini, rencana banget dari sabtu pagi mau belanja sayur bareng Kaka Aurel, eh tiba2 malem minggu di WA sama Uci kalau minggu 31 Juli 2016  mau ke glodok bareng @Joe Mc Guire Raphael, di aminin sama kaka, sayang ade Bennica  gak bisa ikut :'(.  Maka.....terjadilah apa yang seharusnya terjadi, perjalanan seru selama 12 jam....yes 12 jam jalan kaki.

Awalnya kita janjian ketemu di Pantjoran Tea House, tapi karena satu dan lain hal aku sama kaka terlambat, jadi deh ketemuannya di Gang Kali mati tepatnya di warung Mie Belitung Lao Hoe, disana ternyata selain Uci & Joe ada theo juga (tambah teman lagi), dan mereka udah pesen mie belitung dan laksa bogor sama minum es jeruk kunci. Berhubung aku dan kaka udah sarapan, jadi kita berdua pesan pisang tanduk goreng (khas gang kalimati, soalnya modelnya lain daripada yang lain ;) ) plus pesan minuman es jeruk kunci yang segaaaar banget.

Lanjut ke sasaran kuliner berikutnya, icip-icip rujak shanghai....yang terbayang pertama kali mendengar kata rujak adalah sepiring buah2an yang asalnya dari Shanghai dengan bumbu pedas manis, karena memang niatnya icip-icip,  jadi kami hanya pesan 1 piring, tidak menunggu terlalu lama, akhirnya datanglah itu rujak shanghai, buyarlah semua pikiran awal tentang sang rujak. Karena yang disajikan cukup unik karena terlalu ekstrim kalau dibilang aneh, sepiring 'sesuatu' yang pasti bukan buah2an, ada irisan kangkung rebus, timun disiram saus seperti saus asam manis plus taburan kacang yang ditumbuk halus. Setelah ditelaah, 'sesuatu' yang bukan buah itu ternyata adalah potongan sotong dan ubur2 yang direbus. Hahaha...karena sudah terlanjur pesan, dan demi sebuah eksistensi....kita berempat ( aku , uci, joe dan theo ) menantang diri sendiri untuk mencicipi rasanya, hmmm....mungkin karena belum terbiasa, jadi kita memutuskan bahwa ini yang pertama dan terakhir, maaf ya Ci, maaf ya Ko ;).

Perjalanan dilanjutkan ke kedai kopi Tek Kie yang ada di Gang Gloria. Ternyata gang ini menjual makanan khusus yang gak bisa dinikmati setiap orang walau aromanya menggoda ;).  Sampai di Tek Kie...dengan suguhan warung kopi lawas, kita pesan es kopi dan es kopi susu. Menikmati kopi sambil mendengar Uci bercerita tentang sejarah gang gloria dan pecinan sungguh mengasikkan, ups, ternyata theo penasaran pingin icip2 Pi Oh Tauco yang ada didepan Warung Kopi ini. Lagi2 demi sebuah eksistensi....hehehe, Theo rela merogoh kocek demi semangkuk Sup labi2, iya, Labi2...sejenis kura2 bercangkang lunak yang hanya hidup di air alias bukan hewan amphibi, yang salah satu khasiatnya untuk mengobati alergi. 

Gak perlu menunggu lama, terhidanglah sup labi2 dimeja, karena kita gak tega membayangkan Si Labi2 masuk ke perut kita, jadi cuma Theo yang mencicipi. Kuahnya berwarna coklat tua, ternyata berasal dari tauco, kita sempet berpikir itu semacam rawon, dan rasa daging labi2 menurut Theo sih not bad lah, tapi...karena Theo sambil makan sambil membayangkan jadi gak ketelen banyak juga, cuma 2 potong. 

Wisata kuliner ini dicukupkan sampai di Warung Kopi Tek Kie, dilanjutkan wisata sejarah ke Vihara Dharma Bakti, Gereja Santa Maria De Fatima dan Toa Se Bio. Oya...diperjalanan sebelum ke Vihara Dharma Bakti mampir dulu ke Toko Kue Bulan Vicky, buat beli moon cake mumpung dapet diskon 30% (tetep yang dicari diskonan).

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Wisata sejarah dimulai dengan mengunjungi Vihara Dharma Bhakti yang dibangun pada tahun 1650 oleh Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen dan  diberi nama Kwan Im Teng yang merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta. Kelenteng ini diduga pernah terbakar 2X.  Yang pertama pada saat pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740.  Pada tahun 1755 dipugar kembali oleh kapitan Oei Tji-lo dan ganti namanya menjadi Kim Tek ie. 

 Pada abad ke-18, seiring dengan perkembangan kota yang semakin pesat, Kim Tek Ie dikenal sebagai tempat ibadah masyarakat Tionghoa yang terpenting di Batavia. Setiap pemuja diterima dengan terbuka dan menjadi tempat ibadah yang banyak dikunjungi pejabat-pejabat. Seorang Mayor Tionghoa pernah menyumbangkan dana untuk pemugaran kelenteng.  Sedangkan kebakaran kedua, terjadi pada malam Imlek, tepatnya pada hari Senin tanggal 2 Maret 2015 dinihari,  diduga penyebab kebakaran berasal dari api lilin.  Dalam kebakaran ini, bangunan utama beserta rupang-rupang ikut musnah terbakar, terkecuali rupang Kwan Im dan dua rupang lainnya yang berhasil diselamatkan. Sumber Wikipedia  

Perjalanan selanjutnya menuju Gereja Santa Maria de Fatima.  Gereja ini merupakan salah satu Gereja katolik di Jakarta yang unik, dibangun dengan arsitektur Tionghoa karena awalnya Gereja ini adalah rumah seorang kapitan Tionghoa bermarga Tjioe yang pada tahun 1953 dibeli oleh Ricci Youth Center  yang dikelola oleh Pater Tcheng.  Gereja ini terletak di Jl. Kemenangan III (Toa Se Bio Straat), Glodok, Taman Sari, Jakarta Barat.

Sebelum menuju ke Kota Tua, kami singgah ke Tao Se Bio adalah salah satu dari klenteng tua yang masih berdiri di Jakarta. Berdiri di jl Kemenangan, Jakarta Barat kurang lebih sejak tahun 1751 menurut penelitian C Salmon dan Lomberd. Akan tetapi, dalam suatu kesempatan perbincangan, seorang pengurus memberikan keterangan bahwa sebelum 1740 sudah berdiri klenteng di tempat itu yang terbakar habis dalam pembantaian tionghoa di tahun 1740. Ada kemungkinan 1752 adalah masa pembangunan ulang klenteng tersebut.Ada sekitar 20an altar di Klenteng ini. Tuan rumah kelenteng ini, tentu saja Cheng Goan Cheng Kun yang mana altarnya berdiri tegak lurus dengan pintu masuk klenteng.

Cheng Goan Cheng Kun (清源真君Qing Yuan Zhengjun) adalah dewa yang dipercayai masyarakat Tionghoa dalam menjaga kota yang dikelilingi perairan. Dari peta Batavia abad 17-18, terlihat pada sisi barat, timur dan selatan tembok kota Batavia terdapat sungai yang membatasi kota dengan luar kota. Sedangkan sisi utara kota adalah Laut Jawa. Dengan demikian adalah tepat jika masyarakat Tionghoa pada masa itu mempercayakan kota Batavia pada Dewa Cheng Goan Chengkun dan memohon pada beliau agar menjaga kota tersebut.Sumber  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun