Mohon tunggu...
Himayatul Ulya
Himayatul Ulya Mohon Tunggu... -

私はヒマです。STBALIAの大学です。どうぞよろしくおねがいします。。

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bangun!!!

31 Mei 2013   09:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:45 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

BANGUN!!!

Huah!! Pagi ini aku di tertawakan oleh sang surya gara-gara bangun kesiangan. Aku pikir untuk apa bangun pagi-pagi sedangkan sudah tidak pergi ke sekolah lagi. Penggumuman kelulusan pun sudah di umumkan. Jadi, tinggal nunggu tes SNMPTAN saja dan menikmati libur setelah berperang melawan kertas tinta hitam.

Sejam, dua jam berlalu, matahari sudah semakin tinggi, dan azan zuhur juga sudah berkumandang. Aku pun menyegerakan untuk salat dan makan siang. Setelah itu, bersiap-siap untuk berangkat les. Walaupun sekolah sedang libur pascaujian, tetapi les tetap berjalan.

Waktu terus berputar hingga menunjukkan pukul 14.00. Semua sudah siap dan aku pun tinggal tancap gas untuk pergi ke tempat les. Aku selalu datang lebih awal untuk menghindari macet dan terlambat masuk ke kelas. Aku malu jika telat semenit. Begitulah kata-kata yang ku tanamkan dalam hati. Pada menit ke lima belas sebelum kelas di mulai, kuda mesin ku yang cantik pun tiba di tempat les.

Saat menuju ruang kelas di 303, aku bertemu dengan Miss Alfina, guru yang pernah mengajarku di elementary 4. Kemudian, Beliau ku sapa,”Hi Miss!”. Miss pun menjawab sapaan ku. Wah senangnya hatiku menyapanya lagi. Lalu, Beliau memulai pembicaraan,”Hima, mau nerusin ke mana?”

“Maunya sih ke UI, Miss. Ngambil jurusan kedokteran atau biologi tapi nonpen, Miss,” jawabku.

Ia membalasnya dengan mengangguk. “Kenapa gak tertarik sama bahasa asing?” tanyanya lagi.

“Tertarik juga sih, tapi nanti kalau udah lulus mau jadi apa? Kata orang-orang, lulusan sastra mah cari kerja susah. Nanti ujung-ujungnya jadi guru, itu pun kalau sekolah-sekolah pada membutuhkan. Sempit ruang lingkupnya, Miss. Hehe…” jawabku.

“Ah, gak juga! Itu sih Cuma kata-kata dari orang-orang yang pengalamannya sedikit. Kalau ngambil jurusan sastra, kamu bisa jadi penerjemah komik, novel, dokumen legal, dan lain-lain. Bisa ke luar negeri juga kalau kamu dapat beasiswa. Keren kan? Pokoknya enak banget deh.”

“Mmm… Nanti aku pikir-pikir dulu deh, Miss. Aku juga masih bingung, Miss,” ujarku sambil menggaruk-garuk kening.

Akhirnya kami mengakhiri pembicaraan karena harus masuk ke ruangan masing-masing. Net, net, neeeeetttt… Bel masuk berbunyi, pertanda kelas akan segera di mulai. Aku mempersiapkan diri dan harus fokus dalam pembelajaran hari ini.

Satu bulan berlalu, kini tiba saatnya untuk menjalani tes SNMPTN. Tes menegangkan setelah UN dan UAMBN. Inilah pertarungan sebenarnya. Pertarungan yang akan memakan banyak korban kegagalan lebih dari 400.000 orang. Aku tidak boleh menyerah. Oleh karena itu, sebelum mengerjakan soal tes, aku pun berdoa agar di beri kemudahan dalam mengerjakannya dan dapat di terima oleh perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Tiga minggu pun berlalu, kini aku tinggal menunggu hasil. Huaaah… Lagi-lagi aku bangun kesiangan. Aku lihat handphone berharap ada yang mengucapkan selamat pagi, tetapi dugaan ku meleset. Ternyata SMS dari teman yang memberitahukan bahwa pengumuman hasil tes sudah dapat di lihat hari ini. Aku buru-buru menyalakan komputer dan mengecek email. Ku baca isinya dengan teliti dan sungguh hasilnya membuat tubuh ini lemas tak berdaya, sangat mengecewakan hati bagaikan di sayat dengan dua puluh pisau.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Papa yang sudah lama berdiri di hadapan Ku.

“Maaf ya,Pa. Tidak masuk,” jawabku dengan nada lirih.

“Maaf, maaf, maaf! Kurang belajar kamu! Kamu udah gak mau belajar lagi? Begini saja kamu tidak bisa? Nikah saja kamu kalau begitu!” bentak Papa.

“Gak mau, Pa. Aku masih mau belajar. Aku gak mau nikah dulu, Pa,” kata ku memohon.

Papa diam dan tidak menjawab apa-apa. Aku pun lekas mandi dan siap-siap pergi menemui seseorang yang sudah ku anggap seperti Kakak ku sendiri. Blam!! Pintu depan ku tutup sekuat-kuatnya karena kesal. Tanpa pamit dan berkata apa pun, aku langsung berlari menunggangi kuda mesin ku menuju kampus Kakak. Kurang dari dua puluh menit, aku sudah sampai di kampusnya. Aku langsung menuju kantin tempat biasa Ia menyendiri dengan laptop dan buku-buku kunonya. Namun, tak ku temukan batang hidungnya di kantin ini. Lalu, ku lihat jam di handphone, ternyata masih pukul 11.55, berarti lima belas menit aku harus menunggunya hingga selesai kuliah. Sambil menunggunya, aku memesan makanan.

“Ehm, sudah lama ya?” tanya seseorang yang tidak ku tahu di mana ke beradaannya.

“Siapa sih nih yang tanya?” tanya ku pada suara itu.

“Kak Widi, Ukhty… Nih di jendela sekre. Nengok deh kamu ke belakang,” pinta suara tadi. Aku langsung menuruti perintah itu. Setelah menoleh, aku menyuruh Dia datang ke tempat aku duduk.

“Bagaimana hasil tes SNMPTNnya? Cie… Jadi dokter atau ahli biologi nih?” tanya Dia lagi sambil merebut minuman ku.

“Gagal dua-duanya, Kak,” jawabku

“Sudahlah, gak apa-apa. Mungkin bukan rizki mu, Ukhty. Masih banyak universitas swasta yang bagus kok. O ya, kenapa Kamu gak coba ngambil jurusan sastra? Mungkin di sana kamu lebih beruntung. Kamu pernah menang lomba cerpen dan puisi kan? Coba aja deh! Siapa tahu sesuatu yang tidak Kamu inginkan bisa membawa mu pada kesuksesan,” ungkap Kak Widi panjang lebar.

“Hmm… Tapi Kak, Aku lemah dalam menghafal dan mendengar. Kalau Aku masuk jurusan sastra, nanti IPK Ku nasakom lagi,” kata ku.

“Jangan pesimis dong. Mmm… Kamu punya mimpi gak?”

Aku menjawabnya dengan anggukkan kepala saja yang berarti iya.

“Kalau punya, wujudkan dong! Bangun woy, bangun!!! Mimpi yang indah itu bukan ketika tidur, melainkan ketika kamu terbangun menjalankan aktifitasmu dengan niat +action+semangat+doa = hasil yang sempuna. Nah, itu baru membangunkan mimpi! Kita itu harus jadi pelajar hebat yang pantang menyerah. Yeah!!!” teriak Kak Widi membangkitkan rasa optimisnya.

Aku bisa tersenyum lagi setelah mendengar perkataannya yang optimis itu. Sebelum pamit untuk pergi berangkat les, aku mengucapkan terima kasih kepadanya dan kembali keparkiran ditemani oleh Kakak. Kemudian, langsung pergi setelah kuda mesin ku yang cantik siap.

Dalam perjalanan menuju tempat les aku berpikir tentang perkataan Kak Widy tadi. Mungkin benar atau mungkin juga tidak. Aku terus memikirkan hal itu hingga jam les pun berkahir. Akhirnya, sebelum tiba di rumah, aku sudah mendapatkan keputusan yang tepat.

“Ma, Pa..” sapa ku saat tiba di rumah. Tak lama kemudian, mereka ke luar dan duduk di ruang tamu. Aku tahu mungkin ini terlalu gegabah, tetapi aku harus membicarakannya sekarang. Aku memulainya dengan basa-basi agar tidak tegang dan kaku. “Ma, Pa, aku mau kuliah dengan mengambil jurusan sastra, boleh kan?” lanjut pembicaraan ku.

“Sastra apa? Inggris? Di mana?” tanya Mama.

“Sastra Jepang bukan Inggris, Ma,” jawab ku agak takut.

Mendengar keputusanku, Papa mulai meluncurkan aksi ledakannya, “Enggak! Papa gak setuju! Emangnya Kamu udah punya basicnya? Bahasa Inggris lebih penting daripada Jepang. Perusahaan lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Buat apa Kamu les Inggris kalau gak digunain?”

“Papa jangan sok tahu deh! Jepang juga banyak kok yang membutuhkan!” balas Ku membantah.

“Bahasa Arab aja! Kamu terusin keinginan Mama yang tertunda. Kamu bisa memperdalamnya lagi setelah lulus MA. Nanti Mama bisa daftarkan Kamu biar dapet di Universitas Al-Azhar Kairo,” tambah Mama.

“Gak bisa, Ma. Anak kita mau jadi apa nanti kalau masukin di dunia sastra yang suram begitu. Kalau mau, ya bahasa Inggris. Jangan yang lain-lain,” lanjut Papa.

Aku memutar gerak bola mata ke kiri dan ke kanan. Aku diam sementara demi meredam amarah ku. Sekarang malah Papa dan Mama Ku yang ribut. Setelah reda, baru deh aku yang meluncurkan aksi protes Ku. “ Ini sebenarnya yang mau belajar, Mama, Papa, atau Aku? Kenapa kalian yang rebut? Aku yang belajar dan yang jalanin. AKU BUKAN KALIAAAANN!!!!!!!” teriak ku membantah. Setelah itu, Aku langsung masuk kamar. Namun, gak terasa air mata berlinang tanpa izin di pipiku. Ku lihat handphone, berharap ada yang menghibur hati kecil Ku yang malang ini. Ternyata memang ada. Kak Widi kembali menyemangati Ku seperti biasa, kata-kata bijak pun ke luar layaknya seorang motivator ternama, Mario Teguh. Aku tertawa karena lulucon Dia dan lama-lama diri Ku tertidur sambil menikmati nyanyian hujan di malam hari.

Keesokan harinya, Aku pergi ke toko buku untuk membeli buku cara menulis huruf-huruf Jepang, katakana, hiragana, dan kanji. Karena di toko tersebut tidak menjual buku cara menulis kanji,akhirnya hanya membeli buku cara menulis kana. Setibanya di rumah, diam-diam Aku mempelajari huruf-huruf tersebut. Jika sudah selesai, buku itu Ku simpan dengan rapih agar tidak ketahuan oleh siapa pun.

Hari demi hari berlalu, tetapi ilmu Ku belum bertambah dan belum juga daftar di universitas. Sudahlah, hal ini akan Ku kesampingkan. Aku mau fokus pada ujian kenaikan level dahulu. Beberapa jam setelah ujian berakhir, tak sengaja bertemu dengan guru favorit Ku di koridor. Kemudian, Beliau menyapa Ku, “Hi,Hima! How are you?”

Aku terkejut mendengar sapaan itu. Aku kira ia sudah lupa. Lalu, segera aku menjawabnya, “I’m fine, Sir.”

“O ya, mau makan dengan Saya?”

“What? Ma, makan?” tanya Ku agak gugup. Ini pertama kalinya Aku di ajak makan dengan guru favorit ku.

“Iya, makan es krim di depan. Tuh ajak teman-teman mu, Dadi dan Wulan juga ya,” lanjut Dia, guru favorit Ku.

Aku hanya membalasnya dengan anggukan kepala tanda setuju. Senangnya bisa makan bersama guru favorit. Asyik banget jika sudah masuk sesi canda tawa. Kami semua menyantap es krim dengan santai tanpa terburu-buuru. Satu per satu di tanya oleh Dia tentang melanjutkan kuliah di mana. Saat giliran Ku tiba, aku bingung harus menjawab apa karena aku sendiri masih bingung mau kuliah di mana. Lalu, Beliau menyarankan Ku untuk masuk di perguruan swasta dengan mengambil jurusan sastra. Beliau mau membantu Ku. Aku sangat berterima kasih dengannya dan aku pun akan menceritakan ini kepada orangtua Ku. Aku seperti mendapatkan titik terang dalam gua yang gelap.

Ketika azan isya sudah selesai berkumandang, kuda mesin ku yang cantik telah sampai di rumah. Aku menarik nafas panjang dan berdoa semoga semuanya berjalan sesuai rencana yang ada di otak Ku. Lalu, perlahan-lahan pintu Ku buka dan tidak lupa mengucapkan salam. “Kok sepi ya?” tanya Ku dalam hati.

Tiba-tiba ada suara dari dapur, “Kamu boleh masuk di kampus itu dan mengambil jurusan sastra Jepang.”

“Apa? Yang benar nih Ma?” tanya Ku dengan nada terkejut.

“Iya benar. Besok kita ke sana untuk daftar,” kata Mama.

“Tapi, kata Papa kan….” Belum selesai aku bicara sudah di potong duluan oleh Mama. Seolah-olah tidak ingin mengingat kejadian lalu yang belum menemukan ujungnya.

“Udah diam. Sekarang Kamu siapkan persyaratan dan cepat tidur,” suruh Mama.

Aku segera merapihkan semua persyaratan yang akan ku bawa besok. Ketika semuanya sudah beres, Aku masuk kamar untuk tidur, tetapi sebelum tidur aku ingin SMS-an dahulu ah sama Kak Widi. Aku memberitahukan hal ini sama Dia, tetapi dia tidak membalas SMS Ku. Lima menit kemudian, Kak Widi menelepon Ku. Lalu Ku jawab teleponnya, “Hallo Kak Widi.”

“Ukhty, beneran mau ngambil jurusan sastra Jepang? Udah diizinkan, Ty?” tanya Kak Widi penasaran.

“Ya Kak, Alhamdulillah sudah diizinkan. Aneh banget tapi, Kak. Kok bisa ya, orangtua Aku ngizinin ngambil jurusan itu? Hmm…” kata Ku memperlambat durasi.

”Oh, maaf, Ty. Kakak yang berbicara itu pada orangtua mu. Kakak tidak mau cita-citamu tertunda karena perdebatan orangtua,” jawab Kak Widi meyakinkan.

“Terima kasih, Kak. Kakak sudah membantu dan berkoran buat Ku.  Tapi Kak….”

“Tapi kenapa, Ty? Apa kamu masih takut kalau IP Mu turun gara-gara belum pernah belajar bahasa Jepang?”

“Iya Kak. Kok Kakak tahu sih?”

“Iya dong. Aku kan kepo. Hehehe…”

“Bisa kepo juga, Kak?”

“Bisa dong. Aku kan PRO. Jadi, hal sekecil apapun harus aku cari tahu karena mencoba hal baru itu mengasyikan walaupun tidak mudah menghadapinya,” ungkap Kak Widi dengan nada sedikit mengejejek.

“PRO itu apa, Kak? Kepo nih,” tanya Ku penasaran.

“Huuu… keppo banget sih! Hehe… Bercanda, Ty. PRO itu singkatan yang artinya Pelajar Rasa Optimis. Pesimis boleh, tapi jangan berlebihan karena begini, Ty, kalau kita pesimis karena susah menyelesaikan masalah maka hasilnya tidak seseuai yang diharapkan. Inget, sesuatu yang sulit akan mudah dilakukan jika terbiasa dan di awali dengan niat. Tunjukin dong PRO mu!! Kan Ukhty calon mahasiswa. Mahasiswa jangan malu buat kepo. Hehehe… ” kata Kak Widi memberiku dorongan.

“Iya deh Kak… Thank you very much ya,” kata Ku membalas perkataannya. Aku bingung mau membahas apalagi. Ya sudahlah, teleponnya kami akhiri saja. Kemudian, langsung tidur. Siap-siap untuk pergi ke Jakarta besok.

Wah, mataharinya discon euy. Baru pukul 09.10 sudah discon aja. Bikin perjalanan Ku ke Jakarta semakin gersang bagaikan di padang pasir. Ternyata beginilah Ibu kota. Sudah jarang pohon, kendaraaan banyak yang berbaris di jalan seperti menunggu antrean sembako, dan mata-mata penguras dompet sudah berkeliaran. Jadi, Aku harus berhati-hati. Ini pertama kalinya untuk Ku datang ke Ibu kota sedangkan Mama sih sering mendatanginya. Perjalanan terasa lama karena situasi macet parah. Namun, tidak mematahkan semangat Ku. Akhirnya sampai juga di tempat tujuan setelah tiga jam berlalu. Tidak perlu lama-lama di kampus ini, karena persyaratan sudah lengkap dan tidak ada berkas yang tertinggal.

Sudah tiga minggu setelah pendaftaran, aku tidak pergi lagi ke Jakarta. Aku akan kembali ketika OSPEK nanti. Tiba-tiba, Aku mendapatkan telepon dari pihak kampus. Tidak Ku sangka ternyata Aku menerima beasiswa dari program beasiswa unggulan. Langsung sujud syukur deh. Trus teriak-teriak mengucapkan rasa syukur.

“Ma, Pa, Aku dapet PBU!! Alhamdulillah…” ungakap Ku dengan sangat senang.

“PBU itu apa?” tanya Papa.

“Program Beasiswa Unggulan, Pa. Nih aku buktikan bahwa di sastra aku bisa dapat yang lebih baik,” kata Ku menyindir Papa yang beberapa lalu melarang untuk mengambil jurusan sastra Jepang. Papa hanya diam dan tak mengungkapkan sepatah kata pun. Mungkinn beliau menyesali perkataannya.

Lalu, aku menelepon Kak Widi. Tuut…tuut…tuut…,“Hallo, Kak Widi.”

“Hallo juga. Kenapa, Ty? Tumben nelepon siang-siang begini,” tanya Kak Widi.

“Kak, Aku dapat PBU loh…”

“PBU?” tanya Kak Widi.

“Iya Kakak. PBU itu Program Beasiswa Unggulan,” jawab Ku.

“Eh, yang bener? Wah, selamat ya!! Kakak senang mendengarnya,” ungkap Kak Widi.

“Iya Kak, terima kasih. Ini juga berkat motivasi Kakak. Mungkin kalau tidak mendengar nasihat dari Kakak, aku tidak akan bisa dapat beasiswa ini kali, Kak,” kata Ku dengan perasaan senang.

“Iya, sama-sama. Hmm… Terkadang sesuatu yang kita tidak inginkan, yang ditakutkan, dan yang di benci, biasanya akan membawa kita pada keberuntungan yang tak terduga. Baik bagi kita belum tentu baik bagi Tuhan, buruk bagi kita belum tentu buruk bagi Tuhan. Makanya, kita harus terus bersyukur dan jangan angkuh ya,” ujar Kak Widi menasihati Ku.

“Siip Kak!” balas Ku. Tak lama kemudian, telepon pun di akhiri. Aku cerna semua nasihat Kak Widi dengan baik-baik. Ternyata ada benarnya juga, Tuhan selalu memiliki rencana baik yang lebih indah untuk umatnya yang berusaha sambil berdoa. Aku harus menerapkan sebuah rumus nih dalam hidup Ku, yaitu rumus niat+action+semangat+doa= hasil yang sempurna. Rumus itu harus ku terapkan mulai dari sekarang sebagai mahasiswi penerima PBU ‘Program Beasiswa Ungggulan’ di kampus Ku.

***

Karya

Himayatul Ulya

Sebagai Mahasiswa Penerima Beasiswa Unggulan di STBA LIA Jakarta

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun