Mohon tunggu...
Hilmi Inaya
Hilmi Inaya Mohon Tunggu... Penulis - connect with me: hilmiinaya4@gmail.com

Write what do you want, what do you think, what do you feel, and enjoy it

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah Depotisme Terhadap Perempuan

5 September 2017   01:21 Diperbarui: 27 September 2017   11:12 1335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Herodotus seorang sejarawan mengatakan bahwa perempuan Jerman, Pasifik Selatan, Arab sebelum Islam dan Afrika,  dulu hidup berdampingan dan tumbuh berkembang dengan laki-laki. Laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan yang menyebabkan diskriminasi diantara keduanya. Perempuan dapat berkontribusi untuk kepentingan komunitasnya. Sebagai contoh, Raja Dahomey memiliki angkatan perang 500 laki-laki dan 500 perempuan. Jadi, perempuan benar-benar hidup dengan kebebasan yang dimilikinya. Bahkan tidak ditemukan pernikahan antara laki-laki dan perempuan.

Semenjak masyarakat beralih dari masyarakat nomaden menuju masyarakat yang bercorak tanam, maka mereka mulai mengenal institusi keluarga. Nah, hal inilah yang menyebabkan perempuan kehilangan kebebasannya. Contoh, hak kepemilikan istri menjadi lazim di kalangan Yunani, Roma, Jerman, Indiaa, Cina dan Arab. Seolah-olah istri adalah perempuan seperti boneka yang memiliki kecantikan luar biasa, lemah gemulai, atau apa saja yang ada di imajinasi bangsa tersebut, sehingga menjadikan istri adalah barang yang dapat diatur, dibawa  dan mendapat perlindungan, yang berkonsekuensi harus memenuhi kemauan suami tanpa memerhatikan hak-hak istri yang harus dipenuhi.

Nikah kala itu sebagai kontrak yang merefleksikan penjualan properti. Perempuan sebagai properti yang dijual atau sebagai budak. Tentu saja, perempuan tidak dapat mewarisi apapun. Bahkan perempuan sendiri yang menjadi barang waris terhadap anak laki-lakinya.

Situasi semakin memburuk ketika dewan gereja mengatakan bahwa perempuan adalah manusia, akan tetapi tujuan hidupnya hanya untuk melayani laki-laki. Betapa ironisnya masa ini, ketika perempuan disebut sebagai manusia akan tetapi hak-haknya telah dirampas dan takdir kehidupan telah digantungkan kepada para penguasa. Hal ini menandakan bahwa pada masa itu, laki-laki memandang perempuan sebagai manusia yang lemah dan objek seksual saja.

Perspektif ini muncul karena perempuan sebelum nikah hanya bergantung kepada ayahnya, setelah menikah bergantung kepada suaminya, ketika suaminya meninggal baru menggantungkan hidupnya kepada putranya. Hal ini benar-benar tidak masuk akal, ketika perempuan yang melahirkan laki-laki, laki-laki pula yang bertindak semena-mena terhadap perempuan. Menetapkan perempuan sebagai makhluk yang lemah, terkucil. Lantas, jika keberadaan perempuan diperlakukan semena-mana, mengapa Tuhan menciptakan perempuan? Salahkah keberadaan perempuan pada masa itu?

Keluarga adalah sebuah institusi kecil yang menjadi dasar pembangunan sebuah negara. Maka dari itu, negara tidak bisa berdiri di atas kekuatan yang semena-mena terhadap perempuan. Lambat laun, pemerintahan barat mulai menghapus despotisme terhadap perempuan dan menggantikannya dengan sistem demokrasi yang dapat dipertanggungjawabkan di depan hukum. 

Prinsip ini menghapus hak kepemilikan semena-mena terhadap perempuan tanpa suatu pernyataan legal. Akan tetapi, prinsip ini tidak berlaku bagi beberapa negara di Timur seperti Turki, Arab, India, Cina dan Persia. Mereka masih menggunakan peraturan yang sama yakni perempuan adalah budak laki-laki. Perempuan dalam rumah tangga adalah korban penindasan laki-laki.

Di negara Amerika, hak-hak personal sangat dihormati. Laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan hak publik dan hak politik yang sama, contoh dalam hal mendapatkan hak voting. Sehingga, suara perempuan benar-benar berkontribusi dalam kemajuan sebuah negara.

Sedangkan di Prancis, Alexander II telah menghapus perbudakan perempuan dan mendirikan sekolah perempuan yakni sekolah dasar dan sekolah menengahyang krikulumnya sama dengan sekolah laki-laki.

Nah, itulah cuplikan tentang sejarah kehidupan perempuan yang berawal dari kebebasan kemudian menjadi perbudakan setelah terbentuknya institusi keluarga yang menyalah artikan konsep pernikahan sebagai penyerahan hak-hak perempuan sehingga perempuan menjadi objek tirani laki-laki.

Perempuan timur apalagi Mesir masih saja berkutat dengan peraturan masa lalu yang dihubungkan dengan peraturan syariah. Padahal syariah menghendaki untuk menghormati hak-hak personalitas, menganggap manusia semua sebagai makhluk yang harus ditunaikan hak kemanusiaan tanpa pandang bulu. Qasim Amin memandang bahwa perempuan Mesir masih tertindas dengan adanya pemingitan perempuan yang menyebabkan perempuan hanya di rumah saja tanpa mendapatkan pengalaman luar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun