Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mengapa Usaha Kreatif Gagal dan Pendekatan Baru Mengatasinya

24 Mei 2017   13:25 Diperbarui: 24 Mei 2017   18:21 2427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Antara Foto

Pertanyaan besar pada zaman kita bukan "Bisakah sesuatu dibuat?", melainkan "Haruskah sesuatu itu dibuat?" Kita berada di persimpangan historis: kesejahteraan generasi mendatang bergantung pada kualitas imajinasi kolektif kita.

Bulan lalu seorang sahabat datang ke rumah. Ia seorang pengusaha (kecil) di bidang industri kreatif. Si teman bercerita tentang tekadnya yang sudah bulat untuk memulai usaha produksi suvenir khas Balikpapan. Ia punya mimpi ini sejak lama karena melihat Balikpapan -- kota kelahiran dan domisili saya -- tak punya produk khas yang bisa dijadikan suvenir yang memiliki brand kuat. Seperti Dagadu di Jogja atau Joger di Bali, contohnya. Pria yang sudah bersahabat dengan saya selama 14 tahun ini mengatakan ia sudah punya beberapa konsep produk. Mulai dari garmen hingga gantungan kunci.

Hingga dia mengajukan pertanyaan pamungkas. "Aku harus mulai dari mana?"
Perasaan saya bercampur aduk antara senang, risau, dan sedih. Terus terang saya kesulitan menemukan jawaban yang tepat bagi orang seperti dia.

Saya senang karena dia tidak pernah kehilangan semangat kewirausahaan dan kreativitas meski dalam beberapa tahun terakhir usaha kreatifnya jatuh bangun. Saya bisa dengan fasih memberinya kuliah semalam suntuk soal manajemen dan akuntansi inovasi mulai dari validate learning, lean thinking, agile development, agile UX, growth hack, sampai sprint --- metode-metode invoasi yang sangat proven (terbukti) dan merupakan ilmu sains baru yang sangat bisa diterapkan dalam industri kreatif yang bukan produk digital. Saya akan bersedia membimbingnya melakukan metode-metode ini tanpa bayaran sampai ia berhasil. Tapi saya tahu dia tidak akan mau. 

Kita terlanjur menganggap kewirausahaan itu sepenuhnya sebagai seni yang mengandalkan intuisi atau kerja keras semata. Kita menelan nasehat Bob Sadino begitu saja: "Bisnis apa yang paling bagus? Binsis yang segera dimulai, bukan yang ditanyakan terus." Atau yang lebih ekstrem, "Orang pintar mikir ribuan mil, jadi terasa berat. Saya nggak pernah mikir karena cuma melangkah saja. Buat apa mikir, kan cuma selangkah."

Kita harus tetap menghargai Bob Sadino dan para senior wirausahawan yang sukses. Mereka tidak salah. Sulit menyalahkan orang yang terbukti sukses. 

Yang salah adalah kita: menganggap dunia itu statis dan waktu tidak bergerak mengubah hal-hal fundamental pada manusia dan ekonomi, sehingga selalu mengacu pada nasehat yang dibuat pada waktu yang berbeda.

Setiap nasehat punya masanya masing-masing. Lebih dari itu: kita perlu metode yang sesuai dengan kenyataan yang kita hadapi, bukan jargon. 

Intuisi tidak boleh dihapus dalam kewirausahaan, seperti juga keberanian. Steve Jobs tidak menggunakan rumus matematika dan 1 terrabyte data ketika ia memutuskan membuat desain ponsel yang sangat superior dan melampaui ekspektasi konsumen. Iphone tercipta karena intuisi dan kenekatan. Setiap orang ingin jadi Steve Jobs atau Bob Sadino. Namun mereka berdua adalah 'spesies sangat langka', sementara kita bukan. Intuisi dan keberanian juga tidak dibentuk lewat sekolah. Mereka dibentuk oleh segenap pengalaman hidup yang panjang dan seringkali menyakitkan. Tak semua orang bisa sekeras Edison 'menyiksa diri' menciptakan lampu lewat kesalahan lebih dari 1.000 kali.

Harga kegagalan itu sangat mahal, baik secara ekonomi maupun sosial. Yang tak kalah pentingnya adalah apa yang kita sendiri korbankan: waktu, tenaga, kreativitas, pikiran, perasaan. Ia tak boleh sia-sia begitu saja. Tapi ada sebuah pendapat umum bahwa untuk sukses kita harus lebih dulu jatuh terguling dan tersiksa oleh sesuatu yang tak bisa kita kontrol: kegagalan. Itu sebabnya orang lebih banyak memilih jadi karyawan karena memiliki pertimbangan masing-masing dalam menghindari derita kewirausahaan.

Sementara, dunia ini --- terlebih lagi Indonesia --- memerlukan lebih banyak wirausahawan. Yang terbukti memiliki daya tahan untuk menggerakkan ekonomi bukan perusahaan minyak atau otomotif. Tapi wirausaha yang dimulai dari kecil. Toh kita melihat sendiri bank-bank dilikuidasi, perusahaan minyak memecat ribuan karyawan, atau General Motor yang bangkrut. UKM juga banyak yang gulung tikar. Namun karena ukurannya yang kecil, dampak yang mereka hasilkan tidak begitu besar dan lebih tangkas untuk bangkit lagi.

Dunia kita juga memerlukan lebih banyak inovasi dan kreativitas untuk kehidupan yang lebih baik. Kita tidak bisa terus mengandalkan produk-produk lama yang banyak menimbulkan masalah. Dunia perlu produk inovasi dan kreatif baru untuk memecahkan lebih banyak masalah. Namun kita tak bisa mengharapkan inovasi itu lahir dari industri besar. Alasannya saya tulis dalam tulisan minggu lalu berjudul Mengapa Inovasi Gagal. Maka tak ada cara lain kecuali berharap inovasi dan kreativitas itu muncul dari usaha yang benar-benar baru dan dimulai oleh wirausahawan baru. Karena baru, tak mungkin ia langsung besar --- kecuali anda anak seorang sultan, yang sayangnya bukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun