Mohon tunggu...
Hilman Fajrian
Hilman Fajrian Mohon Tunggu... Profesional -

Founder Arkademi.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Jurnalisme Digital: Perlawanan dan Masa Depan Kita

7 Januari 2016   15:33 Diperbarui: 24 Mei 2018   09:07 2109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang mendokumentasikan peristiwa penting yang sedang berlangsung. (sumber: brandwatch.com)

Setiap orang dengan laptop berpikir mereka jurnalis. Dan setiap orang dengan kamera mengira mereka fotografer."

Helen Thomas adalah nama paling populer di ranah pemberitaan Gedung Putih. 57 tahun ia bertugas sebagai koresponden di sana. Mulai dari zaman Presiden Eisenhower sampai periode kedua pemerintahan Obama. Helen baru pensiun tahun 2011 di usianya yang ke-91 tahun, dua tahun sebelum wafat. Ia mengutarakan kecemasannya soal degradasi jurnalistik di era digital dan begitu mudahnya seseorang mengaku-aku sebagai jurnalis.

"Mengerikan ketika anda bisa mengacaukan hidup orang lain tanpa menyadarinya. Tanpa penyuntingan, tanpa standar, tanpa etika. Di zamanku, ketika ibumu mengatakan ia mencintaimu, seorang jurnalis akan menverifikasinya. Sekarang, begitu banyak surat kabar bagus yang terancam tutup," keluhnya dalam sebuah wawancara di tahun 2009.

Yang mengiringi perbincangan tentang menjelangnya kepunahan media cetak, khususnya koran, oleh gerusan media digital atau New Media adalah terancamnya kualitas jurnalistik. Kita tak bisa mengabaikan fakta bahwa dalam masanya koran telah menghasilkan begitu banyak konten yang mengekspos masalah di masyarakat kita dibanding medium lain, dan menjadi salah satu pilar perubahan sebuah bangsa. Keprihatinan akan matinya koran sekaligus kecemasan akan kematian jurnalisme arus utama yang dianggap sejati.

Dunia digital telah mengubah nyaris semuanya. Tak hanya setiap orang mampu menciptakan kontennya sendiri tanpa mesti terikat dengan kaidah, etika dan kepatutan jurnalistik -- yang semua itu digantungkan pada mekanisme self-control yang rentan. Perubahan besar juga terjadi bagaimana informasi didistribusikan, dikonsumsi, perilaku membaca, dan model bisnis. Satu sisi internet adalah mesin demokrasi dan kemerdekaan manusia atas informasi. Di sisi lain konten digital -- yang dalam tulisan ini kita sebut jurnalisme digital -- dihadapkan pada banyak pertanyaan.

Bagaimana kelak pranata sosial kita mengatur soal informasi apa yang layak dibagi dan penting bagi orang lain?

Apa yang kelak terjadi dalam era demokrasi informasi ini ketika mekanisme penyaringan informasi tradisional untuk akurasi, keberimbangan dan standar jurnalistik menjadi hilang?

Apakah profesi wartawan, khususnya yang investigatif, akan sirna dan tergantikan oleh buzzer?

Ketika tampaknya tak ada konten digital yang bisa cukup dipercaya, lalu siapa yang bisa kita percayai?

Akankah desentralisasi media akan menyebabkan balkanisasi (pertentangan yang tajam) dalam perspektif dan nilai yang dianut manusia?

HAK ATAS ILMU PENGETAHUAN DAN MONOPOLI KEKUATAN

Mempelajari karakteristik teknologi adalah upaya memahami perilaku masyarakat dan menguak rahasia sejarah. Profesor bidang ekonomi politik dan pionir dalam teori media dari University of Toronto, Harold Innis, mengatakan segala bentuk baru komunikasi dan medium informasi akan menciptakan sebuah kekuatan sosial baru yang melawan monopoli kekuatan lama. Tidak jarang kekuatan sosial baru itu bermetamorfosis menjadi institusi yang ikut memonopoli kekuatan dan berbagi kekuasaan dengan penguasa eksisting. Entitas yang diperebutkan adalah ilmu pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun