Mohon tunggu...
HIJRASIL
HIJRASIL Mohon Tunggu... Administrasi - pemula

menjadi manusia seutuhnya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pendidikan Nasional dan Pendidikan Inklusif bagi Difabel

3 Mei 2018   01:44 Diperbarui: 3 Mei 2018   02:03 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rabu 2 Mei 2018 adalah hari dimana usia pendidikan indonesia sudah mengarah pada kematangan. Pembangunan bangsa yang di ukur melalui indeks pembangunan manusia salah satunya yang menjadi ukuran adalah pendidikan. Sebagai cerminan kemajuan suatu bangsa, pendidikan mengambil posisi central dalam pembangunan bangsa. 

Menengok ke belakang melalui sejarah pendidikan indonesia, telah melahirkan para funding fathers dari Raden Ayu Kartini, Muhammad Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Syahrir, dan Cokroaminoto. Lewat pendidikan juga kita meraskan bau harum kemerdekaan Indonesia. Lewat pendidikan perjuangan merebut kemerdekaan bangsa bisa tercapai. Lantas bagaiman harapan dari kemerdekaan terhadap pendidikan indonesia?

Wajah pendidikan indonesia begitu beragam, dari kemajuan sampai kompleksitas persoalan pendidikan memiliki narasinya tersendiri. Sejatinya pendidikan indonesia sudah sangat matang untuk dikatakan. Tetapi apakah dengan kematangan yang di ukur dengan usia pendidikan sudah mencerminkan kemajuan pendidikan pada suatu bangsa?. Melihat dari sejarah panjang pendidikan indonesia, pendidikan indonesia berjalan dengan caranya tersendiri. Tentu dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh negara atau pemerintah.

Embrio pendidikan indonesia tidak terlepas dari kelahiran lewat sekolah-sekolah yang didirikan organisasi Budi Mulyo. Lewat jalur politik etis, kebijakan yang dibuat pemerintahan Hindia Belanda membuat pribumi indonesia bisa merasakan pendidikan yang sebelumnya hanya bisa dinikmati oleh kaum kulit putih dan anak-anak penguasa feodal. Setelah pasca kemerdekaan hingga kini tentunya pendidikan sudah di rasakan oleh segenap rakyat indonesia. Tetapi apakah benar sudah seluruh rakyat indonesia menikmati pendidikan? Dan apakah fasilitas pendidikan bagi setiap generasi sudah terpenuhi?.

Mungkin tak ada habis-habisnya bila kita mempertanyakan tentang pendidikan di indonesia dalam tulisan ini. Tetapi meskipun demikian dari banyaknya pertanyaan-pertanyaan  atas pendidikan indonesia kita masih bisa berharap kepada pemerintah dalam memajukan pendidikan indonesia. Seyogyanya kemajuan pendidikan pada suatu bangsa atau negara, tidak hanya dilihat pada aspek majunya dengan paduan alat belajar atau teknonolgi pembelajaran. Melainkan perluasan akses pendidikan bagi setiap warga negara.

Sudah bukan rahasia umum kalau masih banyak kita melihat maraknya generasi bangsa yang belum tersentuh oleh pendidikan yang disebabkan, putus sekolah, jarak tempuh ke lokasi sekolah begitu jauh ataupun karena keterbatasan fisik, Dan masih banyak lagi narasi-narasi atas kondisi pendidikan indonesia. 

Namun dibalik persoalan pendidikan yang masih harus di kerjakan pemerintah sebagai pekerjaan rumah, ada kelompok rentan yang sampai detik ini masih terdiskriminasi dalam dunia pendidikan. Sebut saja penyandang disabilitas atau lebih etis kita sebut sebagai difabel (Different Ability), orang-orang yang berbeda secara fisik. Menengok kembali perjuangan kelompok difabel dalam mendapatkan hak atau kesetaraan (Equal) dan kesamaan kesempatan dengan orang-orang normal secara fisik. Mendapat pengakuan dari UNIESCO atas kesamaan dan kesempatan dalam memperoleh aksesibilitas pada pendidikan.

Undang-undang  tentang sistem pendidikan No. 20 tahun 2003 menjamin hak pendidikan untuk penyandang disabilitas. Undang-undang tersebut ikut dikuatkan oleh peraturan pemerintah  No. 10 Tahun 2011 tentang setiap tingkatan pendidikan harus menerima peserta didik tanpa diskriminasi berdasarkan kondisi fisik dan mental. 

Berbeda dengan amanat undang-undang, dalam pelaksanaan masih banyak pemerintah daerah yang belum mengimplementasikan terkait akses pendidikan bagi difabel. Kurangnya perhatian pemerintah atas difabel tentu akan memelihara stigma di masyarakat dan pemberian pelabelan sebagai orang-orang yang tidak berguna, tidak mampu dan hanya menjadi objek amal. Tentu saja hal ini akan berujung pada masih maraknya diskriminasi terhadap difabel khususnya dalam dunia pendidikan. Pada hal sesungguhnya kelompok difabel bukan seperti apa yang di persepsikan. Mereka hanya berbeda secara fisik, tetapi kemampuan sama dengan orang-orang normal secara fisik dan hanya caranya saja berbeda dalam melakukan kegiatan.

Pendidikan inklusif bagi difabel adalah keniscayaan dan menjadi tugas dari pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan. Streothype atas difabel adalah bentuk penindasan dari orang-orang normal. Lewat kebijakan akan menghilangkan streothype dari masyarakat terhadap difabel. Selama ini pendidikan khusus bagi difabel melalui sekolah luar biasa (SLB) adalah bentuk eksklusifitas pendidikan terhadap difabel sehingga difabel tidak bisa bersentuhan dengan orang lain.  

Liberalisasi Pendidikan, bagaimana dengan Kelompok Difabel?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun