Mohon tunggu...
Hany Ferdinando
Hany Ferdinando Mohon Tunggu... Ilmuwan - Penikmat buku dan musik yang suka tentang teknologi, psikologi, pendidikan, flora dan fauna, kebudayaan, dan hubungan antar manusia.

Belajar menulis dengan membaca, belajar kritis dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Seogwipo di Korea, Kota Minim Tempat Sampah, Tapi Kok Bersih?

12 Juli 2017   21:07 Diperbarui: 13 Juli 2017   21:49 1249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Street food di Seogwipo. Sumber gambar: Seogwipo City Hall | jejuweekly.com

Oleh karena anugerah Tuhan, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi Korea Selatan, tepatnya di Pulau Jeju. Sebuah kawasan wisata yang terkenal di Korea Selatan. Menurut saya, Jeju adalah Bali-nya Korea Selatan. Dilengkapi dengan bandara internasional yang cukup padat, wisatawan mancanegara yang langsung terbang ke Pulau Jeju bisa langsung mendapatkan visa on arrival yang tidak mungkin didapatkan oleh pemegang paspor Indonesia yang berkunjung ke Seoul.

Penerbangan dari Seoul ke Jeju juga merupakan rute yang 'gemuk'. Hampir tiap jam ada penerbangan ke pulau wisata ini dengan dari berbagai macam airlines. Saya terbang dari Seoul menuju Jeju dengan Asiana Airline. Penerbangan selama 1 jam 5 menit ini bukan dilayani dengan Boeing 737, atau Airbus A320. Asiana menggunakan Boeing 767, yang semuanya kelas ekonomi dengan posisi duduk 2-4-2. Menurut saya, ini mengindikasikan bahwa rute ini merupakan rute yang gemuk.

OK, sekarang kita fokus ke judul di atas. Saya berkunjung ke Jeju untuk sebuah wisata, sekalian ikut conference, hehehehe... Sebenarnya conference sekalian berwisata. Ya... tergantung deh, dari mana lihatnya! Saya memilih tinggal di Kota Seogwipo, yang berjarak 1,5 jam dari Kota Jeju ke arah selatan. Ada bus nomor 600 yang siap membawa kita dari Bandara Jeju ke Seogwipo dengan biaya 5500 Won. Karena saya tiba di Seogwipo agak sorean, maka saya tidak terlalu memperhatikan kondisi sekeliling. Fokus saya adalah menemukan hotel dan tempat makan, lalu istirahat. Keesokan harinya, saat saya keluar menuju tempat conference, saya juga tidak terlalu memperhatikan situasi sekitar saya. Setelah conference selesai, barulah saya keluar untuk jalan-jalan.

Sambil makan jajanan yang saya beli di sebuah toko, saya melihat situasi kota dan tidak melihat sesuatu yang janggal. Pas saya hendak membuang bungkus makanan, baru saya sadar... Ternyata kota ini hampir tidak memiliki tempat sampah. Ah, yang bener!

Bener! Sambil mata jelalatan ke sana ke mari mencari tempat sampah, saya tetap memegang bungkus makanan itu. Dari kejauhan, saya melihat sebuah halte bus. Yak! Secercah harapan mulai terbit... Tapi ternyata di dekat halte bus pun tidak ada tempat sampah. Baru saat itu saya menyadari betapa sulitnya mencari tempat sampah di kota ini. Akhirnya, bungkus makanan itu saya simpan dalam tas sambil terus mencari tempat sampah di sekitar tempat penjelajahan saya.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Mengapa hal ini mengherankan saya? Walaupun kota ini 'irit' tempat sampah, kotanya relatif bersih lho! Ya..., memang di beberapa tempat saya menemukan orang sekedar meninggalkan sampahnya begitu saya (lihat foto di atas), tetapi tidak banyak. Terus, di mana mereka buang sampahnya? Itu juga yang mengherankan! Bisa jadi, mereka kalau pergi membawa kantong plastik untuk tempat sampah sementara yang akan dibuang belakangan.

Kemungkinan lain, mereka langsung buang saja karena ada petugas yang membersihkan. Tapi yang terakhir ini sepertinya tidak masuk akal karena itu berarti ada banyak petugas sampah berkeliaran melakukan tugasnya dan itu tidak kelihatan sama sekali.

Orang mengasosiasikan banyaknya tempat sampah sebagai indikator kebersihan lingkungan. Apalagi kalau tempat sampahnya dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya. Bukankah itu yang terpatri di pikiran kita (paling tidak itu yang ada di pikiran saya)? Di Oulu, Finlandia, tempat saya tinggal saat ini, orang dengan mudah menemukan tempat sampah. Bahkan, hampir tiap beberapa meter, selalu ada tempat sampah yang disediakan dan memang kotanya bersih dari sampah walaupun beberapa tempat banyak puntung rokok tersebar.

Kembali ke Kota Seogwipo, saya tidak menemukan tempat sampah sama sekali di sepanjang jalan yang diberi nama Street Food. Hmmm... ini jalan dihiasi dengan berbagai macam resto yang menyediakan hidangan khas Korea dan tidak ada tempat sampah sama sekali! Buat saya, ini sungguh menakjubkan. Tempat sampah 'irit' tetapi kotanya relatif bersih. 

Apakah tempat sampah yang dipajang di luar dianggap mengganggu pandangan mata? Mungkin! Apakah tempat yang sampah yang bertebaran akan menimbulkan polusi udara dengan bau menyengat? Bisa jadi!

Satu hal yang menjadi refleksi saya melihat kondisi ini adalah kebersihan itu bukan tanggung jawab pemerintah kota! Itu tanggung jawab kita bersama. Namun, banyak orang tidak peduli dan menyerahkan kepada pemerintah untuk mengurus hal ini. Kalau setiap kita peduli dengan kebersihan dan membuang sampah pada tempatnya, saya yakin ada penghematan anggaran yang bisa dialokasi untuk hal lain yang bermanfaat. 

Bagaimana pendapat Anda?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun