Mohon tunggu...
Herulono Murtopo
Herulono Murtopo Mohon Tunggu... Administrasi - Profesional

Sapere Aude

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menulis sebagai Ajang Refleksi, Memperkaya Makna Hidupku

25 Oktober 2016   08:51 Diperbarui: 25 Oktober 2016   14:57 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar dari http://www.azquotes.com/

Banyak peristiwa kehidupan yang sepertinya biasa-biasa saja. Jatuh cinta, jatuh di aspal, jatuh bangun... dll.. Namun demikian, memaknai peristiwa kehidupan yang biasa, dapat mengubah hal yang biasa tersebut menjadi luar biasa. Dalam arti peristiwa jatuh itu sesuatu yang sangat biasa, tapi memaknai kejatuhan dan belajar dari peristiwa yang biasa itu menjadi sesuatu yang luar biasa. Itulah pembelajaran. Konon katanya, hanya keledai bodoh yang akan jatuh di lubang yang sama. Mengapa dia bisa sedemikian bodoh? Karena tidak belajar dari pengalaman. Dan sebagaimana pembelajaran yang lain, kita membutuhkan untuk membuat pengingat atas apa yang kita pelajari; menulis.

Kalau kita belajar dengan sungguh-sungguh, dalam arti belajar yang sebenarnya, membaca saja tidaklah cukup sebenarnya. Apalagi kalau yang dibaca banyak, perlu poin-poin catatan, bukan? Demikian juga dengan poin-poin pembelajaran hidup, kadang mencatatnya, menulis, menjadikan apa yang sudah kita maknai itu lebih jelas. Saya tidak akan membahas tentang bagaimana orang semestinya belajar, tapi ber-sharing bagaimana sebuah tulisan bisa menjadi pembelajaran yang bermakna.

Apa yang kita tuliskan hari ini, mungkin suatu saat akan kita maknai secara berbeda dan umumnya cara pandang kita menjadi lebih kaya, minimal kita diingatkan bahwa kita pernah mengalami hal tersebut. Sejauh saya mengalami, pengalaman merefleksikan hidup menjadikan seseorang cukup memiliki prinsip-prinsip moral yang dipegang. Dalam arti tertentu dia menjadi lebih idealis karena refleksi bisa menjadikan seseorang belajar dari kesalahan, menajamkan pemahamannya untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, dari situlah muncul adanya sebuah kesadaran. Dan pada hemat saya, inilah makna hidup yang mendalam, yang didalami, dan jernih. Saya bisa mengatakan dari refleksi ada kedalaman hidup, kejernihan hidup, dan ketajaman hati.

Sokrates mengatakan, "Hidup yang tidak direfleksikan (diperiksa) tidaklah layak dijalani." Ini artinya hidup yang dijalani begitu saja, tanpa pernah direfleksikan tanpa pernah diperiksa dengan hati nurani tidak layak untuk dijalani karena hidup hanya sekadar menjalani takdir layaknya robot, hidup tanpa ada kesadaran yang sesungguhnya. Hidup bukan hanya sekadar operasional, tapi juga kadang butuh semacam evaluasi atas apa yang dijalani. Refleksi adalah proses belajar atas apa yang sudah dilalui sebelumnya (Reza A.A. Wattimena). Berasal dari kata reflectere yang kemudian menjadi kata kerja reflektio yang berarti 'membungkuk ke belakang'.

Kata ini kemudian dimaknai sebagai pembelajaran atas pengalaman hidup yang terus-menerus. Kata sifatnya kemudian menjadi reflektif. Orang yang reflektif menjadi lebih bijaksana, karena dia belajar dari pengalaman hidupnya dan dari kejernihan hatinya. Dengan bersikap reflektif, orang akan semakin bijak dalam hidupnya. Ia bisa belajar terus-menerus dari apa yang sudah dialaminya. Ia lalu bisa membagikan hal tersebut kepada orang lain yang membutuhkan. Banyak orang mengalami sesuatu, tetapi tidak pernah melakukan refleksi. Akibatnya, ia tetap dangkal dan dungu, walaupun sudah tua, dan banyak pengalaman.

Apakah itu kedalaman hidup? Untuk membahas hal ini sebaiknya saya berangkat dari kata yang persis berlawanan, yaitu kedangkalan hidup. Dangkal dalam hal kehidupan hanya memikirkan hal-hal yang sekarang bersifat praktis dan umumnya sejauh saya suka. Orientasinya lebih ke diri saya dan juga mungkin orang orang dekat dengan saya. Saya memiliki contoh yang sederhana dari pengalaman saya ketika saya kemarin mengatakan atau mengajak anak didik saya untuk jauh dari perilaku korup.

Salah satunya dengan tidak mencontek. Kan yang dipikirkan dalam hal mencontek adalah hasilnya yang bagus demi orang tuanya yang sudah susah-susah membiayai sekolah ingin anaknya dapat nilai bagus. Lalu salah seorang mahasiswa saya ada yang bertanya dan mungkin dengan maksud mendebat, "Pak... seandainya bapak punya anak, lalu bapak tanya nilainya kalau ternyata jelek bagaimana?"

Saya bisa menebak mereka pasti mengharapkan, kalau saya sebagai orang tua akan kecewa akan marah kalau anaknya nilai jelek. Kalau saya bisa saja mencabut biaya sekolah anak saya, dll.. Tapi jawaban saya berbeda dan membuat mereka kemudian berkata superrr.... saya menjawabnya berdasarkan pengalaman saya, "Jujur kalau saya menghadapi kasus tersebut saya akan menjawab kamu belajar atau tidak? Dalam arti lihat prosesnya, jangan hasilnya. Kalau nilainya jelek karena dia tidak belajar... kira-kira saya sebagai orang tua berhak marah ga? Sebaliknya kalau jawabannya, nilainya jelek meski sebenarnya sudah belajar maka saya akan bertanya lebih lanjut kira-kira kenapa bisa jelek... akan sangat menyedihkan bagi saya kalau nilainya bagus tapi hasil mencontek...."

Nah... di sinilah arti mendalam, memeriksa lebih lanjut dari hal yang sekadar tampak di permukaan. Mendalam mengandaikan orang berpikir lebih dan lebih lagi sampai ke sesuatu yang mendasar. Jangan menilai buku dari cover-nya. Jangan menilai sesuatu dari yang tampak juga. Belum tentu yang senyatanya demikian. 

Berikutnya adalah kejernihan hidup. Refleksi adalah tindak melihat keadaan di sini dan saat ini apa adanya, tanpa prasangka ataupun asumsi sedikit pun. Dalam arti ini, refleksi adalah ciri dari pikiran manusia, yakni pikiran yang seperti cermin. Artinya, pikiran tersebut memantulkan terus-menerus semua keadaan sebagaimana adanya: langit biru, pohon hijau, dan sebagainya. Prasangka kita cenderung menghalangi kejernihan pengalaman ini. Maka yang dimaksud dengan kejernihan di sini adalah melihat sesuatu apa adanya, melihat sesuatu demikian halnya tanpa tambahan kepentingan dan lain-lain.

Bahasa sederhananya mungkin yang dimaksud adalah objektif tapi objektif bahasa akademis yang cukup susah. Maksud saya begini: kalau memang orang sudah tahu mencontek itu salah, ya sudah lihatlah dengan kacamata yang jernih kalau mencontek itu salah. Tidak perlu ada pembenaran macam-macam bahwa ini demi hal yang baik atau tujuannya baik. Atau katakanlah orang sudah tahu korupsi itu salah ya sudah, harus dilihat secara jernih bahwa korupsi itu tindakan yang salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun