Mohon tunggu...
Hernawan Khotibul Umam
Hernawan Khotibul Umam Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Alumni IKIP PGRI Semarang angkatan 2002. Sekarang mengajar di SMA Negeri 1 Batang Kawa, Lamandau, Kalimantan Tengah. Penulis Buku "Dear My Friends, Good Morning" Pergulatan Guru di Pedalaman Kalimantan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Yuppies; Menghadirkan Suasana Menyenangkan dalam Pembelajaran Bahasa Inggris

3 Oktober 2010   14:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:45 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

<!-- @page { size: 21cm 29.7cm; margin: 2cm } P { margin-bottom: 0.21cm } -->

Kenyataan di lapangan untuk menerapkan pembelajaran yang aktif, kreatif dan menarik, atau lazim disingkat PAKEM, terdapat permasalahan yang bisa disebut sebagai kesulitan. Permasalahan tersebut antara lain pertama, standardisasi sarana/prasarana sekolah yang belum tercapai. Khusus mengenai hal ini banyak dikeluhkan oleh masyarakat dan juga kalangan pendidik sendiri. Kedua, distribusi tenaga pengajar yang tidak merata. Sebagai contoh, di tempat penulis bertugas. Jika di pusat kota tenaga pengajar sudah sesuai dengan formasi dan kualifikasi. Sebaliknya, sekolah di daerah yang terpencil masih kekurangan tenaga pengajar atau formasi yang ada belum sesuai kualifikasi. Maka tidak heran apabila ada ungkapan “jangankan ber-PAKEM, masih beruntung ada guru yang mau mengajar”.

Selain kedua permasalahan itu, hal yang ditemukan di lapangan yakni kualitas tenaga pengajar yang belum sesuai harapan. Imbasnya, pembelajaran berjalan kering minim kreatifitas metode atau media.

Mengenai sarana/prasarana yang belum mencapai standar minimal, tentu tidak mutlak tanggung jawab pemerintah. Bukan hal yang harus dikeluhkan mengingat jumlah anggaran yang tidak sebanding dengan jumlah sekolah. Namun tugas seluruh unsur pemangku kebijakan untuk mengefisienkan anggaran yang ada untuk mempercepat standardisasi sarana/prasarana sekolah.

Ranah selanjutnya mengenai distribusi tenaga pengajar atau guru. Mentalitas yang beranggapan bahwa bertugas di daerah perkotaan akan membuat kualitas pembelajaran menjadi baik. Akumulasi akibat dari guru yang berkeinginan dimutasikan dari daerah terpencil, menjadikan kurang bahkan kosongnya formasi guru di sekolah.

Apabila hal demikian menjadi fenomena umum, maka akan merambah pada hilangnya kemauan untuk maju dan beprestasi. Kalaupun menjalankan tugas semata karena tuntutan dan terkesan asal-asalan. Pada gilirannya, tataran yang paling memprihatinkan akan menyerah dengan keadaan yang syarat kesulitan dan masalah.

Adalah Paul G. Stoltz yang telah menyatakan bahwa kecerdasan adversitas sangat diperlukan dalam kehidupan. Seseorang yang memiliki kecerdasan adversitas tidak mudah menyerah terhadap kesulitan yang dihadapi. Justru akan berusaha mencari cara dan melakukan tindakan untuk mengatasi kesulitan atau masalah.

Selaras dengan Paul G. Stoltz, Dani Ronnie M., menuliskan bahwa semua guru wajib memiliki kecerdasan adversitas sebagai kekuatan untuk menghadapi dan mengatasi masalah atau kesulitan. Apalagi jika berkaca pada kenyataan yang ada di lapangan, betapa beragamnya permasalahan dengan dimensi kesulitan. Menjadi tantangan sekaligus peluang bagi guru untuk selalu meningkatkan kualitas dan kompetensi.

Manifestasi dari kecerdasan adversitas seorang guru dalam rangka menghadapi dan mengatasi kesulitan, salah satunya dengan mengevaluasi dan memperbaiki metode pengajaran. Sandy MacGregor dalam Made Aripta Wibawa (2005: 208) mengemukakan metode pengajaran yang berbasis Visualisasi, Auditori dan Kinestetik (VAK).

Metode visualisasi adalah pengajaran dimana guru memperlihatkan kepada anak didik yang berupa gambar, warna, tanda, ilustrasi, diagram, angka, grafik, atau transparansi. Metode kedua yang dikemukakan MacGregor adalah auditori. Pembelajaran bersifat mendengar, anak didik diarahkan menyerap informasi melalui pendengarannya. Sebagai contoh, musik klasik, percakapan, diskusi, atau direct lesson. Adapun metode terakhir yaitu kinestetik, yang bisa dikatakan cara belajar terbaik dengan melakukan dan mengalaminya. Aktifitas yang bisa diambil contoh antara lain bermain dan membuat prakarya (menggambar, bernyanyi, bercerita dan main drama).

Fakta yang sering dialami guru manakala menghadapi anak didik dengan bakat yang berbeda. Artinya, sebagian anak didik berbakat dengan metode visualisasi, sebagian yang lain sangat tertarik dengan metode auditori. Sementara ada anak didik yang tertarik hanya dengan metode kinestetik. Situasi yang paling melegakan bagi guru dimana anak didik berbakat dengan ketiga metode MacGergor tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun