Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Wibawa Hukum Terancam

29 April 2013   13:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:25 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana jadinya jika masyarakat tidak percaya lagi dengan penegakan hukum di Indonesia? Jawaban yang sederhana, masyarakat akan melakukan tindakan sendiri atas pelanggaran hukum yang terjadi di sekitarnya. Singkatnya: main hakin sendiri dengan menggunakan tindak kekerasan. Itulah gejala yang saat ini mulai marak terjadi yang dipotret oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Hasil survei LSI yang dipublikasikan pada 7 April 2013 lalu, menunjukan 30,6 persen responden setuju menghukum sendiri pelaku kejahatan, lantaran tidak percaya proses hukum yang adil. Meskipun demikian 46,3 persen responden masih menyetujui pelaku kejahatan di proses hukum secara adil. Survei yang dilakukan LSI mengambil rentang waktu 1-4 April 2013. Survei menggunakan metode multistage random sampling dengan 1.200 responden dan margin of error sebesar +/- 2,9 persen. Survei dilaksanakan di 33 provinsi di Indonesia. Survei juga dilengkapi dengan penelitian kualitatif dengan metode analisis media, focus group discussion, dan in depth interview.

Inilah masa ketidakpuasan publik kepada penegakan hukum berada pada titik terendah. Dalam survei LSI menampilkan sebanyak 56 persen responden tidak puas dengan penegakan hukum. Penyebaranya merata semua segmen. Tapi, mereka yang tinggal di desa tingkat ketidakpuasan kepada penegak hukum jauh lebih besar dibanding yang tinggal di kota. Publik yang tinggal di desa tingkat ketidakpuasan pada penegak hukum mencapai 61,1 peren, sementara di kota mencapai 48,6 persen.Tak hanya itu, publik yang berpendidikan rendah (SD ke bawah) yang memiliki ketidakpuasan mencapai 56,1 persen. Sementara yang berpendidikan tinggi (tamat kuliah) sebanyak 50 persen responden menyatakan tidak puas.

Ketidakpuasan tersebut dipicu maraknya kasus-kasus penegakan hukum yang melibatkan kelas menengah ke atas mendapatkan prilaku istimewa ketimbang kasus hukum yang pelakunya rakyat kebanyakan. Secara telanjang publik melihat terjadinya ketidakadilan dan paradoks antara kasus Angelina Sondakh versus Nenek Ijah. Perlindungan aparatur penegak hukum dalam kasus Susno versus pencuri sandal. Penegakan hukum lebih permisif jika pelakunya datang dari kelas menengah ke atas, dan sebaliknya lebih agresif kepada rakyat kebanyakan. Akibatnya, justru masyarakat di pedesaan yang berpendidikan rendah menunjukan ketidakpuasan tertinggi atas penegakan hukum.

Angka ketidakpuasan publik yang dilansir oleh LSI relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil survei Indonesia Network Elections Survey (INES). Dalam waktu yang tidak terpaut jauh, survei INES yang dilakukan pada 18 – 30 Maret 2013, menunjukan 72,3 persen responden tidak puas terhadap kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi oleh seperti KPK, Kejaksaan, Polisi dan Kehakiman. Ketidakpuasan ini didasari lemahnya efek jera dalam penegakan hukum kasus korupsi. Ketidakpuasan dalam pemberantasan korupsi, ditandai putusan hukum sangat ringan terhadap pelaku korupsi. Ditambah ternyata kenaikan gaji pegawai negeri telah beberapa kali dilakukan Pemerintah, tidak membuat korupsi menurun.

Hal senada juga dapat dilihat dari hasil survei dari Publica Research and Consulting (PRC). Dari 1.300 responden, 49,7 persen menyatakan bahwa pemerintah belum serius dalam menangani masalah politik, hukum dan HAM. Jawaban ini mendominasi dari sejumlah persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Masalah tingginya harga sembako (28 persen), kemiskinan (18,1 persen) atau biaya pendidikan yang mahal (15,4 persen).

Hasil survei dari ketiga lembaga di atas menunjukan persoalan penegakan hukum menempati posisi pertama yang banyak menjadi sorotan publik saat ini. Yang sepatutnya menjadi perhatian (lebih) dari Presiden sebagai panglima penegakan hukum di Indonesia. Menanggapi hasil riset tersebut, pihak Istana melalui juru bicara Julian Aldrin Pasha mengatakan selama ini Presiden SBY berkomitmen mengedepankan penegakan hukum di Indonesia. Sementara kebanyakan isu di Indonesia tidak terlepas dari aspek hukum. "No single issue, jadi kalau dilihat dari bagaimana proses penegakan hukum sesungguhnya itu berjalan. Tinggal kita lihat dari kasus apa yang mana yang dimaksud. Bahwa kalau dalam hal upaya pemerintah untuk antisipasi keadaan konflik sosial dan horizontal kita sudah tahu sedapat mungkin itu ditangani. Ada inpres awal tahun ini nomor 2 tahun 2013 yang intinya mengenai penanganan konflik sosial, itu dari sisi antisipasi," jelas Julian di Kantor Presiden Jakarta, (8/4/ 2013).

Sepatutnya pihak Istana tidak melawan opini publik yang dipotret oleh lembaga survei dengan jawaban defensif dan normatif. Opini masyarakat yang menyatakan ketidakpuasan terhadap penegakan hukum bukan beranjak dari kesesuaian text hukum dengan penanganan kasus per kasus. Tapi ditampakan dari banyaknya peristiwa hukum yang dilihat, dirasakan dan dialami secara nyata. Rakyat menuntut keadilan substantif bukan prosedural hukum yang selalu dikedepankan oleh para pejabat publik dalam melakukan pembelaan.

Menurut saya, angka 30,6 persen masyarakat yang setuju main hakim sendiri dan 72,3 persen responden tidak puas terhadap kinerja penegakan hukum, menunjukan bahwa penegakan hukum sedang berada di tepi jurang. Pihak Istana seharusnya cepat melakukan trobosan dan menyatakan negara dalam keadaan “darurat”. Demi penyelamatan kehancuran negara, aparatur negara harus melakukan tindakan tegas, tidak ragu dan berani. Dalam situasi seperti ini, kita membutuhkan sosok negarawan bukan politisi.

Sebagai perbandingan, kita bisa belajar dari Hongkong di saat institusi hukum sudah begitu akut dikuasai oleh para mafia hukum sekitar tahun 1973-1974. Hampir semua jaksa dan polisi dipecat tanpa kecuali. Gubernur Sir Murray Mac Lehose adalah sosok pemimpin yang berani dan tegas. Setelah ditunjuk sebagai Gubernur, dia mencanangkan dua tahun masa jabatannya bertempur dengan korupsi ! dengan melakukan tindakan nyata bukan sekedar konsep pidato.

Sumber:

http://nasional.kompas.com/read/2013/04/07/14421824/LSI.Wibawa.Hukum.Era.SBY.Berada.di.Titik.Nadir

http://nasional.kompas.com/read/2013/03/21/05493950/Survei.Pemerintah.Belum.Serius.Tangani.Masalah.Korupsi

http://nasional.sindonews.com/read/2013/04/08/13/735755/istana-tolak-mentah-mentah-hasil-survei-lsi-ines

http://news.detik.com/read/2013/04/08/170134/2214639/10/istana-tanggapi-survei-lsi-soal-menurunnya-kepercayaan-publik-akan-hukum

http://birokrasi.kompasiana.com/2012/11/12/cara-hongkong-memberantas-korupsi-dan-usul-mahmud-md-reposisi-pejabat-penegak-hukum-secara-total-507704.html

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun