Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan featured

Tafsir "Kegentingan Memaksa" dalam Penerbitan Perppu

12 Juli 2017   13:35 Diperbarui: 4 November 2019   11:25 7434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi foto: Antara/Pool/YU via tribunnews.com

12 Juli 2017, Menko Polhukam Wiranto mengumumkan pemberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disingkat Perpu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat (Kompas).

Peristiwa ini terkait dengan pengumuman Wiranto pada 8 Mei 2017 yang lalu perihal pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Menurut Wiranto HTI terindikasi kuat telah bertentangan dengan tujuan, asas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana diatur dalam UU No. 17/2013.

Jalur pengadilan akan ditempuh oleh pemerintah untuk membubarkan HTI dengan menggunakan UU No. 17/2013. Namun ketentuan dalam undang-undang tersebut belum cukup mengakomodir untuk membubarkan HTI. Maka dipandang perlu untuk mengubah (baca: menambah) beberapa pasal dalam UU No.17/2013 itu melalui penerbitan Perppu No. 2/2017.

Tulisan berikut ini tidak secara khusus akan mengupas tentang Perppu No. 2/2017. Pun tidak akan menyinggung latar atau motif politik di baliknya. Tulisan ini akan mengulas tentang norma yang berlaku pada semua penerbitan Perppu, yakni tentang frasa "kegentingan yang memaksa".

Berdasarkan riset yang saya lakukan, sudah 171 Perppu diterbitkan sejak Presiden Soekarno sampai Presiden Joko Widodo. Dari tahun 1946 sampai tahun 2017. Dari Perppu 1/1946 sampai PERPPU 2/2017.

Semua Presiden Indonesia yang pernah membuat Perppu menggunakan Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, berbunyi: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang."

Pasal 22 UUD 1945 tidak pernah berubah sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai saat ini. Meskipun UUD 1945 sudah empat kali diubah (amandemen) sejak tahun 1999 sampai 2001, Pasal 22 tidak diganggu gugat, tak diutak atik. Begitulah bunyi dan teks kalimatnya sejak 18 Agustus 1945.

Namun, dalam penerapannya setiap Presiden punya tafsir aneka rupa saat menetapkan Perppu. Khususnya menafsirkan frasa "kegentingan yang memaksa". Tidak ada pedoman baku untuk dijadikan tafsir tunggal atas frasa tersebut.

Hingga saat ini paling tidak terdapat 3 (tiga) pendapat atas frasa "kegentingan yang memaksa", yaitu : (1) Penjelasan UUD 1945; (2) Pertimbangan atau Pendapat Mahkamah Konstitusi dan (3) Pendapat para ahli hukum.

Dalam kesempatan kali ini, saya akan mengulas 2 (dua) hal saja: Penjelasan UUD 1945 dan Pendapat Mahkamah Konstitusi. Pendapat para ahli hukum (tata negara) akan saya sampaikan pada kesempatan lain.

PENJELASAN UUD 1945
Secara ringkas penjelasan pasal 22 UUD 1945 berbunyi " Pasal ini mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat...".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun