Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mempertanyakan Kewenangan DPRD DKI Jakarta

27 Februari 2015   18:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:25 1067
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14250369271178054589

[caption id="attachment_400002" align="aligncenter" width="624" caption="Suasana paripurna pengajuan angket DPRD DKI kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jumat (27/2/2015). (Kompas.com/Kurnia Sari Aziza)"][/caption]

Perseteruan antara Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama (Ahok) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, menjadi salah satu topik hangat minggu ini. Bermula dari pembahasan rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hingga penggunaan hak angket oleh anggota DPRD. Tulisan ini lebih mengulas pokok masalah seputar pembahasan APBD. Khususnya kisah “dana siluman”.

“Dana siluman” yang dimaksud Ahok adalah alokasi anggaran usulan anggota DPRD yang tidak pernah ada sebelumnya dalam rancangan APBD. Usulan anggota DPRD tersebut dilakukan dengan cara menitipkan “proyek” ke SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah).Salah satu contoh “dana siluman” itu berupa proyek pengadaan Uninterruptible Power Supply (UPS) SMKN 35 senilai Rp 5.832.750.000. Menurut Ahok adanya “dana siluman” sudah menjadi langganan APBD dan terjadi hampir setiap tahun (sumber).

Tulisan ini akan berujung pada hipotesis bahwa DPRD tidak berwenang memberi usulan alokasi anggaran dalam rincian kegiatan rancangan APBD. Beranjak dari hipotesis itu, alokasi anggaran yang dimaksud tidak perduli besar atau kecil. Tidak perduli Rp12,1 triliun atau Rp 1 sekalipun. Tidak perduli kepala daerah setuju atau tidak setuju atas usulan itu. Masuk dalam prioritas program atau tidak. Sebab, apa yang terjadi saat ini di pemerintahan daerah DKI Jakarta, terkesan yang dipermasalahkan bukanlah menyangkut kewenangan tetapi lebih menjurus pada hal-hal yang bersifat teknis, besar kecilnya anggaran, dan ada tidaknya persetujuan Gubernur. Seperti yang diungkap oleh Ahok, "Sebetulnya saya dan DPRD nggak ada masalah kok selama saya mau terima Rp 12,1 triliun dimasukkan ke dalam APBD. Nggak ada yang mau ribut sama saya pasti. Cuma hati nurani saya nggak enak," kata Ahok (sumber). Dalam kaitan dengan pernyataan Ahok tersebut, ingin saya tegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh DPRD itu bukan soal hati nurani dan bukan besar-kecilnya anggaran tapi menyangkut masalah kewenangan. Tepatnya masalah hukum. Andaipun hal itu disetujui oleh Gubernur seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, artinya Gubernur sudah ikut serta dalam tindakan pelanggaran kewenangan.

Secara umum topik kewenangan DPRD itu sudah saya tulis di artikel DPRD Tidak Punya Hak Budgeting. Tulisan kali ini akan lebih khusus menjawab pertanyaan kritis “mengapa DPRD tidak punya wewenang untuk mengusulkan alokasi anggaran dalam rincian kegiatan rancangan APBD?” Jawabannya tidak bisa hanya sebatas pernyataan normatif hukum bahwa sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013. Ada alasan-alasan rasional yang lain untuk menjadi alas pembenarnya. Alasan-alasan yang sekaligus untuk menjawab pertanyaansampai di mana batasan kewenangan DPRD dalam melakukan pembahasan dan memberi persetujuan atas APBD yang diajukan oleh kepala daerah. Sebagaimana yang tertera dalam Pasal 317 ayat (1) huruf b UU MD3.

Dengan menggunakan senjata kewenangan dalam norma hukum di atas, diibaratkan DPRD memiliki kewenangan yang absolut dalam menerjemahkan fungsi anggaran. Ikut terlibat dalam menjalankan penganggaran (menentukan rencana anggaran) sekaligus memberikan persetujuan. Kekuasaan yang absolut akan cenderung membuka peluang korupsi. Melakukan pencurian uang rakyat melalui kewenangan yang terkesan sesuai dengan aturan hukum. Transaksi-transaksi keuangan dalam bentuk usulan proyek dalam penganggaran di APBD sama artinya dengan tindak kejahatan memanipulasi anggaran. Bagaimana mungkin suatu badan kekuasan seperti DPRD melakukan penganggaran, usulan itu kemudian harus ditolak oleh badan yang sama. Lebih jauh, bagaimana usulan anggaran tersebut dapat diawasi pelaksaanannya oleh badan yang sama.

Apa yang terjadi pada masa lampau ketika DPR lewat Badan Anggaran dapat melakukan pembahasan terperinci sampai dengan unit kegiatan dan jenis belanja (satuan tiga) menjadi pembelajaran berharga. Ketika anggota Banggar DPR seperti Nazarrudin, Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati dan Zulkarnen Djabar tersandung perkara korupsi. Hal ini disebabkan adanya multifungsi kewenangan DPR yang begitu luas dalam pembahasan anggaran. Seperti yang dikemukakan mantan pimpinan KPK Busyro Muqqodas bahwa pembahasan anggaran di DPR sampai satuan tiga membuka peluang konflik kepentingan antara anggota DPR dan mata anggaran yang disusun.

Pada dasarnya DPRD tidak dapat membahas APBD hingga terperinci hingga satuan tiga. Ada dua alasan keterbatasan: keterbatasan waktu (time constrain) dan keterbatasan kompetensi (competency constrain). Pembahasan APBD terperinci hingga satuan tiga menghabiskan waktu yang cukup panjang. Tidak jarang antara pemerintah dan DPRD berdebat tentang angka-angka yang tertera dalam kegiatan dan jenis belanja. Perdebatan yang panjang ini berujung molornya waktu pelaksanaan APBD. Konsekuensinya, pelaksanaan anggaran yang bertujuan untuk sebesar­-besarnya kemakmuran rakyat terabaikan (vide Pasal 23 ayat (1) UUD 1945).

Secara umum kompetensi anggota DPRD secara teknis di bawah kemampuan aparatur pemerintah daerah sebagai eksekutif. Anggota DPRD yang dipilih lewat pemilu lebih memperhatikan aspek politik (politisi) ketimbang menjadi teknokrat. Sebaliknya aparatur pemerintahan yang direkrut melalui merit system sangat memperhatikan kompetensi teknokratis. Sehingga penguasan hal-hal yang bersifat teknis dalam bidang kerja masing-masing, kompetensi anggota DPRD tidak mencukupi. Analoginya, berdebat tentang bagaimana melakukan otopsi mayat antara dokter dengan montir motor. Keterbatasan kompetensi ini berakibat pembahasan teknis akan memakan waktu yang panjang.

Dengan masuk dalam pembahasan mikroekonomi, anggota DPR secara terbalik sudah mengabaikan (paling tidak adanya keterbatasan waktu) untuk membahas hal-hal yang bersifat makro strategis, kebijakan umum dan prioritas anggaran. Anggota DPRD yang pada dasarnya adalah politisi, seharusnya lebih menekankan pada analisis politik anggaran. Politik anggaran yang diturunkan dalam fungsi stabilisasi, alokasi, dan distribusi.

Salah satu ilustrasi di DKI Jakarta. Harus dipertanyakan bagaimana pembangunan lebih diprioritaskan di Jakarta Selatan sementara terjadi ketimbangan pembangunan di Kepulauan Seribu. Apa kontribusi output-nya dari prioritas pembangunan untuk membangun pasar-pasar tradisional dalam konteks pertumbuhan ekonomi. Bagaimana anggaran dapat menjawab masalah ledakan penduduk akibat urbanisasi yang tidak dapat dibendung.

Atau yang hal-hal yang bersifat ideologis. Karena anggaran tidak saja dimaknai sebagai instrumen politik tetapi juga bermuatan instrumen ideologis. Hal ini mengingat perancang UUD 1945 dalam rapat BPUPKI saat mengulas perihal pembahasan APBN oleh DPR seperti Soepomo dan Hatta lebih menekankan aspek ideologis. Membahas sendi-sendi dasar perekonomian. Termasuk arsitektur anggaran secara keseluruhan, misalnya penentuan tahun fiskal. Belanja anggaran berupa penyediaan jaminan kesehatan bagi masyarakat yang kurang mampu, tidaklah dibaca sebatas teknis namun memiliki muatan ideologis didalamnya. Di sinilah peran anggota DPRD dalam membahas rancangan APBD. Bukan berkutat pada angka-angka dalam alokasi setiap kegiatan. Karena pada prakteknya, jenis kegiatan bisa berubah setiap waktu dalam merespon situasi yang berkembang. Sementara politik anggaran berupa kebijakan dan arah pembangunan sudah bersifat statis.

Dalam hubungan antar dua cabang kekuasaan, adanya campur tangan DPRD dengan memberi usulan atas mata anggaran tertentu, jelas menabrak kewenangan yang seharusnya ada pada pemerintah daerah. Di mana usulan dari DPRD tersebut harus mendapat persetujuan dari Kepala Daerah. Bukankah kewenangan ini terbalik? Kewenangan anggaran berupa penganggaran (menyusun rencana anggaran), mengusulkan, melaksanakan dan melaporkan sepenuhnya berada pada pihak eksekutif. Fungsi anggaran DPRD hanya sebatas memberi persetujuan. Fungsi pengawasan yang melekat pada DPRD ditujukan juga dengan melakukan pengawasan atas pelaksanaan APBD. Fungsi pengawasan ini dapat menjelma menjadi tiga hak (interpelasi, angket dan menyatakan pendapat) atas pelaksanaan APBD.

Kesimpulannya, “dana siluman” yang dikatakan Ahok di atas adalah bentuk dari pelanggaran DPRD atas kewenangan yang dimilikinya. Demikian juga adanya “dana siluman” pada tahun-tahun sebelumnya yang secara diam-diam disetujui Gubernur, dapat dianggap Gubernur ikutserta dalam tindakan pelanggaran kewenangan.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun