Mohon tunggu...
Hendi Setiyanto
Hendi Setiyanto Mohon Tunggu... Freelancer -

Menulis itu mencerahkan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mengenal Hari Pasarannya Orang Jawa yang Masih Eksis hingga Kini

9 Januari 2017   22:29 Diperbarui: 12 Januari 2017   00:21 2115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivitas tawar menawar terdengar bersahut-sahutan antara penjual dengan pembeli. Embikan kambing-kambing berbagai ukuran, warna serta jenis kelamin seakan menambah riuhnya suasana pasar pagi itu. Kambing kecil, hingga besar-pada lehernya telah diberi dadung (semacam tali) untuk mengikat dan memudahkan para penjual maupun pembeli saat menariknya.

Saya berdiri mematung menyaksikan dengan saksama atmosfer pagi ini yang bagi saya pribadi merupakan sebuah hal yang sangat unik. Sinaran matahari dari arah timur semakin terik saja dan membuat mata semakin silau, saya mencari posisi yang lebih teduh-menyemut di antara orang-orang. Awalnya merasa canggung serta sedikit malu saat mengarahkan kamera memotret objek yang dirasa menarik. Tatapan-tatapan aneh serta seakan heran melihat saya yang masih muda ini mau-maunya ke tempat ini, mungkin itu yang mereka pikirkan. Namun semakin lama saya semakin asyik saja saat berada di sini.

Saya terus masuk ke dalam menembus puluhan ekor kambing serta puluhan manusia yang tumplek pada satu tempat.

Langkah kaki terus masuk jauh ke dalam pasar. Sebentar saja kaki ini sudah berada pada bagian becek serta basah yang merupakan area penjualan ikan segar. Beberapa baskom-baskom besar berwarna hitam serta berisi air dan juga berbagai macam jenis ikan terlihat di depan mata. Para penjual seakan terus berlomba menawarkan dagangan mereka masing-masing dan berharap dapat menarik pembeli untuk sekedar mampir-melihat dan kalau berjodoh mau membeli barang dagangan mereka.

Lagi-lagi area ini juga di kepung oleh banyaknya lapak-lapak para penjual tembakau yang mempunyai khas tiap lapaknya terdiri atas bangku-bangku kecil tempat pembeli mencoba berbagai macam tembakau sambil berbincang-bincang dengan sesama perokok. Saya tidak merokok dan sebenarnya sangat terganggu dengan asap rokok. Untuk itu saya berusaha tidak terlalu dekat saat memfoto aktivitas mereka di sini.

Pandangan seketika teralihkan saat melihat banyak orang berkerumun pada sudut pasar ini. Saya pun makin penasaran dan berusaha mendekat. Tebakan saya saat itu adalah, biasanya ramai saat ada tukang obat tradisional yang sedang menggelar barang dagangannya lengkap dengan cerita-cerita ajaibnya yang membuat orang-orang betah berlama-lama untuk berkerumun di depannya. Tebakan saya pun benar tapi lebih tepatnya penjual obat atau ramuan untuk merontokkan karang gigi serta mengobati sakit gigi.

Rambut keriting gondrong, kemeja warna pink yang mencolok serta dimasukkan ke dalam celana cargo motif militer yang dia pakai, serta menggunakan sepatu pantovel. Sungguh suatu tampilan yang mencolok serta rapi bagi saya.

Sosok penjual obat sakit gigi dan pembersih karang gigi yang nyentrik, inilah salah satu keunikan pasar tradisional (Dokumentasi Pribadi)
Sosok penjual obat sakit gigi dan pembersih karang gigi yang nyentrik, inilah salah satu keunikan pasar tradisional (Dokumentasi Pribadi)
Pada beberapa bagian saat bercuap-cuap sang bapak tadi mempraktikkan secara langsung kepada orang-orang yang berkerumun untuk membuktikan kemanjuran obat yang dijualnya. Beberapa orang dengan sukarela membiarkan gigi mereka dioles-oles serta dicungkil karang giginya menggunakan peralatan khas dokter gigi. Ajaib, beberapa detik setelah dioles obat tadi, karang gigi yang mungkin sudah berpuluh-puluh tahun menempel tersebut rontok seketika. Saya nyengir melihat kejadian tadi, antara jijik namun juga sedikit takjub. Sang pembeli pun tidak ragu-ragu saat mempraktikkan langsung tanpa menggunakan sarung tangan maupun masker, mungkin sudah terbiasa hehehe.

Semakin lama, satu persatu orang-orang tertarik membeli. Lembar demi lembar rupiah kini berpindah tangan seiring dengan renggangnya kerumunan. Saya pun ikut membubarkan diri tanpa perlu diberi aba-aba.

Perut semakin lapar karena jam sarapan sudah lewat. Saya mencari lokasi penjual jamu yang sangat legendaris. Saya masih ingat betul saat masih kecil dulu sering minum jamu dengan gelas berukuran kecil dan yang dipilih pastinya jamu beras kencur, sementara itu pada waktu itu, ibu sedang sibuk memilih sayuran saat berbelanja. Kini saya masih menemukan penjual jamu legendaris tersebut. Bu Gio nama penjual jamu tadi. Beliau sebenarnya berasal dari daerah Solo namun sudah lama menetap di Banjarnegara. Menurut saya beliau dari dulu hingga sekarang orangnya begitu-begitu saja alias tetap awet muda.

“Bu, tumbas jamune nggih (Bu, saya beli jamunya),” sapa saya saat itu pada Bu Gio.
“Badhe deunjuk teng mriki nopo dibungkus mawon, Mas? (Mau diminum di sini atau dibungkus, Mas?)"
“Debungkus mawon, Bu. Kalih nggih, sebungkuse pinten nggih? (Dibungkus saja, Bu. Dua ya, sebungkusnya berapa?)"
“Sebungkuse kalih ewu mawon, Mas. (Sebungkus dua ribu saja, Mas.)"
“Lha nek niki sing teng botol, pintenan Bu? (Lha kalau yang botol berapaan Bu?)
“Sing teng botol regine nem ewu tapi nggo njenengan gangsal ewu mawon. (Yang di botol harganya enam ribu. Tapi untuk Mas lima ribu saja.)
“Oh ngono, kulo tumbas sing teng botol mawon lah Bu. (Oh begitu, saya beli yang botol saja kalau begitu Bu.)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun