Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membicarakan Hidup atau Mati

22 Juli 2017   14:44 Diperbarui: 23 Juli 2017   00:01 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pahamkah kita mengapa ada kematian? Mari sejenak membayangkan makhluk hidup dan kehidupan tanpa kematian. Coba sisakan waktu lima menit saja, untuk merenungkan jika kata mati tidak pernah ada dalam kamus hidup kita. Usia kita menjadi begitu panjang, bahkan deretan bilangan angka-angka tak cukup lagi dibuat sebagai hitungan. 

Sanggupkah raga kita menanggung siklus hidup sedemikian lama? Jika kita tak akan mati, seperti apakah wajah kita di usia ribuan tahun, berapa banyak kerutan di wajah kita, masih sanggupkah tulang-tulang kita menopang gerak tubuh, apakah seluruh panca indera kita masih cukup peka untuk merasakan, membaui maupun melihat? 

Dalam konteks ini kita tidak sedang membantah Tuhan Yang Maha Abadi atau menghapus takdir bahwa setiap yang hidup pasti mati. Tetapi, kita hanya mencoba memikirkan kondisi manusia tanpa kematian. Sanggupkah? 

Sudah menjadi ketetapan Tuhan, bahwa apa yang ada di dunia ini pasti berpasangan, lelaki perempuan, siang malam, bumi langit, begitupun dengan hidup dan mati pasti berpasangan. Masing-masing manusia tentu meyakini bahwa yang Maha Kekal hanyalah Tuhan,  karena itu jika manusia hidup maka manusia juga pasti mati.

Hidup dan mati memiliki makna berbeda di tiap-tiap pikiran kita sebagai manusia, tergantung dengan latar belakang apa kita memaknainya. Jika makna hidup kemungkinan besar sangat dipengaruhi oleh kepentingan atau untuk apa seseorang hidup didunia, maka makna kematian bagi kebanyakan kita lebih dipahami sebagai sebuah akhir dari segala peran hidup di dunia ini. 

Lalu, manakah yang harus kita pahami sebaik-baiknya, hidup ataukah mati? Bisa jadi kita adalah manusia yang memiliki semangat besar dan menggebu-gebu ketika kita membicarakan maupun memikirkan kehidupan. Bahwa hidup itu indah, bahagia, luar biasa, jika kita banyak bersyukur. Bahwa hidup itu adalah ibarat tempat kita memuaskan segala ingin, dahaga, cita-cita bahkan nafsu-nafsu kita. Pokoknya, hidup adalah segalanya. 

Bagaimana dengan kematian? Sedikit dari kita yang sanggup membicarakan bahkan memikirkannya dengan kesadaran penuh,  bahwa kita hidup dan akan mengalami kematian. Tak bisa dipungkiri, kesedihan, kehilangan, stres bahkan depresi kerap mampir di jiwa kita ketika mendapati orang terdekat kita bahkan idola kita meninggal dunia, kita seperti lupa bahwa kita pasti akan mengalami hal yang sama. Budayawan terkenal, Candra Malik berkata "Kematian datang tidak tiba-tiba ia telah bersama-sama kita sejak kita dilahirkan", kematian begitu dekat dengan kita dan akan terus bersama kita selagi hidup, maka jangan kaget jika satu saat ia datang menghampiri kita. 

Kita sering mendengar banyak orang berkata, 'Hidup adalah pilihan', benar adanya karena sebagai manusia kita bebas menetapkan dengan cara bagaimana kita akan menjalani kehidupan. Tapi bagaimana dengan kematian? Apakah sebagai manusia bebas kita juga punya hak menentukan kematian kita, yang meliputi waktu tempat dan cara kita menjemputnya? Tentu Tidak. 

Kematian tak usah dijemput, tak usah direncanakan, ia pasti datang tanpa diminta. Karena kematian adalah takdir yang sudah digariskan, tanpa bisa diubah. Jika jodoh dan rejeki mesti diusahakan, maka kita tak perlu repot-repot ibadah berdoa khusus meminta waktu kematian sesuai keinginan kita. 

Jika kita meyakini bahwa hidup ini patut diperjuangkan, maka berjuanglah sekuatnya, sesanggupnya, kerahkan seluruh potensi kita sebagai manusia, pertaruhkan apa yang pantas kita pertaruhkan dalam hidup, karena menyerah itu adalah meminta kematian dalam bentuk yang lain. Berjuanglah untuk hidup, bertarunglah seumpama kita sedang membuat kematian enggan mendekati kita, padahal kita sedang membangun kesadaran bahwa kita tidak akan mengambil bagian yang bukan hak kita. Hiduplah dengan kesadaran, bahwa Yang Maha Kuasa telah menentukan akhir terbaik dari apa yang telah kita jalani. 

Kita berhak sepenuhnya atas seluruh hidup kita, atas apa yang terjadi dan harus kita lakukan. Kita berkuasa sepenuhnya atas pikiran, hati, ide-ide kita, atas setiap inci lapisan kulit kita, tiap liter darah yang mengalir dalam tubuh kita, tiap kata yang kita ucapkan, tiap tingkah kita, kitalah pemilik semua itu, bukan orang lain juga bukan keadaan-keadaan yang menimpa kita. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun