Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dia Titipan Tuhan, Kendalikan Ambisimu

24 Juli 2017   07:41 Diperbarui: 24 Juli 2017   13:52 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari Anak Nasional yang jatuh pada 23 Juli kemarin, sebetulnya menjadi momen penting bagi kita semua, untuk merenungkan seberapa pedulikah kita pada anak-anak, baik itu anak kandung kita sendiri, saudara, anak didik maupun anak-anak jalanan. Berbagai kekerasan yang menimpa anak-anak baik fisik maupun psikis kerap menjadi perhatian kita semua, namun apakah segala perhatian, keprihatinan dan kepedulian kita terhadap anak-anak itu benar-benar membantu mereka? 

Ada hal penting yang sepertinya luput dari kesadaran dan pemahaman kita dalam mendidik anak-anak. Terkadang, kita tidak peduli pada usia dan kemampuan anak, bahkan kita kadang keliru menafsirkan tahapan dan pertumbuhan seorang anak.

Tak ada yang bisa menafikan, bahwa orang tua merasa memegang kendali penuh atas nasib, pendidikan serta masa depan anak-anaknya. Hal ini terbukti dari berbangganya orang tua terhadap prestasi-prestasi yang berhasil diraih anaknya. Dengan dalih kebaikan dan masa depan cerah, kita terus melecut "cemeti motivasi" agar anak mampu bersaing disetiap ranah kehidupan. 

Merupakan hal yang wajar jika orang tua menginginkan yang terbaik bagi anaknya, tetapi sangat sedikit orang tua yang melibatkan emosi dan pikiran anaknya untuk memilih atau minimal mendengarkan keinginan anaknya. 

Berbagai model pendidikan baik formal maupun non formal seperti kursus serta pelatihan-pelatihan yang ditawarkan dunia luar, kadang membuat orang "memaksa" anaknya untuk mengikuti pendidikan-pendidikan tersebut. 

Tak sedikit anak-anak yang mengalami tekanan mental, diakibatkan "paksaan" orang tua, bahwa mereka harus meraih ini, menjadi itu, memenangkan ini dan sebagainya. Ketika seluruh prestasi itu didapatkan, siapakah yang lebih dulu berbangga?  Anak ataukah orang tua? Tentu tak masalah jika anak benar-benar menginginkannya, tetapi bagaimana jika ternyata anak memiliki pikiran dan perasaannya sendiri yang jauh berbeda dengan apa yang diinginkan dan diimpikan orang tua.  

Sebagai seorang pengajar saya sering mendapati anak dengan prestasi luar biasa tapi terjebak pada kasus minuman keras, merokok, judi hingga obat-obatan terlarang. Padahal anak tersebut tidak lahir dari keluarga yang berantakan. Mereka justru datang dari keluarga dengan materi yang tercukupi serta status sosial yang tinggi. Pada ranah ini kadang kita dengan mudah menyalahkan lingkungan, media sosial,  pergaulan dan sebagainya, tapi pernahkah kita mengecek lebih dalam lagi tentang situasi internal keluarganya? 

Ambisi orang tua untuk mengorbitkan anaknya hingga menjadi pintar, terkenal, memiliki pangkat dan jabatan tinggi, harta dan kedudukan dan sebagainya tanpa mencoba berbicara, bertukar pikiran dengan anak, tanpa disadari sebetulnya menjadi kekerasan terselubung di lingkungan kita. Mampukah orang tua menjadi rekan utama anak, dalam hidupnya, mampukah orang tua membangun hubungan yang "setara" dengan anaknya, bukan hubungan tuan dan hamba, bos dan anak buah maupun atas dan bawah. 

Dunia begitu beragam, kebaikan dan keburukan didalamnya juga beragam, karena itu kita sebetulnya wajib memperkenalkan seluruh jenis kebaikan dan keburukan itu kepada anak-anak dengan sebijak-bijaknya, lalu memberikan kebebasan kepada mereka untuk memilih pada kebaikan seperti apa ia harus menjalani hidup. Bukannya hanya mengenalkan satu kebaikan yang kita sukai, lalu memaksakan anak untuk mengikutinya. 

Ingat, anak-anak itu manusia, mereka memiliki pikiran dan hati sama seperti orang tua dan orang dewasa pada umumnya. Maka perlakukan mereka sebagai manusia, hargai pikiran dan perasaannya. Intinya berikan pemahaman sebaik-baiknya dan jangan memaksa anak menjadi sesuatu yang tidak pernah mereka inginkan. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun