Mohon tunggu...
Hasan Busri
Hasan Busri Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Tukang jogo meja di Prodi Pendidikan Bahasa Arab UNNES Semarang, Pernah jalan-jalan ke Xiamen China

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Awal Ramadlan dan Syawal Haruskah Selalu Beda?

26 Juni 2013   18:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:23 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1372245220510227499

[caption id="attachment_263007" align="aligncenter" width="630" caption="marhaban yaa ramadlan"][/caption] Ramadlan tahun 1434 H atau tahun 2013 M sebentar lagi akan datang. Jauh-jauh hari sebuah ormas Islam telah mengumumkan bahwa Ramadlan tahun ini akan jatuh pada hari Selasa, 09 Juli 2013. Hal ini didasarkan pada hitungan hisab. Sebagaimana dilaporkan dalam harian online tanggal 13 Juni 2013 (BISNIS.COM, JAKARTA-Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan 1 Ramadhan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Selasa Wage, 9 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis Wage, 8 Agustus 2013. Penetapan itu ditetapkan oleh PP Muhammadiyah berdasarkan hisab hakiki wujudul hilal yang dipedomani oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, ditandatangani oleh Ketua umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dan Sekretaris umum PP Mummadiyah Danarto, seperti tertuang dalam Maklumat No.04/MLM/I.0/E/2013 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah 1434 H tertanggal 23 Mei 2013. Menurut maklumat itu, ijtimak jelang Ramadan 1434 H terjadi pada hari Senin Pon, 8 Juli 2013 M pukul 14:15:55 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( + : : -07" 48, dan ),: 110o 21, BT ) *0o 44' 59" (hilal sudah wujud). Pada saat Matahari terbenam tanggal 8 Juli 2013 M (hari Senin), di sebagian wilayah barat. Kemudian, Indonesia hilal sudah wujud dan di sebagian wilayah timur Indonesia belum wujud. Dengan demikian, garis batas wujudul hilal melewati wilayah Indonesia dan membagi wilayah Indonesia menjadi dua bagian. "1 Ramadhan 1434 H jatuh pada Selasa Wage, 9 Juli 2013". Selain itu, ijtimak jelang Syawal 1434 H terjadi pada hari Rabu Pon, 7 Agustus 2013 M pukul 04:52:19 WIB. Tinggi bulan pada saat terbenam Matahari di Yogyakarta ( 0 : -07" 48, dan l": l l0o 21, BT ) : *03o 54' ll" (hilal sudah wujud) dan di seluruh wilayah Indonesia pada saat terbenam matahari itu, bulan berada di atas ufuk. "1 Syawal 1434 H jatuh pada Kamis Wage, 8 Agustus 2013". Berdasarkan penetapan ini, kemungkinan akan terjadi perbedaan awal puasa Ramadhan. Sebelumnya, Badan Hisab Rukyat Provinsi Sumatra Utara telah memutuskan awal Ramadhan 1434 Hijriyah/2013 Masehi jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 dan 1 Syawal 1434 H/2013 M jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013. Meskipun demikian, Badan Hisab Rukyat (BHR) Sumut mengimbau umat Islam untuk menunggu sidang itsbat Menteri Agama RI. "Penetapan awal Ramadhan dan awal Syawal tetap saja ada potensi perbedaan. Namun masyarakat diimbau dapat menyikapi perbedaan itu secara arif dan bijaksana. Jangan sampai ada keributan dan konflik," kata H.Arso, Ketua BHR Sumut. Dalam keterangan pers di laman Kemenag Sumut, Ketua Badan Hisab Rukyat Sumut, H.Arso mengatakan awal Ramadhan 1434 H jatuh pada Rabu, 10 Juli 2013 berdasarkan pada ijtimak awal Ramadhan 1434 H terjadi pada Senin, 8 Juli 2013 pukul 4j 14m 05d WIB. "Ketika matahari terbenam pada hari terjadinya ijtimak, di seluruh Indonesia tinggi hilal antara : -000 47’ 19” s.d. +000 16’ 51” (belum memenuhi kriteria imkan rukyat +20) berdasarkan pada ikmal Sya’ban 1434 H," katanya. Dia menambahkan adapun 1 Syawal 1434 H jatuh pada Kamis, 8 Agustus 2013 berdasarkan ijtimak awal Syawal 1434 H terjadi pada Rabu, 7 Agustus 2013 pukul 04j 05m 33d WIB. "Ketika matahari terbenam pada hari terjadinya ijtimak, di seluruh Indonesia tinggi hilal sudah berada di atas ufuk antara : +010 59’ 45” s.d. +030 23’ 09” (telah mencapai kriteria imkan rukyat +020) berdasarkan pada kriteria imkan rukyat," tuturnya.) (www.bisnis.com) Seperti dalam kutipan di atas, maka pada kesempatan ini penulis ingin sekali mencermati apakah tidak mungkin penetapan awal Ramadlan atau pun awal Syawal bisa satu keputusan tanpa terjadi silang pendapat. Walau pun yang namanya perbedaan pendapat adalah Rohmah akan tetapi seandainya ada celah yang bisa mempersatukan perbedaan pendapat tersebut alangkah indahnya hidup ini. Kalau kita melihat sejarah Islam maka sesungguhnya yang memiliki otoritas untuk menetapkan awal puasa maupun awal Syawal adalah sultan atau penguasa. Mari coba kita telaah bersama apa yang menjadi jawaban Ahmad Sarwat,Lc., M.A. (Direktur Rumah Fiqih Indonesia )dalam situs www.rumahfiqih.com ketika menjawab sebuah pertanyaan: tidak mungkinkah awal Ramadlan atau awal Syawal satu keputusan? Maka tulis Beliau dalam jawabannya di situs tersebut adalah: Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Apapun metode penetapan awal Ramadhan dan Syawwal, baik yang menggunakan hisab atau pun ru'yat, sudah bisa dipastikan hasilnya pasti berbeda-beda. Jangan dikira kalau seluruh bangsa Indonesia sudah kompak dan sepakat bulat pakai hisab, lantas hasilnya pasti sama dan urusan jadi selesai. Sebab ternyata di dalam sesama aliran hisab sendiri ada begitu banyak aliran dan metode yang hasilnya bisa dipastikan akan saling bertentangan. Padahal sama-sama berada dalam aliran hisab. Dan begitu juga sebaliknya, jangan dikira kalau seluruh ormas sepakat meninggalkan aliran hisab dan berbondong-bondong menggunakan metode rukyat, lantas bisa dipastikan akan terjadi kesepakatan dari sisi hasilnya. Sebab sebagaimana kita tahu, tiap titik di atas tanah negeri ini bisa saja menampilkan perbedaan hasil rukyat hilal. Jadi meskipun kita sebangsa dan setanah-air sepakat menggunakan salah satu dari sekian banyak versi penetapan awal Ramadhan, hasilnya sudah bisa dipastikan akan berbeda-beda juga. Yang sebenarnya jadi titik pangkal permasalahan menurut hemat saya bukan pada pilihan metodenya. Tetapi ketika semua pihak, termasuk ormas dan jamaah-jamaah yang jumlahnya tidak terhingga itu, masing-masing merasa berwenang ikut-ikutan cawe-cawe (get involve) mengurusi penetapan awal Ramadhan. Makin banyak yang terllibat, maka akan semakin besar titik perbedaannya. Ibarat kasus macet di jalan-jalan kota Jakarta yang diurusi oleh 'pak Ogah'. Keterlibatan oknum-oknum 'pak Ogah' ini lebih sering menjadi sumber masalah. Bukannya kemacetan terurai, tetapi malah semakin bertambah macet. Kalau tiap kelompok masyarakat atau bahkan tiap orang dibolehkan untuk menetapkan sendiri-sendiri, pasti perbedaan awal Ramadhan dan Lebaran tidak bisa dihindarkan. Bahkan boleh jadi perbedaan itu bukan hanya di dua hari yang berbeda, bisa saja menjadi tujuh hari yang berbeda. 1. Domain Negara Segala macam khilaf dalam penentuan awal Ramadhan tidak akan pernah ada jalan keluarnya, selama tidak ada satu pihak yang diakui bersama dan ditaati. Nah, justru disinilah sumber titik masalahnya. Umat Islam di negeri ini terlanjur menganggap pimpinan ormas dan jamaah mereka sebagai pusat pimpinan. Kepada pimpinan masing-masing ormas dan jamaah iniah mereka memberikan loyalitas dan segala ketaatan mutlak. Padahal jumlah ormas dan jamaah di negeri kita tidak terhingga bilangannya. Bisa ada sejuta ormas dengan sejuta perbedaan masing-masing. Padahal kalau kita kembalikan ke dalam sejarah Islam, seharusnya satu-satunya pihak yang ditaaati bersama, minimal dalam urusan penetapa awal Ramadhan itu adalah as-Sultan. Dan untuk dimensi bangsa Indonesia saat ini, representasi dari sulthan ini tidak lain dan tidak bukan adalah penguasa atau pemerintahan yang sah. Dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa salah satu peran dan tugas penguasa negara adalah menjadi penengah yang berwenang untuk menetapkan jatuhnya awal Ramadhan. Meski ada sekian banyak kajian dan perselisihan para fuqaha di dalamnya, namun kata akhir kembali kepada penguasa. Dalilnya adalah apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadhan. Dia harus melapor kepada Rasulullah SAW, lalu beliau SAW yang nanti akan memproses kesimpulannya. Ketuk palu ada di tangan Rasulullah SAW, bukan semata-mata karena beliau seorang nabi yang mendapat wahyu, melainkan dalam kapasitas beliau sebagai kepala negara dan penguasa yang sah. Kita tidak mengatakan bahwa keputusan di tangan Rasulullah SAW karena beliau seorang nabi. Kalau sebagai nabi, tentu beliau tidak perlu menunggu laporan dari para shahabat untuk melihat hilal. Cukup beliau bertanya saja kepada malaikat Jibril, atau bertanya langsung kepada Allah SWT tentang kapan masuknya Ramadhan, pasti bisa dengan mudah didapat jawabannya. Namun kedudukan Rasulullah SAW memang bukan sebagai nabi melainkan sebagai kepala negara. Begitulah beliau mencontohkan kepada kita, bahwa mekanisme penetapan bulan Ramadhan itu harus lewat proses keteetapan oleh kepala negara. Orang-orang yang melihat hilal mendatangi Rasulullah SAW dalam kedudukannya sebagai penguasa yang sah dan memberi kabar. Lalu keputusan 100% berada di tangan kepala negara. Hal itulah yang dilakukan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu, tatkala beliau menyaksikan hilal Ramadhan. تَرَاءَى النَّاسُ الْهِلاَل فَأَخْبَرْتُ النَّبِيَّ أَنِّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النَّاسَ بِصِيَامِهِ Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bahwa orang-orang mencari-cari hilal. Aku memberitahukan Nabi SAW bahwa diriku telah melihatnya, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. (HR. Abu Daud dan Al-Hakim) Abdullah bin Umar radhiyallahuanhu bukan shahabat biasa. Beliau adalah ulama yang faqih di kalangan para shahabat. Beliau termasuk orang yang menyaksikan hilal Ramadhan. Namun kita diajari oleh sikap dan tindakan beliau yang memang seharusnya dilakukan. Tidak mentang-mentang beliau merasa melihat hilal, lantas beliau memutuskan sendiri kapan mulainya Ramadhan. Namun beliau datang dulu kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan laporan pandangan mata, dimana beliau menjadi saksi atas terlihatnya hilal bulan Ramadhan. Perkara nanti apakah laporannya diterima atau tidak oleh Rasulullah, maka wewenang itu sepenuhnya berada di tangan Rasulullah SAW. Abdullah bin Umar tidak pernah memutuskan untuk berpuasa sendirian, atau mengajak kelompok dan institusinya sendiri, hanya karena dirinya merasa seorang pakar agama yang ilmunya selangit. Yang beliau lakukan hanya sebatas melaporkan hasil pantauan saja, bukan memutuskan kapan mulai Ramadhan. Dan memang itulah yang seharusnya dilakukan oleh siapa pun yang melihat hilal. Demikian juga hal yang dilakukan oleh seorang a’rabi yang melihat hilal dari tengah padang pasir. Dia segera mendatangi Nabi SAW dan melaporkan apa yang dilihatnya. جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ فَقَال : إِنِّي رَأَيْتُ الْهِلاَل - يَعْنِي رَمَضَانَ - قَال : أَتَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ؟ أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُول اللَّهِ ؟ قَال : نَعَمْ . قَال : يَا بِلاَل أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنْ يَصُومُوا غَدًا Seorang a’rabi datang kepada Nabi SAW dan melapor, “Aku telah melihat hilal”. Rasulullah SAW bertanya, ”Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan-Nya?”. Dia menjawab, ”Ya”. Beliau berkata, ”Bilal, umumkan kepada orang-orang untuk mulai berpuasa besok”. (HR. Tirmizy dan An-Nasa’i) Tidak ada sejarahnya di masa Nabi SAW dan juga pada masa shahabat, bila seseorang merasa melihat hilal, lantas di boleh berfatwa dan menetapkan keputusan sendirian. 2. Contoh Di Masa Shahabat Demikian juga di masa-masa berikutnya. Semua orang yang merasa melihat hilal Ramadhan, berkewajiban melapor kepada Amirul Mukminin. Lalu Amirul Mukminin yang akan mengumumkan kapan jatuhnya tanggal 1 Ramadhan. Boleh jadi sebuah laporan diterima dan boleh jadi ditolak dengan berbagai pertimbangan. Dan itulah yang telah terjadi selama kurun 14 abad ini. Umat Islam di seluruh dunia selalu mengacu kepada penguasa tatkala memulai awal Ramadhan. Mereka tidak memulai puasa sendiri-sendiri atau berdasarkan kelompok kecil-kecil. Lain halnya bila umat Islam tinggal di berbagai negeri yang saling berjauhan, seperti Madinah dan Damaskus.Kedua negeri itu dipisahkan dengan jarak yang amat jauh. Kalau orang berjalan di awal bulan Ramadhan dari Damaskus ke Madinah, dia baru akan sampai ketika bulan Ramadhan hampir selesai. Maka dalam kasus negeri yang berjauhan, kita menemukan fakta terjadinya perbedaan penetapan awal Ramadhan di masa para shahabat, sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Kuraib berikut ini : عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib. Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim) Maka di dalam fiqih Islam, dimungkinkan adanya dua wilayah yang berjauhan dan berbeda dalam menetapkan hasil ru'yah. Di Syam orang-orang telah melihat hilal malam Jumat, sedangkan di Madinah orang-orang baru melihat hilal malam Sabtu. Namun hal ini tidak boleh terjadi di dalam satu negeri, dimana di dalamnya ada penguasa yang berdaulat secara sah dan konstitusional. Keadaan ini dimungkinkan terjadi hanya bilamana kedua negeri saling berjauhan. 3. Tetap Ikut Negara Meskipun Bermusuhan Di Saudi Arabia, ada begitu banyak kelompok yang memusuhi negara dan pemerintahan. Dan tidak sedikit dari kelompok itu yang dikejar-kejar dan ditangkapi oleh pemerintah. Sebagian dari mereka dipenjara dan tidak sedikit yang mengalami tekanan dan siksaan. Bahkan kelompok Al-Qaidah juga diperangi oleh Kerajaan, dan sebagai balasannya, tidak sedikit dari tokoh-tokoh mereka yang melakukan makar, sampai menjatuhkan vonis kafir kepada para penguasa di Saudi Arabia. Namun tidak ada satu pun dari kelompok-kelompok itu yang berinisiatif untuk berpuasa sendiri dengan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Urusan mereka bermusuhan dengan pemerintah adalah satu hal, tetapi urusan berpuasa tidak pernah dibawa-bawa ke masalah politik. Oleh karena itu maka wajar kalau kita belum pernah mendengar di Saudi Arabia ada kelompok anti pemerintah yang melakukan wuquf sendirian di tanggal 8 Dzulhijjah, misalnya gara-gara mereka membenci pemerintah. Sebenci-bencinya mereka kepada pihak Kerajaan, tetap saja mereka ikut wuquf di Arafah sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh negara. Begitu juga dengan rakyat Mesir. Sepanjang sejarah pergerakan, Mesir termasuk negeri yang paling sering bergejolak. Ada begitu banyak kelompok yang anti Pemerintah di Mesir, sehingga tidak sedikit dari mereka yang ditangkapi. Di masa lalu para tokoh aktifis Al-Ikhwan Al-Muslimun memenuhi penjara Mesir. Bahkan ada kelompok yang menjatuhkan vonis kafir kepada pemerintah Mesir, seperti Jamaah Takfir wal Jihad. Namun kita tidak pernah mendengar ada kelompok yang berpuasa sendirian dan berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Padahal ada dari mereka yang mengkafirkan pemerintah. Memulai puasa dengan cara berbeda dengan pemerintah itu hanyalah cerita yang terjadi satu-satunya di dunia adalah di Indonesia. Pasalnya, karena masih saja ada pihak-pihak tertentu yang merasa dirinya lebih pandai dari orang lain dalam urusan rukyat atau hisab, lalu menafikan peranan negara. Dan seringkali merasa dirinya atau kelompoknya berhak untuk memutuskan sendiri ketetapan awal dan akhir Ramadhan. Sikap seperti ini sebenarnya kurang dilandasi dengan dalil-dalil yang bisa diandalkan. Sebab semua dalil yang kita dapat, baik dari Al-Quran maupun dari As-Sunnah menunjukkan satu hal yang sama dan telah disepakati sejak 14 abad berjalan ini, yaitu wewenang itu 100% berada di tangan penguasa. 4. Wajib Diikuti Meski Ternyata Salah Seluruh umat Islam sepanjang 14 abad ini telah menyerahkan urusan penetapan awal Ramadhan dan Syawal kepada penguasa, karena domain itu memang milik penguasa. Kita tidak pernah menemukan dalam sejarah umat Islam dimana pun di dunia ini, adanya orang-orang tertentu, atau kelompok tertentu yang merasa lebih berhak untuk menetapkan sendiri awal Ramadhan dan juga awal Syawwal. Bahkan meski pun terbukti pada akhirnya apa yang diputuskan oleh penguasa itu salah, lantas kemudian dikoreksi ulang. Hal itu pernah terjadi di masa Rasulullah SAW, sebagaimana bisa kita baca pada hadits berikut ini : عَنْ أَبِي عُمَيْرِ بْنِ أَنَسٍ حَدَّثَنِي عُمُومَةٌ لِي مِنَ الْأَنْصَارِ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ قَالَ : غُمَّ عَلَيْنَا هِلَالُ شَوَّالٍ فَأَصْبَحْنَا صِيَامًا فَجَاءَ رَكْبٌ مِنْ آخِرِ النَّهَارِ فَشَهِدُوا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ أَنَّهُمْ رَأَوْا الْهِلَالَ بِالْأَمْسِ فَأَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ أَنْ يُفْطِرُوا مِنْ يَوْمِهِمْ وَأَنْ يَخْرُجُوا لِعِيدِهِمْ مِنْ الْغَدِ Dari Abu Umair bin Anas, telah menceritakan kepadaku kebanyakan para sahabat Anshar dari sahabat Rasulullah bahwa ia berkata; "Hilal bulan Syawal telah tertutup awan, maka kami pun berpuasa, lalu serombongan pengendara di akhir siang datang sambil bersaksi dihadapan Rasulullah bahwa kemarin mereka telah menyaksikan hilal, kemudian Rasulullah menyuruh orang-orang berbuka di hari itu, dan agar di esok hari mereka keluar untuk berhari raya. (HR. Ahmad) 5. Berpuasa dan Berlebaran Bersama-sama Syariah Islam memang menetapkan berbagai metode dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, baik melalui ru’yatul hilal, istikmal atau pun dengan hisab. Namun semua metode itu hanya dapat dilakukan oleh mereka yang memiliki ilmu dan keahlian, dan tidak semua orang mampu untuk melakukannya. Medote ru’yatul-hilal misalnya, meski kelihatannya sederhana, tetapi untuk berhasil melakukannya ternyata tidak mudah juga. Apalagi untuk kita yang tinggal di kota-kota besar seperti Jakarta, ada begitu banyak hambatan atau halangan, baik asap polusi, awan hujan, mendung, dan lain-lainnya. Sehingga kalau kita cermati, team ru’yatul hilal seringkali harus jauh-jauh pergi ke pantai di tepi laut untuk melakukan tugas mereka. Artinya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh sembarang orang. Dan tidak setiap orang memiliki kesempatan untuk melakukan ru’yatul hilal dengan dirinya sendiri. Maka dalam pada itu, cukuplah pekerjaan itu dilakukan oleh mereka yang memang ekspert di bidangnya, sementara sebagian besar umat Islam ini sekedar menerima kabar saja dan tidak perlu berangkat sendiri untuk melakukan ru’yatul-hilal. Lalu apa landasan dan pegangan buat khalayak awam yang tidak punya kemampuan dan kemahiran dalam ru’yatul-hilal? Siapakah pihak berwenang yang dapat dijadikan patokan dalam hal ini? Untuk itu mari kita cermati hadits nabawi berikut ini : الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ “Hari puasa adalah hari dimana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah hari dimana semua kalian berbuka. Dan hari Adha adalah hari dimana semua kalian beridul-Adha.” (HR. At-Tirmizy) Para ahli ilmu sepakat mengatakan bahwa pengertian hadits ini menetapkan bahwa tidak boleh seseorang melawan arus sendirian dalam menetapkan awal Ramadhan dan Syawwal. Dia tidak dibenarkan berijtihad sendirian yang hasilnya bertentangan dengan semua orang, lalu dia melakukannya sendirian, sementara orang-orang tidak melakukannya. Tetapi kecenderungan yang sering Penulis saksikan di tengah kalangan yang bersemangat menjalankan agama, justru semakin berbeda dengan masyarakat, malah semakin dikejar dan dijadikan pilihan utama. Sehingga ada kesan, yang penting berbeda, unik dan tidak sama dengan khalayak. Padahal sikap-sikap seperti itu justru tidak dibenarkan menurut pandangan syariah. Berpuasa sendirian mendahului khalayak, atau berlebaran sendirian mendahului jamaah, adalah tindakan yang justru ilegal. Kalau pun ada pendapat yang membolehkan seseorang berpuasa sendiri, maka hanya bila orang tersebut dengan mata kepalanya sendiri melihat hilal, bukan lewat informasi pendengarannya, yaitu kabar-kabar yang diterimanya. Ibnu Qudamah di dalam Al-Mughni menyebutkan bahwa yang masyhur dari madzhab Hanabilah adalah bila seseorang hanya sendirian melihat hilal, sementara manusia satu negara tak seorang pun dari mereka yang melihat hilal, maka khusus bagi dirinya yang melihat langsung dengan mata kepala, dia wajib berpuasa sendirian. Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Ahmad Sarwat, Lc., MA (www.rumahfiqih.com Karena hal ini merupakan masalah yang sudah berlangsung terus menerus setiap tahun. Pertanyaannya adalah kalau memang bisa disatukan mengapa harus berbeda?? Terus siapa yang mau dipersalahkan? Pemerintahkah dalam hal ini Kemenag atau siapa?... endingnya walau beda kita tetap satu bangsa yaitu Indonesia…. salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun