Mohon tunggu...
Abdul Haris
Abdul Haris Mohon Tunggu... Bankir - Menulis Untuk Berbagi

Berbagi pemikiran lewat tulisan. Bertukar pengetahuan dengan tulisan. Mengurangi lisan menambah tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Uang Kembalian Disumbangkan, Kebiasaan yang Memicu Ekonomi Biaya Tinggi

16 Januari 2019   22:58 Diperbarui: 17 Januari 2019   09:03 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kembaliannya Rp. 200 boleh disumbangkan Pak?"

Pertanyaan yang mungkin tidak asing lagi bagi kita. Tawaran yang kerap muncul dari kasir mini market atau toko-toko.

Umumnya, uang sebesar itu tidak terlalu kita perhitungkan. Alhasil, tawaran "sumbangan dadakan" dari kasir biasanya disetujui saja. Itung-itung amal, jika ikhlas semoga membawa berkah. Itu masih lebih bagus, ada pula kasir yang cuek saja kembalian recehan tidak diberikan. Dongkol juga sih kadang, tapi kalau dipikirin terus ketahuan deh pelitnya...

Malas pegang Uang Receh
Jika melihat sisi positifnya, mini market telah membuka jalur kepada konsumennya untuk berderma. Namun, bila sedikit berprasangka, jangan-jangan pihak toko tidak mempersiapkan stok uang receh koin untuk kembalian. Semoga yang terakhir ini tidak terjadi.

Sepintas tidak ada persoalan berarti dengan diimpaskannya kembalian receh dengan donasi (dulunya malah ditukar permen). Namun, jika kita renungkan, konsumen dalam hal ini selalu tidak pernah memperoleh harga nyata dari suatu barang. Kecenderungannya, konsumen mengeluarkan uang dengan jumlah yang lebih besar (meski hanya bernilai ratusan rupiah). Mereka tidak mendapatkan kembalian uang yang menjadi haknya.

Seorang wartawan rekan saya pernah mengutarakan pemikirannya bahwa kebiasaan menahan kembalian receh itu dapat memicu inflasi. Jika inflasi dipahami sebagai kenaikan harga secara masif, menahan kembalian uang recehan mungkin tidak berdampak secara langsung terhadap inflasi. 

Tapi, kebiasaan bertransaksi semacam itu sudah pasti mengakibatkan biaya ekonomi yang lebih tinggi. Tentunya, asumsi biaya tinggi itu apabila kita mengakumulasi recehan yang tidak dikembalikan tadi secara nasional dan dalam periode yang panjang.

Sia-sia saja ketika toko menetapkan harga barang dengan angka "nanggung", misalnya Rp39.750,- kalau pada akhirnya konsumen harus tetap membayar angka pembualatan Rp40.000,-.

Mengatasi kebiasaan ini gampang-gampang susah. Gampang, karena semestinya toko tinggal menukarkan pecahan receh ke bank. Susah, karena toko sering menyepelekan nilai receh itu dan konsumen sendiri umumnya malas membawa uang receh sehingga tidak mempersoalkan tak adanya kembalian.

Meskipun demikian, kebiasaan semacam itu semestinya harus diubah. Pilihan pertama yaitu membiasakan transaksi non tunai, misalnya kartu ATM/debet atau uang elektronik. Tentuya itu mudah diterapkan di mini market atau toko-toko dengan skala tertentu, kalau warung di kampung ya sepertinya masih susah.

Pilihan kedua, kita semua perlu menumbuhkan sikap kritis dan sensitif terhadap biaya ekonomi, sesederhana dan sekecil apapun. Maksudnya, baik toko maupun pembelinya mampu menghargai nilai rupiah recehan dalam bertransaksi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun