Mohon tunggu...
Haris Fauzi
Haris Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pembelajar

Penyuka Kajian Keislaman dan Humaniora || Penikmat anime One Piece.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengubah Takdir, Mengubah Rencana

14 September 2018   06:26 Diperbarui: 14 September 2018   08:33 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berdoa adalah upaya meminta rencana yang terbaik.

Seseorang tidak bisa menjadikan takdir sebagai alasan untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Itulah makanya, Allah mencela sikap orang-orang musyrik yang mencoba berdalih bahwa kemusyrikan yang mereka lakukan hanyalah semata-mata karena kehendak Allah (al-Anam 6: 148).

Nasib bangsa Indonesia yang amat terpuruk ini jelas bukan disebabkan oleh adanya takdir Allah. Allah sebenarnya telah bermurah hati pada bangsa ini. Kekayaan alamnya yang luar biasa baik yang  ada di laut, darat, maupun udara merupakan bukti karunia ilahi yang tak terbantahkan. Bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang paling besar dikaruniai kekayaan alam. Bila kita menengok kemakmuran yang dicapai negeri jiran-Malaysia, misalnya, dan membandingkannya dengan negeri kita, maka orang pandirpun bisa menyimpulkan bahwa keterpurukan bangsa ini bukan karena kemiskinan alam tapi karena mentalitas bangsanya yang tidak mencerminkan ajaran agama yang dianutnya. 

Tampaknya pengajaran-pengajaran agama yang ada di negeri ini belum mampu memberikan kontribusi bagi terciptanya masyarakat Indonesia yang benar-benar agamis sekaligus unggul. Ini menunjukkan bahwa kesalihan bangsa ini dalam menjalankan ibadah belum sejalan dengan kesalehannya dalam menjadi khalifah. 

Fenomena terus semaraknya ritual haji setiap tahun walaupun di masa krisis sekalipun mengandung arti bahwa corak penghayatan keagamaan bangsa ini masih berorientasi ritual dan belum pernah bergeser ke arah internalisasi nilai-nilai ajaran. Itulah makanya, banyak dijumpai di negeri ini kasus-kasus keretakan kepribadian (split personality).  

Banyak orang Indonesia yang taat beribadah tapi pada saat yang sama ia adalah koruptor ulung. Tidak sedikit orang Indonesia yang rajin shalat, tapi ia suka hidup boros dan menutup mata terhadap para peminta-minta.

Seandainya bangsa ini benar-benar menghayati ajaran agamanya, maka pastilah sejak 40 tahun yang lalu atau dasawarsa kedua pasca kemerdekaan, para pemimpin bangsa ini akan berkata stop terhadap hutang. Ini terjadi karena agama ini sangat menganjurkan kemandirian. Bukankah kemandirian itu pula yang dicontohkan paling awal oleh nabi bahkan sejak pertama beliau hidup sebagai manusia. 

Dalam sejarah tercatat bahwa sejak kecil beliau sudah menggembalakan kambing penduduk Makkah untuk mendapatkah upah sekedarnya. Dari upah itulah beliau mencoba untuk hidup mandiri tanpa banyak bergantung pada orang lain. Pada umurnya yang ke-9 tahun, ia sudah membantu pamannya berdagang ke negeri Syam. Sikap kemandirian Nabi semakin kokoh ketika pada umurnya yang baru 25 tahun ia telah tampil sebagai seorang pebisnis yang sukses.

Anjuran untuk hidup yang mandiri, tidak hanya datang dari kisah sukses hidup nabi. Dalam berbagai tempat, ayat Alquran juga menganjurkan para hamba-Nya untuk tidak bergantung kepada siapapun selain Allah. Kalau ingin berubah, kita harus secara mandiri merubah diri kita sendiri. Sesungguhnya Allah tidak merubah suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.   (ar-Rad: 11).

Dalam kerangka inilah, makanya tidak ada orang yang melakukan kesalahan lantas dia dapat melepaskan diri dari  akibatnya. Sebaliknya tidak ada orang yang harus bertanggung jawab atas kesalahan yang diperbuat orang lain. "Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan bahwasannya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasannya usahanya itu kelak akan diperlihatkan kepadanya."  (an-Najm: 38-40).

Sebagai bangsa yang hidup di era global, memang kemandirian bukan berarti sama sekali tidak membutuhkan bangsa lain. Kemandirian lebih berarti pada kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat bagi dirinya dan mempertanggungjawabkan keputusan itu dengan tanpa menggantungkan diri atau membebankan resiko kepada pihak lain. Berangkat atas definisi itu maka keputusan untuk menumpuk hutang yang dilakukan oleh para pemimpin bangsa ini merupakan keputusan yang tidak bertanggung jawab. Seharusnya mereka sadar bahwa hutang yang mereka ciptakan sudah pasti tidak akan mampu mereka tanggung sendiri pada masa kepemimpinannya ataupun masa hidupnya sekalipun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun