Mohon tunggu...
Hariadhi
Hariadhi Mohon Tunggu... Desainer - Desainer

Ghostwriter, sudah membuat 5 buku berbagai Dirut BUMN dan Agency Multinasional, dua di antaranya best seller. Gaya penulisan berdialog, tak sekedar bernarasi. Traveler yang sudah mengunjungi 23 dari 34 provinsi se Indonesia. Business inquiry? WA 081808514599

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Pulang ke Kotamu...

19 September 2019   14:11 Diperbarui: 19 September 2019   14:15 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada setangkup harum, dalam rindu...

Bait dari lagu KLA Project ini pasti akan selalu diingat semua orang yang lahir sebelum tahun 2000. Jogja memang ngangenin. Tapi kok ya bosen juga kalau ke Malioboro melulu, pikir saya. 

Sudah empat atau lima kali saya ke Jogja sejak kecil, selalu tujuan wisata ke jalanan panjang tersebut. Yang dimakan kalau tidak burung dara ya pecel lele, sehingga rasanya belum lengkap perjalanan wisata saya. Maka semenjak di Terminal Tirtonadi, Solo, saya sudah meniatkan akan ke tempat selain Malioboro.

Buka Google Map, saya jadi nemu informasi kalau Kota Gede persis ada di utara Terminal Giwangan. Saya jadi teringat kasus nisan terpancung yang pernah terjadi di sana tahun lalu dan berniat ke sana.

"Berapa ongkosnya, Mba ke Jogja?" Saya bertanya kepada mba cantik berjilbab di sebelah saya. "Duapuluh ribu, Mase," Jawabnya sambil tersenyum menawan sekali. Mungkin dialah bidadari yang dibayangkan Katon Bagaskara saat menciptakan lagu Jogja.

Terminal Klaten. Dokpri
Terminal Klaten. Dokpri
Saya pun merogoh saku dan memberikannya kepada kondektur dan diberikan secarik tiket. Malam terus menjelang saat menempuh perjalanan ke Terminal Giwangan. Sekelabat sambil tidur-tidur ayam, saya melihat Teminal Klaten yang bagus, nanti kalau balik dari Jogja akan saya sempatkan mampir di sini.

Terminal Giwangan, Dokpri
Terminal Giwangan, Dokpri
Hampir pukul 11:00 malam saya sampai di Jogja. Berbagai tukang ojek dan becak  mengikuti. "Mau ke mana, Mase?" atau "Dianterin nggeh? Mau ga?'. Memang sedikit mengganggu bagi turis, namun saya bisa maklum dengan upaya mereka menggaet penumpang.

Saya lebih memilih makan sate sambil menunggu pagi di depan terminal. Ada Warung Sate Batusangkar di sana, dan memang satenya besar-besar dan enak. Harganya juga murah sekali.

Subuh menjelang, seorang bapak tua menawarkan saya untuk mengelilingi Kota Gede. "Ayuk, saya bawa motornya pelan-pelan kok. Wong udah tuak, hehehe," Dia terkekeh saat saya berpesan tolong jangan ngebut karena saya sudah mengantuk sekali karena tidak tidur-tidur dari tadi malam. Kami lalu berlalu di jalanan sempit diapit rumah-rumah tua. Saya lihat berturut-turut papan nama menawarkan perhiasan perak.

Kampung di sekitaran Kota Gede memang dipenuhi oleh pengrajin perak, demikian penjelasan dari kakek pengojek yang mengantarkan saya. "Mau ziarah juga bisa, ada makam raja-raja Mataram di sekitaran sini. Saya turunkan di sana aja?" Setelah ia mendengar penjelasan saya kalau cuma ingin jalan-jalan random saja ke Kota Gede. Saya menolak dan minta diturunkan saja di pasar tradisional setempat.

Pengrajin perak Kota Gede | dokpri
Pengrajin perak Kota Gede | dokpri
Pasar tradisional Kota Gede cukup rapi jika dibandingkan beberapa pasar lain yang pernah saya kunjungi di Jogja. Penerangannya baik dan lantainya sudah diupgrade jadi marmer, sehingga ada kesan bersih dan rapi. Kalau boleh mengkritik, hanya toiletnya yang agak sulit dicari, terletak di pojokan dengan sinar temaram. Saya sampai harus menghidupkan senter dari HP.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun